jfid – Setelah Indonesia dinyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, konflik antara Indonesia dan Belanda masih berlanjut. Belanda masih berupaya untuk merebut kembali Indonesia. Salah satu faktor penyebab konflik ini adalah kedatangan Belanda ke Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, Sekutu menganggap bahwa dirinya memiliki hak atas kekuasaan Jepang di berbagai wilayah yang pernah dikuasai oleh Jepang. Khususnya wilayah yang sebelumnya adalah jajahan negara-negara yang masuk kelompok Sekutu, termasuk Belanda yang pernah berkuasa atas Indonesia.
Belanda melakukan agresi militer sebanyak dua kali, yakni Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947-5 Agustus 1947) dan Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948). Tujuan Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I adalah untuk memulihkan perekonomian Belanda pasca-Perang Dunia II dengan menguasai kekayaan alam di Indonesia. Sementara tujuan Agresi Militer Belanda II adalah menghancurkan RI, menguasai ibu kota sementara Yogyakarta, dan menangkap para pemerintahan Indonesia.
Namun, setelah empat tahun perjuangan, pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Berikut beberapa peristiwa bersejarah setelah 17 Agustus
10 November 1945
Peristiwa 10 November 1945, yang juga dikenal sebagai Pertempuran Surabaya, adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Pertempuran ini terjadi antara pasukan tentara Indonesia dan tentara Inggris.
Latar belakang pertempuran ini adalah pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato pada tanggal 18 September 1945. Ini adalah perang pertama bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pada tanggal 10 November 1945, rakyat Kota Surabaya melawan tentara Inggris yang ingin menghukum dan menundukkan penduduk Kota Surabaya. Dalam pertempuran ini, rakyat Surabaya telah mengorbankan sekitar 20.000 jiwa penduduknya dan Inggris juga kehilangan serdadunya.
Peristiwa heroik ini kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap tanggal 10 November. Tokoh penting dalam Pertempuran Surabaya adalah Bung Tomo, yang terkenal dengan pidatonya yang disiarkan melalui Radio Pemberontakan.
Peristiwa Bandung Lautan Api
Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 23 Maret 1946. Sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar kediaman mereka sendiri dalam peristiwa tersebut, kemudian meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu yang dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia².
Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh kondisi keamanan dan pertahanan Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia yang masih belum benar-benar stabil. Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang digunakan dalam perang di tangan penduduk, kecuali TKR (Tentara Keamanan Rakyat), diserahkan kepada mereka.
Pada malam tanggal 21 November 1945, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas Inggris. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946.
Geriliya Panglima Besar Jendral Sudirman
Panglima Besar Jenderal Sudirman terkenal dengan taktik perang gerilanya, khususnya pada saat revolusi fisik yakni antara tahun 1945 – 1949. Taktik ini digunakan pada saat rakyat Indonesia melawan Belanda pada agresi militer Belanda II pada 14 Desember 1945 di Pulau Jawa.
Jenderal Sudirman dan pasukannya harus berpindah-pindah tempat, menghilang, lalu menyerang dengan tiba-tibatiba-tiba. Salah satu lokasi yang dijadikan rute gerilya adalah di daerah Gunungkidul. Tindakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap Belanda dan telah menunjukkan sikap nasionalisme dan patriotisme dalam membela dan memperjuangkan bangsa dan negara.
Pada tanggal 19 Desember 1948, meski kondisi kesehatannya tidak baik, Sudirman memutuskan untuk melawan Belanda. Ia memimpin perang kemerdekaan jilid II meski kesehatannya tidak baik. Perang ini dikenal sebagai Perang Gerilya.
Perang Gerilya adalah momen penting dalam sejarah Indonesia dan merupakan bukti dari semangat juang dan keberanian rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Perang Puputan di Bali
Perang Puputan di Bali adalah serangkaian peristiwa bersejarah yang melibatkan perlawanan habis-habisan rakyat Bali melawan penjajah Belanda. Istilah “Puputan” berasal dari kata “puput” yang berarti “tanggal”, “putus”, “habis”, atau “mati”. Perang puputan pertama di Bali terjadi pada tahun 1846 dan yang terakhir pada tahun 1946.
Salah satu perang puputan yang paling terkenal adalah Puputan Margarana yang terjadi pada tanggal 20 November 1946. Perang ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Inf. I Gusti Ngurah Rai. Tujuan dari perang ini adalah untuk mengusir Belanda dari Pulau Dewata meskipun harus mengorbankan nyawa dan materi.
