Pancasila dan Paradigma Autochthony NU

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jfID – Beberapa waktu lalu publik disentakkan oleh perdebatan dan polemik soal RUU HIP. Sebagaimana yang pernah saya catat, ada pembelahan massa terkait tafsir Pancasila (Yang Berubah, Yang Pecah-Belah: Menyimak Klaim dan Kontestasi Tafsir Atas Pancasila, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Saya tak akan membahas kembali pihak dan gagasan yang pernah akan mereduksi Pancasila menjadi Ekasila, sebab jelas, mereka tertolak dengan sendirinya.

Dalam esai ini saya hanya akan menyajikan sikap dan pandangan NU yang notabene adalah sebuah ormas keagamaan. Tak sebagaimana aspirasi keislaman lainnya terkait dengan Pancasila, NU justru menerima Pancasila dengan lapang-dada, tanpa sedikit pun menginginkan perubahan di dalamnya—bahkan konon justru Soekarno dan beberapa tokoh lainnya sempat hendak mencatumkan penyebutan “syariat Islam” dalam sila I Pancasila, sementara KH. Wahid Hasyim, yang merupakan tokoh Islam, bersikukuh pada versi yang lama, “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Dalam sejarahnya, Soekarno pernah menyerahkan sengkarut sila I Pancasila pada pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, terkait dengan kesesuaiannya dengan prinsip dan nilai-nilai agama Islam. Setelah melakukan kontemplasi dan tirakat KH. Hasyim Asy’ari memutuskan bahwa Pancasila sama sekali tak menyalahi syari’at Islam dan karena itu Pancasila versi piagam Jakarta, yang dirumuskan oleh tim 9, perlu dihapuskan. Sebab sila I, “Ketuhanan yang Maha Esa,” adalah prinsip ketauhidan dalam Islam (Tirakat KH Hasyim Asy’ari saat Mentashih Rumusan Pancasila, https://www.nu.or.id).

Dalam sejarahnya NU, lewat KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim, memang tak sebagaimana umat Islam lainnya yang dahulu, pada 22 Juni 1945, menginginkan penerapan syari’at agama Islam bagi para pemeluknya, yang kini tampak dalam aspirasi tegaknya khilafah Islamiyah di Indonesia. Di sinilah tampak bahwa NU, dengan berkaca pada KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim, sungguh peduli dan mengakomodasi apa yang saya sebut sebagai prinsip autochthony (Semar dan Paradigma Autochthony, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev) dan kemudian menggunakannya sebagai sebuah paradigma.

Ad image

Sebagai seorang kyai sekaliber Hadratussyaikh dan sekaligus juga tokoh nasional tentu KH. Hasyim Asy’ari tak sekedar menerima tanpa reserve Pancasila dengan sila I “Ketuhanan yang Maha Esa” yang secara sekilas berbau lokal dan sama sekali tak berbau Arab. Untuk tak mengatakan bahwa KH. Hasyim Asy’ari adalah juga seorang sufi sangatlah sulit ketika ia bisa menyambung dengan apa yang notabene dikenal sebagai tradisi kapitayan yang sejak belum Islam hadir di nusantara sudah menjadi cara berada orang-orang nusantara atau bersifat autochthonous (Menelusur Kapitayan, Agama Purba Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Sama halnya ketika menarik paradigma autochthony NU yang sudah dimulai sejak zaman walisongo di mana sama sekali tak menampik dan bahkan mengakomodasi kearifan lokal yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Ketika memandang Pancasila, dan hal-hal lainnya, dengan prinsip autochthony ini maka sebuah paham akan terasa akrab dan karena itu akan memiliki daya tahan yang kuat.

Dengan demikian, dengan melihat prinsip dan paradigma autochthony yang sudah dipakai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim ketika menyikapi polemik sila I Pancasila pada 1945, beranikah sebagian umat Islam yang tampak getol membela Pancasila benar-benar membela dan mempertahankan Pancasila dengan bentuk sila I, “Ketuhanan yang Maha Esa,” tanpa menginginkan sedikit pun perubahan di dalamnya ala Piagam Jakarta? Setidaknya, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim beserta sementara kalangan kapitayan (Yang Berubah, Yang Pecah-Belah: Menyimak Klaim dan Kontestasi Tafsir Atas Pancasila, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org) tak ragu lagi akan kebenaran sila I tanpa sedikit pun berniat mengubah apalagi menafikannya.

- Advertisement -
Share This Article