jfID – Mengingat lagi ajaran Sukarno, maka kajian ideologi ini harus betul-betul diperhatikan oleh setiap bangsa Indonesia sekarang. Mengkaji Marhaenisme sepertinya harus dikembalikan lagi seperti di saat-saat Sukarno masih hidup. Marhaenisme adalah tolok ukur menuju kemerdekaan revolusi staat (negara) dan nation (bangsa) Indonesia yang masih belum selesai sampai hari ini, dan akan dilanjutkan kelak dikemudian hari sampai benar-benar revolusi Indonesia tercapai.
Marhaenisme adalah dasar kehidupan ber-bangsa dan ber-negara Indonesia. Sebagai dasar perjuangan, maka setiap bangsa harus mengetahuinya. Ideologi Marhaenisme yang lahir di Indonesia di masa-masa perjuangan itu, dan dijadikan azas Sukarno dalam berjuang untuk melawan segala bentuk penindasan kolonialisme maka ideologi tersebut sudah benar-benar diuji oleh catatan sejarah dan bangsa Indonesia sampai hari ini. Jadi perlu kiranya kita bersama-sama untuk menghidupkan kembali ajaran ini yang sudah lama di matikan oleh rezim Orde Baru (Orba). Oleh karena itu, Marhaenisme sebagai ideologi perjuangan, maka Pancasila tidak bisa dilepaskan dari Marhaenisme.
Pancasila sebagai yang kita ketahui adalah konseptornya adalah Sukarno, dan perlu juga dipahami bahwa sebelum ia berpidato konsep dasar bangsa tersebut, Sukarno sudah menciptakan bertahun-tahun sebelumya dengan sebuah ideologi yang dikenal nanti dengan Marhaenisme. Pancasila yang dijadikan dasar bangsa Indonesia hari ini akan diketahui mau kemana gerak langkahnya jikalau bangsa Indonesia terlebih dahulu memahami apa itu konsep dasar dari Marhaenisme Sukarno.
Marhaenisme yang dilahirkan oleh Sukarno tersebut tidak semerta-merta hadir begitu saja. Kondisi rakyat yang terjajah oleh kolonialisme Belanda dan sistem-sistem yang menyebar bagai virus di dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu adalah merupakan konsekuensi ideologi Marhaenisme muncul dan berkembang dikalangan rakyat.
Sebab-sebab sistem kapitalisme, imperialisme, dan feodalisme tentu adalah dasar kenapa Marhaenisme lahir dan diterima oleh masyarakat. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, Sosialisme, dan Maxisme sebagai acuan teori-teorinya kelak sebagaimana diketahui sekarang yaitu; Marhaenisme, Pancasila, Nasakom, Manipol Usdek, Berdikari, dan Trisakti.
Ideologi seperti Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme tentu sangat terkesan bagi sosok Sukarno sehinga tidak heran, jika tokoh-tokoh terkemuka di barat memperbincangkan ide-ide Sukarno terutama berkenaan dengan Marhaenisme.
Sejarawan Soviet yang juga penulis Biografi Soekarno, Kapitsa MS dan Miletin NP, menyebut gagasan Marhaenisme Soekarno itu sebagai ajaran yang ekletis, yang secara keseluruhan mengandung sifat-sifat subjektif dan idealistis (Hartono, 2011: http://www.berdikarionline.com/). Ini sangat benar sekali jika dilihat dari azas-azas Marhaenisme yang mengandung Sosio- Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam pidato Pancasila I Juni 1945 yang memberikan pilihan kalau tidak dengan ‘Lima Sila’ maka Sukarno memberikan usulan dengan Trisila yang berbunyi ‘Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhan Yang Maha Esa’).
Marhaenisme atau pun Trisila ini sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya saja Sukarno menambahkan Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME) di dalam pidato Pancasila I Juni 1945 dalam ide Trisakti tersebut. Ide-ide cemerlang Sukarno seperti Marhaenisme tersebut tentu perlu pengkajian mengakar apakah di zaman seperti di era globalisasi seperti sekarang ini masih tetap relevan untuk tetap dijadikan dasar gerakan.
Seperti diketahui, negara Indonesia hari ini sistem kapitalisme sangat merajalela disegala lini kehidupan seperti; pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan bahkan masyarakatnya sudah dikapitalisasi. Kolonialisme yang dulu dimasa-masa penjajahan Belanda, Jepang, dan lain-lain masih berbentuk bom, pistol, tank, dan sebagainya namun lain lagi di dalam kondisi sekarang, ini sudah berubah bentuk diantaranya dengan perkembangan; pabrik/perusahaan, pendidikan, ekonomi, hukum, dan lain. Maka apa yang harus bangsa Indonesia sekarang lakukan. Apalagi kondisi Indonesia sekarang perlu diprihatinkan.
