“Natuna Utara cukup ekstrem situasi dan gelombang laut. Rencana Menkopolhukam, Menhan, dan KKP mengirim 120 Kapal Nelayan ke Natuna Utara untuk melaut jumlahnya sedikit. Mestinya mengirim 2000 kapal nelayan Indonesia, karena di Natuna sendiri, setiap hari ada 1000 kapal IUUF beroperasi. Mestinya banyak migrasi nelayan ke Natuna sebagai bagian dari kerjasama untuk memberantas illegal Fishing (pencurian ikan) dan melawan arogansi RRT.”
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
_____________
jf.id – Menko Polhukam Mahfud MD memberikan pengarahan kepada ratusan nelayan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (6/1). Dalam pengarahannya Menko Polhukam Mahfud MD meminta nelayan agar bisa melaut ke Natuna Utara.
Sebenarnya, nelayan Cantrang diminta ke Natuna Utara sangatlah berat, karena kapal 30 Gross Ton belum memadai ke Natuna. Kecuali kapal nelayan ukuran 60 – 120 GT keatas baru bisa dan mantap sekali melaut di Natuna Utara.
Rencana mengirim 120 nelayan dari pantai utara Pulau Jawa (Pantura) ke perairan Natuna. Pemerintah menyakini pengiriman nelayan itu merupakan salah satu upaya dalam menjaga kedaulatan wilayah Indonesia, terutama di Natuna yang sedang berpolemik karena adanya klaim RRT atas wilayah tersebut.
Langkah pemerintah: Menko Polhukam, Menhan, dan KKP sudah tepat dan harus di dukung. Namun, rencana ini pasti mendapat penolakan dari nelayan Cantrang. Karena rasionalisasi ekonomi operasional melaut diperairan Natuna Utara itu sungguh berat sekali.
Kebutuhan operasional melaut ke Natuna Utara sangat besar sekali. Bisa hitung operasional sekali jalan bisa ratusan juta dengan spesifikasi kebutuhan, yakni: bahan bakar minyak, gaji Nahkoda, ABK, dan pegawai 25 orang perkapal. Ditambah lagi sembako dalam hitungan hari, minggu dan bulan.
Pemerintah harus pertimbangkan dari sisi kebutuhan ini agar bisa rasional dalam mengirim nelayan ke Natuna Utara. Kalau kapal 30 GT bisa di isi 25 orang perkapal, kapal 60 GT bisa 30-45 orang perkapal, kapal 120 GT bisa 60 orang perkapal. Begitu hitungannya.
Sudah pasti rencana pemerintah ini dipertimbangkan oleh nelayan Cantrang (Pantura). Mestinya pemerintah membuka program sayembara melaut ke Natuna Utara yang harus dikawal oleh TNI AL, Bakamla, dan Kapal Pengawas Perikanan Hiu Macan, sebagai penjaga perairan Natuna. Artinya, program sayembara ini diprioritaskan kepada kapal-kapal industri perikanan yang kapasitasnya besar sehingga lebih mudah melaut ke perairan natuna utara.
Untuk menjalankan opsi kapal-kapal industri perikanan berukuran besar ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) segera mencabut Peraturan menteri 56 Tahun 2014 dan Peraturan menteri 32 tahun 2015 yang membatasi semua gross ton kapal industri. Kedua peraturan tersebut dikeluarkan zaman Susi Pudjiastuti, mestinya Edhy Prabowo segera mencabut peraturan tersebut untuk mempercepat migrasi nelayan ke Natuna Utara untuk melaut.
Lagi pula, program migrasi nelayan ke Natuna Utara bertujuan menjaga perairan laut Natuna. Tentu hitungan eksploitasi ekonomi perikanan sangat besar. Sebenarnya, pencurian ikan di wilayah laut Indonesia sebenarnya sudah berlangsung lama, mengingat sangat kayanya potensi ikan di perairan Tanah Air.
