jf.id – Sewaktu pulang kerja tengah malam, iseng-iseng buka Facebook, saya terkejut dengan sebuah status: ”Indonesia harus dipimpin orang baik dan Jokowi adalah orang baik!”
Status ini membuat saya cengengesan tidak jelas. Saya jadi ingat, kata orang, ”pada dasarnya setiap orang itu baik”. Itu benar dan saya setuju! Meski ada yang bilang Presiden Trump itu bajingan, tapi bagi saya, dia itu ”baik”. Juga Sri Mulyani; Prabowo; apalagi Menteri dari Madura, siapa lagi kalau bukan Mahfud MD, ini juga super baik.
Bagi saya, predikat ”baik” juga selayaknya dimiliki oleh mendiang Pak Harto sang bapak pembangunan yang agak galak, Bung Karno yang berwibawa, Bu Mega yang Subhanallah. Pokoknya semuanya baik. Mungkin sampai hari ini hanya saya saja yang masih bingung melihat kebaikan dalam diri saya ini ada di wilayah mana.
Kalau Pak Jokowi? Kalau ini jangan tanya lagi. Dunia medsos pun mengakui kebaikan beliau. Khusus untuk yang satu ini, siapa saja pasti dibuat kelimpungan seandainya dibuat sayembara mencari keburukan pria asal Solo ini. Susah melihat keburukannya, kalau tidak percaya, baca saja media mainstream hari ini.
Setelah tahu bila pada dasarnya setiap orang itu baik—di mana kita bisa lihat itu dari tingkah laku mereka sehari-hari—kita bisa mundur ke belakang untuk melihat apa yang ada di balik kebaikan itu: niat (yang juga) baik. Dan apa niat baik itu cukup? Ini yang perlu dibicarakan lebih lanjut. Karena, konon di NKRI yang ”ajaib” ini kebaikan dan niat baik nampaknya belum cukup. Beragam ”niat baik” dari banyak kelompok menimbulkan kesemrawutan dan kejumudan di sekala yang lebih luas.
Kita bisa melihat sudah banyak niat baik para punggawa pemerintah yang diimplementasikan untuk kepentingan nasional. Ternyata lebih banyak yang gagal dan jadi mudharat ketimbang manfaat. Sekarang kita perlu bertanya: kalau Jokowi adalah ”orang baik” yang punya ”niat baik” soal NKRI, mengapa di periode pertama dia menjabat presiden kok hanya tolah-toleh sok yes saja? Menjelang periode kedua, ia berkata dirinya sudah lebih ”bebas” dari tekanan yang otomatis membuatnya lebih prima memimpin juga belum terbukti.
Mungkin ada benarnya juga kalau kegagalan orang baik dalam memimpin Indonesia disebabkan oleh peran utamanya sebagai ”petugas partai” yang melayani apa saja dawuh Ibu Mega tercinta. Ia lebih bisa menghayati peran utamanya ini ketimbang kerjaan freelance jadi presiden. Dan lagi, saya pikir kegagalan orang baik memimpin Indonesia juga disebabkan karena sebagian rakyat begitu memaksakan kehendak orang baik menjadi presiden. Sudahlah, jangan kelewatan menyiksa orang baik. Biarkan saja orang baik memenuhi bakat alamnya sebagai petugas partai. Jangan menyiksanya dengan memberi tanggung jawab berat sebagai presiden.
Belum lagi orang baik masih harus direpotkan lalat-lalat parpol baik di koalisi dan oposisi. Memang tidak enak menjadi presiden yang tersandra kepentingan. Kondisi ini membuatnya tidak dapat berdaulat mewujudkan niat baiknya di sekala nasional. Sehingga, ketimbang nganggur, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan—di mana ia benar-benar bisa merdeka—adalah membuat banyak drama khas rakyat. Mungkin hanya ini satu-satunya ruang bagi Jokowi untuk bisa menari dengan bebas: melakukan hal-hal kecil yang dipikirnya masih membuat decak kagum rakyat.
Indekos di Tempat yang Salah
Memimpin Indonesia itu tidak gampang. Kalau pinjam istilah seorang guru ngaji yang kebetulan ketemu di pasar Jembatan Lima, ”demokrasi Indonesia itu nanggung”. Karena belum jelas apa yang ia maksudkan, saya bertanya, ”nanggung bagaimana, ustad?”
”Demokrasi kok isinya kerajaan-kerajaan kecil. Ada kerajaan Mega, kerajaan SBY, dan banyak lagi lainnya,” katanya. Ustad dari Malang itu melanjutkan, ”Indonesia sedang sakit kulit, dikasih makan sayur pare ndak mau. Malah pilih demokrasi, itu sama saja alergi kulit dikasih makan udang. Lha kalau sekarang, sudah sakit kulit malah makan udang busuk yang berasal dari demokrasi nanggung, ya, makin parah.”
