Petani Kita Hidup Segan Mati Pun tak Hendak

Herry Santoso By Herry Santoso
5 Min Read
- Advertisement -

jfID – TERUNGKAP, rata-rata buruh tani kita hanya mengelola ‘seperdelapan hektar’ / KK. Akibatnya kaum petani kita sejak zaman kolonial dulu tetap terbelit kemiskinan struktural sebuah kehidupan yang “miris” lantaran nasib mereka tidak pernah diberuntungkan sejarah. Bahkan dalam kepemilikan rumah pun patut mengurut dada karena rata-rata mereka hanya menempati rumah “tipe RS-6” ( Rumah Sangat Sederhana Sekali Sampai-sampai Selonjor pun sulit). Sebaliknya kaum penguasa tidak sedikit yang justru menjadi “tuan tanah” terselubung dengan kepemilikan lahan hingga ribuan hektar dengan strategi sebagai Hak Guna Usaha (HGU).

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat ketimpangan ekonomi antara pemilik lahan dan penggarap hingga saat ini tergolong tinggi yaitu mencapai angka 0,397.

Tingginya tingkat ketimpangan ekonomi ini juga diiringi kemiskinan struktural lain laiknya rendahnya daya beli, rendahnya daya saing (dalam produktivitas), serta ketimpangan sosial dalam menyerap dan mengaplikasikan sebuah kebijakan. Artinya, para petani miskin tersebut tidak punya hak untuk menentukan mengangkat nasibnya sendiri untuk menjadi sejahtera. Ia terus menggantungkan harapannya pada “sang bendara” (baca : majikan), sementara si juragan justru ingin mengeruk keuntungan setinggi-tingginya serta mengeksploitasi kemiskinan petani tersebut. Kemiskinan terus menjadi komoditi lantaran para petani justru jadi buruh murah di perusahaan-perusahaan berbasis agro, misalnya perkebunan sawit. Sungguhpun mereka menjadi petani plasma, akan tetapi yang mereka nikmati hanya keuntungan yang menetes dari bisnis sawit internasional.

Peneliti Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) Imaduddin Abdullah mengatakan, hal ini terlihat dari semakin besarnya petani dengan kepemilikan lahan yang semakin sempit. “Jumlah persentase petani dengan luas lahan di bawah setengah hektare meningkat sejak 2003 hingga 2013, seharusnya jumlah lahan yang dimiliki tinggi,” ujarnya di Kantor Indef, Jakarta Selatan (4/5/2019).

Ad image

Dirinya melanjutkan, rata-rata kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia hanya mencapai 0,8 hektare. Angka ini masih kalah jauh dibandingkan dengan Jepang 1,57 hektare, Korea Selatan 1,46 hektare, Filipina 2 hektare, dan Thailand 3,2 hektare. “Indonesia masih kalah dari Thailand,” ungkapnya. Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara dengan level mekanisasi pertanian terendah dibandingkan negara lainnya. Hal ini pun berdampak pada penurunan produktivitas petani.
“Misalnya, produktivitas padi Indonesia rata-rata saat ini baru tercatat 5,1 juta ton per hektare. Cukup jauh dari produktivitas ideal di tingkat percobaan yang dapat mencapai 8,3 juta ton hektare,” ungkapnya.

Untuk itu, diharapkan jumlah lahan yang dimiliki oleh petani semakin meningkat. Hal ini pun harus menjadi salah satu perhatian utama bagi pemerintah dalam program reforma agraria.

“Petani yang miliki lahan sendiri lebih produktif dibandingkan petani tanpa lahan. Semakin orang produktif maka akan semakin sejahtera masyarakat,” pungkasnya.

Penghisapan dan Penindasan terhadap Sesama

Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi menulis, “Saya tidak akan pernah takut pada penjajahan asing, tetapi saya takut pada penjajahan oleh bangsa sendiri. Penghisapan dan penindasan pada bangsa sendiri atau exploitation d l’homme par ‘l’homme “.

Menurut BK penjajahan tersebut biasanya dilakukan secara klasik dan mendompleng pada ‘badan usaha-badan usaha” baik yang mengelola lahan maupun lembaga kooperatif keuangan.

Penderitaan bangsa itu akan semakin parah jika “wong cilik” hanya dijadikan objek penderita. Mereka tidak bisa berkuasa, tetapi hanya dijadikan alat kekuasaan oleh politisi. Wong cilik hanya menjadi jargon kampanye kekuasaan, dan pada mereka diberikan pabrik impian (dreams factory). Wong cilik yang teridentivikasi sebagai petani gurem, abang becak, abang sayur, mbok jamu, asongan, serta pedagang K-5 umumnya hanya terbuai oleh kalungan puisi indah tanpa kenyataan. Alhasil mereka pun terjerembab di kubangan zaman. Duh… ***

Herry Santoso, penulis aktif di berbagai media sosial dan media massa cetak, tinggal di Blitar – Jawa Timur.

- Advertisement -
Share This Article