Sebetulnya, Indonesia harus melakukan verifikasi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di wilayah Natuna karena sejauh ini Indonesia tidak memperoleh laporan mengenai terjadinya penyalahgunaan pengoperasian kapal-kapal perikanan. Natuna Utara tidak hanya sebagai lokasi yang strategis, Natuna Utara juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari migas hingga hasil perikanan.
Menurut kajian dari berbagai sumber EIA, WWF, UNEP, CFR, Natuna Utara memiliki potensi cadangan minyak hingga 11 miliar barel, gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik dan menyumbang hampir 10% kebutuhan ikan global. Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).
Natuna memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah, terutama energi. Total produksi minyak dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari. Sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD. Natuna bisa jadi lokasi blok gas raksasa terbesar di Indonesia, dengan terdapatnya blok East Natuna yang sudah ditemukan sejak 1973.
Berdasar data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), volume gas di blok East Natuna bisa mencapai 222 TCF (triliun kaki kubik). Tapi cadangan terbuktinya hanya 46 TCF , jauh lebih besar dibanding cadangan blok Masela yang 10,7 TCF. Tapi perlu dicatat, bahwa kandungan karbondioksida di blok tersebut sangat tinggi, bisa mencapai 72%. Sehingga perlu teknologi yang canggih untuk mengurai karbon tersebut. Sementara, untuk cadangan minyak diperkirakan mencapai 36 juta barel.
Tak hanya menyimpan potensi migas yang besar, kawasan Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).
Berdasarkan potensi diatas, rencana langkah pemerintah: Menko Polhukam, Menhan, dan KKP sudah tepat dan harus di dukung dengan pertimbangan: agar nelayan yang migrasi melaut ke Natuna adalah kapal-kapal besar yang kepemilikan dibawah industri – industri. Sehingga pemerintah juga tidak mengeluarkan pembiayaan untuk kegiatan migrasi tersebut.
Kalau proses migrasi nelayan dengan kapal besar ke Natuna, sudah jelas mekanisme pembiayaan ditanggung sendiri. Bagi nelayan Cantrang sangat berat sekali. Jarak yang ditempuh juga sangat jauh. Membutuhkan perjalanan berhari-hari untuk capai wilayah Natuna Utara.
Kalau pemerintah, benar – benar pengiriman para nelayan itu sendiri adalah dalam rangka melindungi kedaulatan NKRI di wilayah tersebut dari klaim sepihak China yang mencuri ikan di sana. Tentu pemerintah harus melindungi nelayan oleh negara. Dipastikan tidak ada tindakan-tindakan fisik yang mengancam dan negara harus mengawal kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan.
Natuna merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya laut melimpah dan merupakan perairan sah Indonesia. Karena itu, kekayaan tersebut menjadi hak setiap nelayan Indonesia untuk memanfaatkan sumber daya laut yang ada berdasarkan hukum internasional.
Pemerintah bersama nelayan berhak mengeksplorasi maupun mengeksploitasi kekayaan laut Natuna Utara, termasuk 2 mil ke bawahnya dari dasar perairan itu. Dengan demikian, para nelayan yang dikirim ke Natuna itu menggunakan haknya sebagai nelayan Indonesia, juga turut melakukan aksi bela negara.
Perairan Natuna saat ini diketahui sedang berpolemik karena selain ikan-ikannya dicuri oleh kapal milik China, kawasan tersebut juga diklaim oleh pemerintah China sebagai wilayah mereka. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah tegas menolak klaim China tersebut dan menyatakan bahwa perairan Natuna sah milik Indonesia.
Pijakan keputusan pemerintah untuk mengontrol perairan Natuna dengan berbagai alat: Vessel Monitoring System (VMS), kapal pengawas, Migrasi nelayan, dan patroli militer tentu harus kuat. Hal itu bisa dikerjakan secara terus menerus apabila anggarannya cukup untuk mengawasi keberadaan kapal ilegal tersebut.
Sejauh ini, nelayan sangat mendukung pemerintah berantas illegal fishing sehingga harus ada kesamaan pola berpikir supaya kebijakan itu dikerjakan secara bersama agar terintegrasi dalam satu visi untuk bebaskan laut Indonesia dari kejahatan pencurian ikan diseluruh perairan Indonesia.
