jfID – GEBRAKAN Nadiem M Makarim yang fenomenal sebagaimana dilansir berbagai media massa, belumlah tampak dan terbukti. Dia sepertinya hanya mencuatkan isu : guru merdeka, murid merdeka, menyederhanakan RPP, atau mengubur UN.
Nadiem lupa bahwa dunia edukasi butuh pembenahan total dan mendasar, dengan strategi piawai, untuk membangun profesionalitas lantaran ditengarai pendidikan kita “sedang sakit”, baik dari kurikulum maupun sumberdaya manusia. Paling tidak, selain regulasi pendidikan kita harus inheren dengan Nawacita-nya Jokowi sekaligus untuk menyejajarkan dengan kepungan ilmu pengetahuan dan teknologi global yang menderas.
Sedangkan gebrakan Nadiem identik dengan starting point yang “hangat-hangat tahi ayam” yang pada gilirannya berujung menuai kritik dari berbagai kalangan.
Tidak Paham
Nadiem, sepertinya “tidak paham” apa yang harus ditangani di awal actionnya tersebut. Menurut penulis, Nadiem tak lebih hanya sosok intelektual-millenial yang berbasis entrepreneur, yakni ekonomi kreatif semisal, Gojek yang pernah dilahirkannya.
Sedangkan masalah pendidikan yang (sebenarnya) krusial dan mendesak ditangani tidak teragenda dan diprioritaskan, misalnya saat digelar diskusi nasional bersama PGRI Nadiem cuma “angkat bahu” ketika ditanyakan bagaimana jika honor GTT cuma Rp 300 ribu / bulan, tetapi kinerjanya tidak jauh berbeda dengan guru ASN.
Kasus di atas menunjukan bahwa Nadiem M Makarim sepertinya tidak memahami masalah urgen dan esensial yang fenomenal dalam sektor pendidikan kita.
Bahkan Nadiem hanya terkooptasi perkembangan pendidikan di negara-negara barat yang semakin melejit sundul langit. dia lupa bahwa ruh pendidikan kita adalah kultur-kultur yang bermuatan etik, estetik, ideologi, dan moralitas yang sok disebut pendidikan karakter. Dari sini mestinya ada tiga hal yang dibenahi Nadiem.
Pertama, kurikukum dan perangkatnya. Kurikulum kita seolah cuma jadi kelinci percobaan para ilmuwan. Sehingga justru “jauh panggang daripada api” dan stagnan lantaran belum mampu membentuk watak bangsa yg cerdas, terampil, demokratis, dan bertaqwa. Kurikukum kita hanya nemotret kisi-kisi SDM bangsa ke depan untuk menjadi insan yang siap “menjual” dan “menunggu pesanan” laiknya ojol (ojek online). Mestinya kita merebut dan menjemput zaman (pick up and usurp the age).
Kedua, kesejahteraan guru. Ini belum tersentuh, dan pemerintah selalu membantah karena sudah ada TPP. Konyolnya lagi, kalau sejak kelahirannya dulu dasar TPP adalah untuk “penyejahteraan guru/dosen” tanpa syarat, belakangan justru berubah misi sebagai alat “tawar menawar” kinerja guru, misalnya, kalau TPP-nya tidak ingin diblacklist ya harus masuk kerja terus, tanpa alasan sakit, ataupun yang lain. Ini jelas pengingkaran amanah perundang-undangan. TPP lahir karena dari “miskin”-nya guru.
Tetapi dari rezim ke rezim, dari pemerintahan ke pemerintahan lainnya dijadikan alat mengajustifikasi kinerja para guru. Ketiga, secara faktual, kwantitas guru di lapangan sangat kurang dan perlu segera dipenuhi. Karena, guru ASN semakin habis karena proses pensiun, sedangkan pengangkatan guru baru tidak terealisasi.
Dan keempat, sistem pengajaran yang fleksibel dan demokratis yang bukan hanya berdasarkan tolok ukur angka-angka semata. Yang disebut terakhir yang ditengarai menjadi biang penyebab ranking pendidikan kita di dunia rendah (Ranking ke-72 berdasar PISA 2015) dan daya nalar peserta didik kita juga rendah.
Nah, dari uraian di atas semoga Kemendikbud mulai melakukan deregulasi di berbagai bidang, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama pendidikan kita kembali bangkit mengejar ketertinggalannya.