Apa yang disampaikan ustad ini memang tidak sepenuhnya salah, karena sepintas bila dilihat demokrasi yang feodal tak memberikan banyak ruang bagi orang baik untuk mengimplementasikan niat baiknya. Parpol-parpol saat ini telah menjadi rumah kos di kota besar yang kumuh; jorok tapi harganya selangit. Istilahnya, kalau kamu hanya seorang petugas partai yang sedang indekos, jangan berharap bisa seenaknya di kamar meski tiap bulan kamu bayar.
Kalau dulu, parpol itulah yang kos di Indonesia, sekarang sebaliknya: Indonesia adalah seisi ruangan (fasilitas) di dalam kamar yang bisa dipakai semaunya oleh pihak yang mampu bayar. Kalau kamar mandi isinya uget-uget, silahkan pelihara ikan. InsyaAllah pemilik kos tidak akan marah, tapi kalau kamu pelihara buaya, kamu bisa diomeli sehari semalam oleh pemilik kos. Terlebih lagi pelihara KPK, pemilik kos tidak akan senang karena bisa-bisa menggigit pemilik kos. Itu sebabnya, uget-uget di kamar mandi harus ditangani oleh ikan-ikan yang lucu, warna-warni. Ndak masalah juga seandainya ikan itu juga takut dengan uget-uget, atau boleh saja sekali waktu ikan juga bisa gantikan posisi uget-uget.
Penghuni kos dipersilahkan tidur sesuka hati di kasur, asal kasur itu tetap jadi hak milik tuan rumah. Kalau anda sebagai penghuni bisa merasa nikmat dengan ngeloni guling di kamar, suatu saat kalau pemilik kos berhasrat ingin ngeloni guling yang sama, ia juga bisa melakukannya. Kalau suatu saat anda mengeluh lampu di kamar cahayanya redup dan anda terganggu, ya, silahkan saja ganti lampunya, tapi ingat, harus seizin pemilik kos. Jadi, intinya, silahkan berkreasi sesukamu asal pemilik kos merestui. Dan suka atau tidak harus nurut ke pemilik, karena kalau tidak nurut kamu bisa ditendang keluar.
Sebagai rakyat, saya sebenarnya kasihan dengan ”orang baik” dari Solo ini. Dia salah memilih tempat indekos. Kebetulan pemilik kosnya ibu-ibu yang sering snewen dan galak. Pemilik kos ini memang terkenal rewel. Bisa gawat urusannya kalau ada penghuni kamar yang dapat rezeki sedikit saja dan lupa berbasa-basi dengan pemilik kos atau lupa menyampaikan salam sungkem.
Agar rakyat tidak terlalu spaneng dengan kondisi Indonesia hari ini, mereka harus punya kelapangan hati apabila tidak dilibatkan ketika ada hal-hal penting. Para sesepuh di Indonesia juga ndak perlu buru-buru mengutuk orang baik ini lantaran tak dimintai pendapat saat memindah ibu kota. Lha wong Tuhan saja ndak didengar, apalagi kalian. Alam juga ndak diperhitungkan, apalagi sekedar universitas yang perannya hanya sebagai pabrik tenaga kerja.
Percayalah, tekanan yang maha dahsyat sedang menggerogoti orang baik. Sehingga kalau kebetulan ”orang baik” ini sedang punya kesempatan ”caper” di media, dia akan begitu total berakting. Yang harus kita pahami bersama adalah segala (yang dianggap) pencitraan oleh masyarakat, percayalah itu bukan sekedar eskapisme dari rasa tertekan lantaran salah indekos. Sikap caper itu boleh jadi berasal dari dorongan implusif atau ledakan psikis dari rasa sesal lantaran tak membangun indekos sendiri. Saya juga berbaik sangka bila selama ini yang dilakukan Jokowi juga merupakan sebentuk penegasan sikap bila dia juga punya kemerdekaan dan kedaulatan diri.
Namun, sedikit peluang agar Indonesia bisa lebih baik dengan demokrasi adalah dengan jalan mengembalikan cara berpikir kita ke tempat yang tepat. Indonesia tak boleh jadi sekedar ornamen dan penghias kamar kos. Indonesia harusnya harus benar-benar jadi rumah besar yang menampung partai yang merupakan bilik-bilik kamar. Dan tuan rumahnya adalah rakyat. Silahkan saja penghuni kos mana yang menang, selama dia mblunat, silahkan ditendang. Kalau ada bilik kos yang tidak sejalan dengan aturan yang dikehendaki tuan rumah, bisa dibongkar kapan saja.
Tapi, lagi-lagi ini kan sekedar angan-angan. Nasi sudah menjadi bubur dan nasib ”orang baik” memang harus begini. Mau bagaimana lagi. Kita doakan saja, suatu saat nanti ”orang baik” ini bisa bangun indekos semacam milik Bu Mega. Karena boleh saja bikin indekos model begitu, asal tidak takut kualat sama rakyat, ya, silahkan.
Jakarta, 8 Januari 2019
Citra D. Vresti Trisna