Selain itu, komunikasi antar lembaga dan instansi pemerintah seperti kepolisian, Kejaksaan Agung, Bakamla dan TNI Angkatan Laut, harus terbuka koordinasinya. Sehingga kedepan tidak ada masalah dan memudahkan kerja KKP dalam mengontrol sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Terutama menjaga keselamatan nelayan Indonesia di Natuna Utara.
Keutamaannya melibatkan nelayan itu sangat penting sekali, karena mereka setiap hari dan malam melaut diseluruh perairan Indonesia. Ada baiknya, pemerintah memberikan nelayan kesempatan (tidak dibatasi), bangun komitmen dan terbuka dalam dialog secara bersama – sama memberantas ilegal fishing. Apalagi, pemerintah memiliki kemampuan untuk membekali nelayan secara lengkap alat untuk komunikasi langsung apabila ada kapal asing lakukan pencurian di perairan Indonesia.
Selama ini, tidak memantik adanya persoalan tersumbatnya upaya pemberantasan Ilegal Fishing sebagai sala satu kebijakan populis. Faktor keterhambatan adalah tersumbatnya komunikasi yang baik dengan nelayan sebagai mitra terbaik pemerintah untuk menjaga laut secara utuh tanpa gangguan.
Keterputusan komunikasi itu, lebih pada pandangan subjektif pemerintah terhadap nelayan, misalnya melarang alat tangkap yang selama ini hasil modernisasi nelayan itu sendiri.
Seumpama komunikasi baik itu terjalin bagus dan erat antara pemerintah sebagai sektor regulasi dengan nelayan sebagai pelaksana regulasi. Maka kedepan pasti akan lebih baik sekali. Namun, justru komunikasi yang diharapkan itu terhambat karena substansi dasarnya tidak dipahami.
Padahal, apapun argumentasi yang ada, kita semua inginkan nelayan sejahtera. Tetapi tidak dengan melarang alat tangkap atas justifikasi sebagai pelaku over fishing dan ilegal fishing. Apalagi ada kanalisasi terhadap nelayan dengan menjustifikasi alat tangkapnya itu sebagai perusak ekosistem laut.
Padahal seluruh alat tangkap apabila tidak dilakukan mitigasi dan pengendalian, maka akan merusak. Jika dilakukan pengendalian melalui regulasi yang baik. Maka alat tangkap yang dipakai nelayan sesungguhnya membawa bangsa Indonesia dipandang positif dan bisa mensejahterakan nelayannya.
Kembali pada substansi migrasi nelayan untuk antisipasi ilegal fishing di Natuna Utara. Diskursusnya selama 5 tahun ini memang kekosongan ruang komunikasi. Maka, pada intinya harus ada komunikasi yang baik. Pemerintah juga sebaiknya memberi apresiasi nelayan yang membantu pemerintah lakukan berantas illegal fishing.
Pola dan upaya diatas sala satu komitmen nelayan untuk membantu pemerintah berantas Ilegal Fishing. Karena pemerintah tak bisa sendiri seperti superhero untuk berantas ilegal fiahing. Maka perlu bantuan nelayan secara sukarela dan bersama-sama. Karena pemerintah memiliki keterbatasan dalam patroli sehingga membutuhkan kerjasama yang baik dengan nelayan.
Kedepannya, pemerintah melalui KKP harus berhenti menyakitkan perasaan nelayan dengan stigmatisasi label kartel proxy asing dan pelaku ilegal fishing. Sekarang, semua pihak harus melakukan evaluasi dan monitoring yang ketat terhadap program berantas ilegal fishing, terutama masalah anggaran operasional satgas 115 yang selama ini tidak jelas sumber dapatkan anggaran.
Yang terpenting, kedepan Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam, Menhan dan Menteri KKP secara bersama pula lakukan reformulasi kembali tugas-tugas dan anggaran pengawasan wilayah kedaulatan perairan laut Indonesia.