jfid – Konflik Hamas-Israel yang memanas di Jalur Gaza tidak hanya berdampak pada korban jiwa dan kerusakan fisik, tetapi juga menimbulkan perang siber antara kelompok hacker yang pro-Israel dan pro-Palestina. Dari Rusia hingga India, para hacker berlomba-lomba menunjukkan dukungan mereka dengan menyerang situs-situs pemerintah, media, dan organisasi lawan.
Salah satu kelompok hacker yang paling aktif adalah Killnet, yang terdiri dari hacker relawan asal Rusia. Mereka mengumumkan akan menyerang semua sistem milik pemerintah Israel dengan serangan distributed denial-of-service (DDoS), yang bertujuan untuk membanjiri website dengan lalu lintas sampai tidak bisa diakses.
Killnet mengatakan mereka menyalahkan Israel atas konflik di Jalur Gaza dan menuduh pemerintah Israel mendukung Ukraina dan NATO. Mereka juga mengklaim telah menyerang website pemerintah Israel dan website badan keamanan Israel Shin Bet hingga tumbang pada Minggu kemarin.
Tidak hanya itu, Killnet juga mengirim pesan ancaman kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melalui email, yang berisi kata-kata seperti “kami akan menghancurkan Anda” dan “Anda akan mati dalam 72 jam”.
Namun, serangan siber Killnet tidak berjalan mulus. Menurut laporan media Israel, sebagian besar serangan DDoS mereka berhasil dipatahkan oleh sistem keamanan siber Israel. Bahkan, beberapa website yang diklaim tumbang oleh Killnet ternyata masih bisa diakses dengan normal.
Di sisi lain, kelompok hacker yang pro-Israel juga meluncurkan serangan siber balasan ke organisasi Palestina. Seperti kelompok hacker Indian Cyber Force yang mengatakan telah meretas website Bank Nasional Palestina dan website Hamas hingga tumbang pada Minggu lalu.
Indian Cyber Force adalah salah satu kelompok hacker terbesar di India, yang memiliki lebih dari 10 ribu anggota. Mereka mengaku mendukung Israel karena menganggap Hamas sebagai organisasi teroris. Mereka juga mengancam akan membocorkan data rahasia Palestina ke publik.
Selain Indian Cyber Force, ada juga kelompok hacker lain yang pro-Israel, seperti Israeli Elite Force dan Israeli Cyber Army. Mereka juga melakukan serangan siber ke situs-situs Palestina dengan menyisipkan pesan seperti “Israel akan menang” dan “Hamas adalah pembunuh”.
Perang siber antara hacker pro-Israel dan pro-Palestina ini bukanlah hal baru. Sejak tahun 2000, ketika konflik Intifada meletus, para hacker sudah saling beradu kekuatan di dunia maya. Namun, intensitas dan skala serangan siber semakin meningkat seiring dengan eskalasi konflik Hamas-Israel di lapangan.
Menurut Rob Joyce, direktur keamanan siber di Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA), sejauh ini belum ada serangan siber berskala besar yang ditemukan. Sebagian besar serangan siber hanya berupa DDoS dan perusakan website dalam skala kecil.
“Mungkin akan ada peristiwa penting, lebih banyak hacktivist, lebih banyak orang yang menggunakan senjata siber untuk membela tujuan mereka,” kata Joyce saat berbicara di konferensi keamanan siber pada Senin kemarin. “Serangan itu tidak akan canggih di awal. Terkadang Anda tidak perlu menjadi canggih untuk menimbulkan dampak,” sambungnya.
Perang siber antara hacker pro-Israel dan pro-Palestina ini menunjukkan betapa pentingnya keamanan siber di era digital saat ini. Tidak hanya negara-negara besar, tetapi juga negara-negara kecil dan organisasi non-pemerintah harus waspada terhadap ancaman siber yang bisa merugikan mereka.