Lockdown, ‘Surga’ Si Kaya dan Neraka Si Miskin

Herry Santoso By Herry Santoso
10 Min Read

jfID – Penyebaran virus corona semakin menebar kekhawatiran di tengah masyarakat seiring jumlah pasien yang terus mengalami lonjakan. Di Jakarta misalnya, pembatasan transportasi publik Transjakarta, dan MRT mulai diberlakukan sebagai langkah antisipasi penyebaran virus corona, walaupun akhirnya dibatalkan lantaran dianggap mengganggu aktivitas ekonomi, karena tidak semua pekerja melakukan work from home alias bekerja dari rumah.

Faktanya hanya ada beberapa negara yang melakukan lockdown seperti Italia, dan China, sementara Jepang dan Singapura memiliki strategi yang berbeda untuk menangkal Covid-19.

Menurut Lindsay Wiley, dari Washington College Law, definisi lockdown sendiri sebenarnya tidak dikenal dalam kebijakan kesehatan masyarakat. Dalam pengertian umum definisi lockdown terlalu luas karena mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan sekolah, hingga menutup akses satu daerah dalam waktu tertentu.

Pandangan publik terkait lockdown tentu terpecah, ada yang mengusulkan untuk menutup suatu daerah tertentu seperti Wuhan yakni saat akses keluar masuk ke daerah lainnya ditutup. Pandangan lainnya, melakukan kerja dari rumah dan mengurangi jam operasional transportasi publik.

Ad image

Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi di masyarakat tentunya akan sangat besar bagi perekonomian nasional. Jika kebijakan isolasi total diberlakukan, maka ekonomi nasional bisa masuk dalam jurang krisis lebih cepat dari perkiraan awal.

Di ibu kota saja sebanyak 70 persen peredaran uang negara ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral pun juga bertempat di Jakarta.

Kepanikan akan terjadi di banyak tempat, membuat orang melakukan penarikan uang di bank untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Likuiditas bank terancam kering. Sementara panic buying memperparah stok persediaan bahan pangan.

Kita perlu belajar dari pembelian barang bermotif ketakutan yang terjadi di kota-kota besar. Saat pemerintah mengumumkan pasien Corona pertama, terlihat jelas bahwa pemerintah pusat maupun daerah tak bisa melakukan apapun untuk mencegah pembelian gila-gilaan itu.

Apalagi April akan memasuki Ramadan, yakni ketika permintaan bahan kebutuhan pangan musiman naik. Kepanikan masyarakat dalam memborong bahan kebutuhan pokok, dan farmasi (obat-obatan, masker, penyanitasi tangan) menambah panjang risiko terjadinya inflasi yang cukup tinggi.

Perkiraan sederhana inflasi sepanjang tahun 2020 dapat menembus angka 4-6 persen sebagai konsekuensi dari pemberlakuan lockdown. Angka ini belum mempertimbangkan adanya spekulan jahat, penimbun gelap yang memanfaatkan situasi untuk melakukan panic stocking atau sengaja menimbun barang yang dicari orang banyak.

Orang Kaya

Siapa yang paling kena dampak dari lockdown? Jelas jawabannya bukan orang-orang kaya.

Orang kaya ( baca : menengah ke atas) yang menguasai 40 persen lebih total konsumsi nasional, mampu menimbun barang dalam jumlah yang besar, jelas orang miskin tidak lagi kebagian kebutuhan pokok. Apalagi dengan  obat-obatan, masker, penyanitasi tangan melambung tinggi seperti terjadi beberapa waktu lalu.

Siapa yang sanggup membeli harga masker di situs belanja ketika menembus Rp1 juta per boks? Hanya golongan menengah atas yang sanggup. Sementara mereka yang masuk golongan bawah (the lower class) harus gigit jari, siap-siap mengencangkan ikat pinggang, dan bersandar pada nasib.

Ketika kelas atas melakukan panic buying,masyarakat miskin sebaliknya tidak tahu besoknya mau makan apa.

Ketika karyawan kantoran di perusahaan-perusahaan multinasional memberlakukan cuti dengan tanggungan gaji, atau bekerja dari rumah, driver ojol yang berjumlah 2 juta bingung karena order mendadak sepi dan tidak bisa dikerjakan di rumah. Belum bagaimana nasib tukang sayur, abang bakso, atau kuli angkut, serta buruh.

Orang-orang kaya yang tinggal di istana megah-nya, tinggal klik kemudian pesananan makanan jadi via e-commerce sampai di depan pintu. Sementara orang-orang miskin, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit ketika banyak toko-toko tutup, itu pun sebelumnya mengunjungi rumah gadai hanya menggadaikan seprei.

Dari sisi kesehatan, asuransi kesehatan dengan fasilitas rumah sakit terbaik merupakan keistimewaan orang kaya. Jika tes kesehatan virus corona tak semuanya dibayar negara, orang kaya ini tak perlu khawatir. Apalagi soal defisit BPJS Kesehatan, mereka tak mau peduli.