Indonesia sekarang merupakan suatu masyarakat kapitalis yang bersifat setengah jajahan. Bilur-bilur luka sisa feodalisme pun disekujur tubuhnya. Kapitalisme neoliberal telah mendaras, terutama di era akhir kekuasaan Orde Baru (Sudjatmiko, 2006: https://indoprogress.com/).
Budiman Sudjatmiko cukup jeli melihat kondisi pos modern ini dengan berkembangnya ideologi eksploitatif feodalisme dan neo liberlisme (neo-lib). Jikalau Sukarno mengatakan, bahwa kapitalisme kuno berganti wajah menjadi kapitalisme modern, dan imperialisme tua menjadi imperialisme muda (modern), maka hari ini pergantian wajah dari sintem-sistem tersebut sudah berganti bulu pula menjadi kapitalisme pos modern, dan imperialisme pos modern. Inilah penjajahan gaya baru.
Perubahan-perubahan hari ini karena disebabkan masuknya globalisasi. Di era globalisasi seperti sekarang, kesengsaraan semakin merajalela, walau pun terlihat oleh kita seperti biasa-biasa saja tidak ada persoalan apa-apa. Biar demikian, wajah pemerasan di era sekarang bagi rakyat Marhaen terasa sulit dipahami apalagi disusul dengan kenyataan kemiskinan terjadi dimana-mana. Tidak hanya di desa namun di kota-kota besar pun terjadi.
Tidak heran jika kapitalisme menjadi motor penggerak sejarah perubahan masyarakat global. Tidak hanya itu, sepanjang dekade ini Amerika tumbuh subur dalam upaya menyerap eksplor, ditambah lagi dengan berjalannya roda ekonomi Asia. Ekonomi Asia berpulang untuk mengekspor ‘surplus’ komoditi yang tak terbeli oleh rakyat sendiri (Sudjhatmioko, 2006: https://indoprogress.com/).
Tentu tantangan masyarakat Indonesia hari ini juga berkenaan dengan politik, birokrasi, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, buruh, dan kedaan petani kita yang sungguh jauh dari harapan cita-cita Marhaenisme Sukarno yaitu sosialisme Indonesia (kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia) untuk mandiri secara ekonomi, berdaulat dibidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan masih perlu banyak diperhitungkan adanya.
Persoalan demi persoalan menjadi penyebab ketidaksejahteraan bangsa Indonesia terutama dalam hal ini adalah ekonomi. Persoalan ekonomi ini pernah dirilis di media merdeka.com. “Kita harus waspada karena rata-rata pertumbuhan ekonomi kita terus menurun dari angka sekitar 7,5 persen pada zaman Indonesia mengalami booming minyak, kemudian menurun menjadi 6,4 persen per tahun ketika mengalami booming di sektor manufaktor, khususnya sektor padat karya, di tahun 1999-an ujar Menteri Bambang di JCC, Jakarta, Senin (22/7), (Reporter Merdeka, 22 Juli 2019: https://www.merdeka.com/).
Menteri Bambang juga masih menyayangkan karena hingga kini ekspor masih mendominasi mineral (batu bara) dan agrikultural (sawit). Tahun kemarin juga ekonomi masyarakat Indonesia masih baru tumbuh di kisaran 5 persen. BI mengungkapkan ada beberapa hal yang membuat laju pertumbuhan bergerak lambat (Pink, 2019: https://money.kompas.com/).
Adapun penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak lambat salah satunya dikarenakan menyebarnya difisit tansaksi current account dificit (CAD) dengan diikuti tekanan atas nilai tukar karena impor yang selalu mengalami peningkatan, tentu juga karena inflasi tersebut tambah naik. Bank Indonesia (BI) juga melihat adanya tekanan dari ekonomi global. BI juga melihat adanya ekonomi global yang masih memperlambat kenaikan ekonomi Indoneisa (Pink, 2019: https://money.kompas.com/).
Bukan hanya itu, persoalan perekonomian Indonesia saat ini, pernah di ungkapkan oleh Presiden Joko Widodo. Problem defisit transaksi belanja, problem defisit neraca perdagangan. Kalau fundamental ini bisa kita perbaiki, kita akan menuju pada negara yang tidak akan terpengaruh oleh gejolak-gejolak ekonomi dunia,” jelasnya (Hamdani, 2018: https://finance.detik.com/). Alasan pertama itulah salah satu persoalan perekonomian Indonesia. Tidak hanya itu, penjelasan perekonomian Indonesia kenapa terhambat, Jokowi juga menuturkan:
“Yang kedua berkaitan dengan pariwisata. Sektor pariwisata ini merupakan salah satu penghasil devisa negara. Berikan ruang yang sebesar-besarnya bagi investasi di bidang ini, terutama untuk daerah-daerah yang pariwisatanya sudah mulai diincar oleh wisatawan-wisatawan, baik dalam negeri maupun dari luar,” paparnya (Hamdani, 2018: https://finance.detik.com/).