Perang Puputan Margarana dipicu oleh lahirnya perjanjian Linggarjati antara pemerintah Indonesia dengan Belanda pada 10 November 1946. Dalam negosiasi tersebut, territorial de Facto Indonesia yang diakui hanya Belanda, Madura dan Jawa saja, tidak termasuk Pulau Bali. Belanda diharuskan meninggalkan wilayah de facto pada 1 Januari 1949.
Belanda mendaratkan lebih dari 2000 tentara di Bali untuk mendukung Belanda. Namun ketika itu, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai sebagai komandan Resiman Nusa Tenggara tidak mengetahui pendaratan Belanda karena sedang melakukan perjalanan dinas ke Yogyakarta. Belanda punya maksud untuk menjadikan Pulau Dewata sebagai negara bagian timur Indonesia sehingga mereka meningkatkan kekuatan militernya di Bali.
Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai secara tegas menolak negosiasi dari Belanda yang menginginkan pendirian Negara Indonesia Timur. Bahkan I Gusti Ngurah Rai melakukan perlawanan bersenjata pada 18 November 1946. Belanda merasa tidak terima dan mengerahkan pasukan tentara militer mereka untuk menghadapi perlawanan orang-orang Bali dan I Gusti Ngurah Rai.
Perjanjian Renville
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang berlangsung dari tanggal 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948. Perjanjian ini dilakukan di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, yang berlabuh di Jakarta. Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya memperjuangkan kedaulatan bangsa Indonesia. Perundingan ini dilatarbelakangi oleh Agresi Militer Belanda Pertama yang berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 hingga 4 Agustus 1947.
Pertempuran Bojong Kokosan
Pertempuran Bojong Kokosan: Ini adalah salah satu pertempuran yang terjadi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Bojong Kokosan adalah pertempuran yang terjadi ketika konvoi tentara Inggris (Sekutu) yang hendak memperkuat pasukannya di Bandung disergap para pejuang Indonesia di Bojong Kokosan, Sukabumi.
Peristiwa ini terjadi setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan masih terus berlanjut dan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat itu terus berlangsung.
Setelah Jepang kalah di Perang Dunia II, agresi tentara Sekutu yang diboncengi pasukan Belanda (NICA) segera mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Salah satu peristiwa heroik yang menandai perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan itu adalah pertempuran Bojong Kokosan yang terjadi di wilayah Sukabumi pada 9 Desember 1945.
Kedatangan tentara Sekutu di Indonesia pada akhir Oktober 1945 semula didasari tujuan melucuti senjata tentara Jepang. Mereka juga bermaksud untuk membebaskan tawanan Jepang di sejumlah daerah, seperti Surabaya, Bandung, dan lain sebagainya.
Namun, Sekutu melanggar kesepakatan yang sudah diteken kedua belah pihak. Pengiriman perbekalan untuk tawanan APWI ke Bandung dilakukan dengan konvoi besar, tanpa melibatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Mengetahui adanya pelanggaran perjanjian itu, Perdana Menteri Indonesia Sutan Syahrir kemudian membahas masalah ini dengan Komandemen Jawa Barat dan Walikota Sukabumi, Syamsudin.
Koordinasi itu menyepakati bahwa konvoi pasukan Sekutu yang melewati rute Bogor-Sukabumi-Cianjur akan diadang. Pengadangan konvoi Sekutu yang diboncengi oleh NICA itu terjadi pada 9 Desember 1945, dan berlokasi di Bojong Kokosan, Sukabumi. Bentrok senjata yang terjadi pada saat pengadangan itu kemudian dikenal dengan sebutan pertempuran Bojong Kokosan.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa, juga dikenal sebagai Palagan Ambarawa, adalah pertempuran yang terjadi antara Tentara Indonesia dengan Tentara Inggris. Peristiwa ini berlangsung antara 20 Oktober sampai 15 Desember 1945 di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Pertempuran ini dimulai saat pasukan Sekutu dan NICA atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda mulai mempersenjatai tawanan perang Belanda di Ambarawa dan Magelang. Hal ini kemudian memicu kemarahan pada penduduk setempat. Hubungan pun semakin runyam saat Sekutu mulai melucuti senjata anggota Angkatan Darat Indonesia.
Pada tanggal 11 Desember 1945, Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR serta Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 tepatnya pada pukul 04.30 pagi, serangan mulai digencarkan. Pembukaan serangan ini dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, yang disusul juga oleh penembak-penembak senapan karabin.