jfid – SEJAK Nadiem Makarim, dilantik sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dunia pendidikan kita ditengarai “stagnan” terlebih disambut pula oleh pandemi global Covid-19. Padahal diharapkan Nadiem menjadi agen pembaharu (agent of reform) dalam dunia pendidikan kita yang selama ini ditengarai “jalan di tempat” dan sangat lamban. Seolah-olah pendidikan kita tidak bisa menjadi restorasi sumber daya manusia (SDM) masa depan yang bercorak egaliter progresif revolusioner. Artinya, mampu menjembatani tuntutan masa depan yang sarat pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge-technologie growth oriented).
Selain setiap kali kita ganti menteri tak lebih cuma seremoni rutinitas : bongkar-pasang kurikulum, pabrik permen, yang ujung-ujungnya stagnan dan monotonitas, bahkan segala kebijakannya hanya menambah beban tugas guru di lapangan. Pendek kata, dunia pendidikan kita selalu menjadi “kelinci percobaan” (experiment rabbit) para ilmuwan hebat di negeri ini meski belum tentu yang terbaik, atau bahkan selalu terkooptasi oleh kepentingan politik sebuah rezim (kekuasaan) !
Kemudian yang menjadi tanda tanya besar terhadap Kemendikbud adalah : Mungkinkah Nadiem Makarim benar-benar mampu “mengawinkan” pendidikan berbasis iptek dengan ekonomi kreatif sebagaimana keinginan pemerintah ke depan?
Sebab, berbicara pendidikan di Indonesia tidak akan sama dengan teori akademis, meski berbasis kekinian sekalipun. Ruh pendidikan di Indonesia adalah senyawa antara ilmu pengetahuan (knowledge), budaya (culture), keterampilan (skill), dan budi pekerti (character). Meramu keempat dimensi itulah yang kadang membuat kebijakan kementerian acapkali kurang tepat sasaran (untuk tidak mengatakan gagal).
Sebab selama ini
Kebijakan kementerian pendidikan kita acapkali terjebak oleh euforia politik, yang justru bias dengan ruh yang menjiwai dunia edukasi. Alhasil bila penetrasi regulasi sering gagal, dan sering mencari kambing hitam, dan korbannya pelaku/kondisi di lapangan misalnya : faktor guru, faktor orang tua, faktor lingkungan, dan seterusnya.
Perubahan Sistem
Yang kerap menghadirkan permasalahan justru perubahan sistem, dari model konvensional ke model baru. Karena perubahan tersebut berdampak pada operasional di lapangan yang acap mengalami kepincangan. Mengapa? Sebab dalam satu sisi guru dan peserta didik belum siap menerima perubahan yang gegas tersebut, sedangkan di sisi yang berbeda, pendidikan kita sudah mengarah ke basis kekinian hanya lantaran euforia global. Seperti yang terjadi saat ini pendidikan kita sudah sepenuhnya berbasis digitalisasi atau IT (information technologie).
Dalam evaluasi belajar-mengajar pun sudah menggunakan sistem komputasi (online), meskipun banyak sekolah yang justru masih terseok-seok mengejar kekurangan (baca : ketertinggalan). Alhasil sistem tersebut tidak berjalan mulus. Begitu pula saat diadakan UKG (Uji Kompetensi Guru), cenderung tidak berjalan mulus lantaran banyak guru yang masih gaptek, yang pada gilirannya seolah UKG merupakan momok untuk mengajustivikasi “kebodohan” guru. Padahal guru yang gagal di UKG belum tentu guru yang dungu. Ia justru sarat pengalaman mengajar, bahkan aktor dalam penanaman nilai-nilai berbasis karakter (budi pekerti) pada peserta didik.
Lebih-lebih ketika tiba-tiba planet bumi didera wabah Covid-19, praktis sektor pendidikan kita semakin termangu-mangu di simpang jalan : mau ke mana ? Lebih parah sistem uji coba dan adaptasi selama pandemi jadi tumpang-tindih, saling-silang, serta kesemerawutan lain yang membarengi kelinci percobaan satu ke kelinci percobaan lain, dan melahirkan “latahisme” dalam cyber technologie serta ketimpangan-ketimpangan. Pertama, terabaikannya segala bentuk konvensional, dan hanya menghargai sesuatu yang berbasis kekinian. Fenomena ini tidak bisa dipandang sepele, karena sejatinya kekuatan pendidikan di sekolah-sekolah sampai saat ini masih tetap berada pada guru-guru yang “gaptek”.
Kedua, karena dengan diberlakukannya model cyber tersebut, juga berpengaruh terhadap sistem penerimaan pendidik dan tenaga kependidikan. Akibatnya sungguhpun sebenarnya kita sangat kekurangan tenaga pendidik (guru) namun sulit terpenuhi lantaran pelulusannya tidak didasarkan kompetensi dan lamanya pengabdian melainkan hanya “mudeng teknologi” komputasi, dan ketiga, banyak pemerintahan di daerah yang tidak mampu menjembatani kebutuhan perangkat lunak tersebut untuk dianggarkan di APBD masing-masing daerah dan didrop ke sekolah-sekolah. Akhirnya pihak sekolah sendiri yang berusaha memenuhi kebutuhan dengan menarik sumbangan pada walimurid, dan ini yang menjadikan pendidikan biaya tinggi (high cost education).
Apa yang disebut terakhir jelas kontra produktif dengan regulasi pemerintah tentang “pendidikan gratis”. Lebih jauh lagi, kenyataannya anggaran pendidikan secara nasional 20% dari APBN sampai saat ini belum muncul dan terpenuhi, sehingga jargon nasional yang berlindung dibalik undang-undang tersebut semakin jauh panggang daripada api.
Pendidikan Paralel dengan Pertumbuhan Ekonomi Kreatif
Siapapun pasti kebingungan untuk memahami idealisme tersebut. Apakah lulusan pendidikan formal harus ber-output pada pertumbuhan ekonomi kreatif, ataukah sebaliknya. Tetapi profil Nadim Makarim sendiri adalah pelaku ekonomi kreatif yang berbasis IT, contoh, Gojek.
Apabila lulusan sekolah (sebut : SMA sederajad) ber-output ekonomi kreatif sangatlah tepat. Sebab lulusan SMA (sederajad) saat ini menjadi “kartu mati” di pasar kerja. Tetapi sungguhpun demikian, harus ada perubahan kurikukum sejak sedini mungkin yaitu mulai sekolah dasar untuk menuju berbasis ekonomi kreatif. Hal tersebut sudah diterapkan di negara-negara maju laiknya Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan di Barat (Eropa-Amerika).
Untuk Indonesia perlu kajian mendalam, karena segmentasi pendidikan kita dibedakan menjadi tiga yaitu (1) struktur kota (2) struktur pedesaan dan (3) struktur kawasan terpencil. Jangan-jangan program yang akan dihela oleh Mendikbud nanti hanya akan mentok menjadi pilot project saja. Kalau seperti itu kenyataannya maka semua regulasi hanya akan menjadi kalungan puisi indah tanpa kenyataan, dan itu merupakan petaka buat bangsa. Nah…
Herry Santoso, adalah pemerhati masalah sosial, budaya, dan pendidikan tinggal di Blitar Jawa Timur.