Sistem ekonomi juga menjadi hal penting untuk diupayakan untuk menunjang kesejahteraan perekonomian Indonesia. Karena hal utama yang harus dilakukan adalah bagaimana kemandirian dalam ekonomi, tetapi sangat disayangkan, “Pertumbuhan ekonomi 5% sampai 5,1% tidak cukup mampu mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Makanya kita butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi,” tutur Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ kepala Pappenas Bambang Rodjonegoro (Putri, 2019: https://www.cnbcindonesia.com/).
Sistem ekonomi kita hari ini masih perlu dipertanyakan. Perlu kiranya kita kembali lagi mengingat apa yang telah ditulis Sukarno terkait sistem ekonomi kita. Terkait juga pada persoalan kapitalisme. Sukarno pernah menuliskan artikel tentang ‘Kapitalisme Bangsa Sendiri’.
Di dalam artikel tersebut Sukarno menerangkan, kita harus anti semua bentuk kapitalisme. Di dalam karangan saya yang lampau saya katakan bahwa kita harus anti segala kapitalisme, walau pun kapitalisme bangsa sendiri (Sukarno, 2005: 181). Segala bentuk kapitalisme haruslah kita basmi bersama-sama, sebab kapitalisme ini akan menyebabkan kesengsaraan rakyat Indonesia.
Tidak hanya dalam persoalan ekonomi, maka persolan sosial budaya juga menjadi sebab kemuduran peradaban Indonesia. Revolusi mental, Trisakti pemerintah Jokowi tak kunjung dapat kejelasan, bahkan soal kebudayaan bangsa Indonesia sudah banyak terkikiskan.
Persoalan serius tersebut tentu harus kita bahas besama-sama. Dalam hal ini pemerintah mengakui permasalahan mendasarnya. PEMERINTAH mengakui masih terdapat beberapa permasalahan mendasar yang harus diselesaikan perihal dikotomi pembangunan ekonomi yang belum diimbangi dengan strategi kebudayaan yang kuat. Akibatnya, krisis kebudayaan masih melanda Indonesia (Humaniora, 2016: https://mediaindonesia.com/).
Krisis kebudayaan seperti dijelaskan menjadi salah satu penyebab ketimpangan sosial. Hal tersebut ditandai dengan semakin sering terjadinya diskriminasi SARA dalam masyarakat, belum terjadinya rasa tenggang rasa yang tinggi, masih ada disorientasi tata nilai, serta semakin meningkatnya pengalihan ruang publik menjadi ruang swastabsingga terbatasnya ruang bagi masyarakat dalam mengekspresikan kebudayaan (Humaniora, 2016: https://mediaindonesia.com/).
Masalah budaya juga suatu hal yang amat penting. Terkikisnya kebudayaan Indonesia akan menjadi sebab suatu bangsa akan mundur, tetapi ada hal yang banyak terlupakan adalah berdaulat di bidang politik. Politisi kali ini terlalu banyak yang melupakan apa esensi dari politik tersebut.
Dalam soal politik tentu menjadi penting jika di bahas, walau pun demikian ada baiknya jika Trisakti Sukarno yang telah didengungkan oleh pemerintah Jokowi itu di apresiasikan. Namun walau demikian masyarakat Indonesia harus saling mengawal juga. Ketika bangsa ini dengan jeli melihat praktek politik politisi sekarang sungguh sangat miris.
Permasalahan demi permasalahan yang telah dibuat oleh politisi hari ini, tak kunjung beres. Sehingga cita-cita Trisakti; Berdaulat dibidang politik, berdikari dibidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan tak kunjung tercapai.
Tiga konsep tersebut sebenarnya dicetuskan oleh Sukarno agar bangsa Indonesia bisa bergaul di kancah internasional. Lebih jauh, konsep Trisakti menjadi pendorong supaya bangsa Indonesia dapat bergaul dalam kancah internasional dengan penuh harga diri dan menghormati kedaulatan masing-masing negara dan bangsa. Selain itu Indonesia diyakini dapat merencanakan dan menyusun pola kerjasama pola kerja sama ekonomi dengan negara-negara industri besar dengan percaya diri saling menguntungkan (detikNews, 2014: https://news.detik.com/).