Sedangkan si miskin merupakan kaum yang paling rentan terhadap turunnya fasilitas kesehatan, terutama saat kondisi krisis dan kritis.

Dapat kita bayangkan di saat orang miskin terdektesi pisitif corona, maka ia hanya bisa termangu-mangu lantaran tidak segra dirujuk ke rumah sakit rujukan,tidak boleh menggunakan fasilitas ambulan rumah sakit setempat. Di sini petugas peramedis diuji, pilih kasih sayang pada si miskin, atau loyalitas pada atasan.

Sudah jelas bahwa lockdown merupakan situasi neraka bagi kelas bawah. Kerentanan kaum papa hanya akan memperlebar jurang ketimpangan yang selama ini masih terjadi. Dalam kondisi terjepit bukan tidak mungkin konflik horizontal akan pecah.

Bagaimana kesiapan Pemerintah?

Baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah sepertinya memang belum menyiapkan diri jika harus melakukan lockdown untuk saat ini. Terlihat dari kacaunya koordinasi kebijakan pusat dan daerah, bahkan yang ironis penjelasan seorang menteri dianggap biang kegaduhan !

Pola komunikasi yang saling berebut panggung antar kepala daerah, dan gagapnya stimulus ekonomi 1 dan 2 yang diluncurkan oleh pemerintah mengisyaratkan wacana lockdown akan mengarah kepada kekisruhan total.

Ketersediaan rumah sakit, karantina, hingga alat cek virus corona masih belum memadai. Singapura memberikan masker gratis dari rumah ke rumah, Indonesia justru masker dibuat mainan oleh penimbun gelap dan menjadi langka di pasaran.

Kesiapan dari sisi ekonomi lebih memprihatinkan, bahan kebutuhan pokok sebagian bergantung pada impor.

Kejadian wabah virus corona telah merusak rantai pasok impor khususnya dari China, sebut saja bawang putih. Tidak semudah itu mencari substitusi impor, karena memang jalan keluarnya mendadak. Kemandirian pangan Indonesia dipertanyakan.

Berbeda dari China, di mana stok kebutuhan pangan untuk memasok warga yang di karantina dalam apartemen, rumah, dan gedung-gedung dipasok merata oleh Pemerintah China. Di Wuhan, negara hadir menyiapkan kebutuhan warganya.

Bukan cerita aneh ketika ada mahasiswa Indonesia sedang diisolasi dalam kamar asrama nya di Wuhan, dipenuhi kebutuhan makan selama berminggu-minggu oleh pihak kampus.

Selain cara lockdown, adakah cara lain yang lebih berimbang antara mereduksi penularan virus Covid-19 dan tetap mendorong keberlanjutan roda ekonomi?

Singapura mencoba memberi contoh tanpa melakukan lockdown. PM Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa fokus penanganan kesehatan adalah warga lansia, karena paling rentan terkena Covid-19. Pembatasan perjalanan dari WNA di banyak negara, dan menunda sementara acara keagamaan juga dilakukan.

Selain itu Singapura juga melakukan bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan sangat baik, dengan tegas Pemerintah Singapura mengalokasikan US$4 miliar setara Rp59,2 triliun untuk membantu keuangan perusahaan yang terimbas Covid-19.

Jepang lebih melakukan upaya klaster dan penelusuran riwayat kontak korban, dibandingkan lockdown.

Dikutip dari data John Hopkins University, rasio kasus Covid-19 di Jepang adalah 0,5 per 100.000 orang lebih rendah dari negara OECD lainnya. Sebagai perbandingan rasio China adalah 5,81 dan Italia 20,6 kasus per 100.000 orang.

Maka, melihat kondisi dan kesiapan Indonesia, sebaiknya skenario lockdown dipikirkan secara matang. Jangan sampai ikut-ikutan dengan negara lain yang struktur ekonominya lebih kuat dari Indonesia. Meski Indonesia belakangan ada isu dicoret dari status negara berkembanf dan ditempeli predikat “negara maju” bersams China dan Brasil, tetapi kenyataannya hal tersebut identik dengan pabrik impian (dream factory) lantaran kondisi riel tidak paralel dengan sebutan itu.

Atas fenomena tersebut yang paling penting adalah, harga barang-barang murah, fasilitas kesehatan terpenuhi secara standar, stok pangan cukup (apalagi menjelang ramadhan dan idul fitri) serta ada regulasi terpadu antara pusat dan daerah dakam kasus Covid 19, agar kesenjangan si kaya dengan si miskin tidak semakin menganga. Nah…

Tentang Penulis : Herry Santoso adalah Koordinator Jurnalis Jurnalfaktual.id untuk Perwakilan Jawa Timur, novelis dan pemerhati masalah sosial-pilitik, budaya menetap di Blitar Jawa Timur

TAGGED:
Share This Article