Terkait Trisakti tentu menjadi jembatan utama untuk menuju cita-cita Sosialisme Indonesia, atau cita-cita dari Marhaenisme itu sendiri. Maka pada kondisi sekarang pertanyaanya apakah Marhaenisme masih relevan untuk kondisi dan situasi pos modern seperti sekarang? Pertanyaan ini tentu harus juga dijawab. Sebagaimana diketahui bahwa Marhaenisme terdiri dari Sosio-Nasionalisme dan Sosio demokrasi.
Dua Sosio haruslah dipahami sebagai kesatuan fikiran kita kepada Marhaenisme. Seperti diketahui, bahwa paham Nasionalisme Sukarno adalah suatu Nasionalisme kerakyatan. Persoalan yang terjadi di masyarakat Indonesia haruslah dipahami bersama-sama, agar tidak menjadi kaum Marhaenis gadungan. Oleh karenanya, maka nasionalisme adalah nasionalisme marhaen dan menolak tiap tindak tanduk burjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu (Sukarno, 2005: 173).
Sebagai yang harus diketahui juga adalah bagaimana Sosio-Demokrasi harus dijalankan dengan demokrasi ala bangsa Indonesia. Demokrasi ala Indonesia ini yang telah disebut di dalam ajaran Marhaenisme tidak boleh sama dengan demokrasi yang telah ada dan berkembang di Eropa. Kenapa demikian, karena ketika bangsa Indonesia, pemerintah, dan lain-lain menggunkan sistem demokrasi ala Barat, maka bangsa dan negara Indonesia akanlah binasa. Karena demokrasi di Eropa lahir karena kepentingan oleh kaum borjuisme.
Marhaenisme jikalau mau ditinjau dalam segi relevan atau tidak, maka dalam kondisi Indonesia seperti sekarang, tentu jawabannya adalah relevan, apalagi dari penekanan ajaran Marhaenisme masih langsung berpedoman pada kelas “pemilik produksi kecil”. Ketidaksejahteraan para “Pemilik produksi kecil” menjadi alasan kuat bahwa Marhaenisme Sukarno sangat relevan untuk menjawab bagaimana karakter kapitalisme Indonesia di dalam pusaran seperti neo-liberal seperti saat ini.
Perkembangan demi perkembangan menjadi laju tersendiri. Seperti juga ditandai melonjatnya sektor informasi akibat de-industrialisasi. Sekarang ini pertumbuhan sektor informal yang sekarang ini mencapai 70% dari angkatan kerja. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan kecil (asongan, PKL, calo, dll). Industri pengolahan kecil (industri rumah tangga, kerajian, dan lain-lain), dan pertanian (petani menengah, miskin, dan gurem) (Hartono, 2011: http://www.berdikarionline.com/).
Keseluruhan dari sektor pedagang kecil sebagai salahsatu contoh yang telah dijelaskan tadi menjadi alasan tersendiri betapa kondisi negara Indonesia menjadi fokus utama perjuangan Marhaenis untuk tetap berprinsip bahwa ajaran Marhaenisme sangat pas jika dijadikan pedoman perjuangan dan perlawanan.
Alasan inilah maka Marhaenisme masih sangat relevan jika dijadikan sumber utama dalam upaya perjuangan di era pos modern seperti sekarang. Di atas maraknya Neo-Liberalisme dan kapitalisme yang semakin mencekam. Maka, ideologi Marhaenisme sangat cocok dijadikan azas perjuangan yang selama ini sangat menentang segala bentuk kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme.
Daftar Referensi
DetikNews. (2014). Begini Makna Sebenarnya Trisakti Menurut Soekarno. https://news.detik.com/.
Hamdani, Trio. (2018). Jokowi Ungkap 2 Masalah Besar Ekonomi Indonesia. https://finance.detik.com/
Hartono, Rudi. (2011). Marhaenisme Dan Relevansinya Untuk Situasi Sekarang. http://www.berdikarionline.com.
Humaniora. (2016). Kebudayaan Hadapi Masalah Serius. https://mediaindonesia.com/.
Idr. (2019). Ekonomi Indonesia Terus Merosot, Ada Masalah Apa? . https://www.merdeka.com/
Ping, Bidara. (2019). Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Masih Seret, Apa Sebabnya?. https://money.kompas.com/
Putri, Cantika Adinda. (2019). Menteri Ini Ungkap lagi Fakta Ekonomi RI, Miris. https://www.cnbcindonesia.com/.
Sudhjatmiko, Budiman. (2006). Marhaenis Bergerak (1). https://indoprogress.com.
Sukarno, Ir. (2005). Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Yayasan Bung Karno.