jfid – Suasana di Atlas Beach Club, salah satu tempat hiburan di Bali, terlihat sepi.
Padahal, tempat ini biasanya ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing yang ingin bersantai sambil menikmati pemandangan pantai.
Namun, sejak pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan tertentu menjadi 40-75%, omzet usaha ini anjlok drastis.
“Sebelumnya, kami bisa meraup pendapatan sekitar Rp 500 juta per bulan. Tapi sekarang, hanya Rp 100 juta saja. Itu pun sudah termasuk diskon dan promo yang kami berikan kepada pelanggan,” kata Rizky, manajer Atlas Beach Club, kepada detikFinance, Selasa (23/1/2024).
Rizky mengatakan, kenaikan pajak hiburan ini sangat memberatkan bagi pengusaha seperti dirinya.
Pasalnya, selain harus membayar pajak hiburan, ia juga harus membayar pajak lainnya, seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain.
Belum lagi biaya operasional, seperti sewa lahan, listrik, air, gaji karyawan, dan royalti musik.
“Kalau dihitung-hitung, pajak yang kami bayar bisa mencapai 100% lebih dari pendapatan kami. Ini kan tidak masuk akal. Kami merasa tidak adil. Kami sudah berusaha menghidupkan pariwisata Bali, tapi malah dikenakan pajak yang tinggi,” ujar Rizky.
Rizky bukan satu-satunya pengusaha yang mengeluhkan kenaikan pajak hiburan.
Pengusaha sekaligus pengacara kondang Hotman Paris Hutapea juga mengkritik kebijakan ini.
Menurutnya, kenaikan pajak hiburan ini bertujuan untuk membinasakan industri hiburan.
“Kalau memang tujuannya untuk membinasakan industri hiburan, lebih baik jangan melalui konstitusi. Jangan mengizinkan tempat hiburan didirikan. Tapi kalau sudah mengizinkan, jangan memberatkan dengan pajak yang tidak masuk akal,” kata Hotman.
Hotman menambahkan, kenaikan pajak hiburan ini juga berdampak negatif bagi perekonomian daerah, khususnya Bali.
Ia mengatakan, sektor pariwisata merupakan tulang punggung perekonomian Bali. Jika sektor ini terganggu, maka akan berpengaruh pada pendapatan daerah, lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.
“Kami khawatir kalau wisatawan berkurang, perekonomian Bali akan kolaps lagi seperti saat pandemi covid-19. Padahal, sektor pariwisata baru saja pulih setelah diterpa badai pandemi. Makanya, kami minta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan ini,” ucap Hotman.
Kenaikan pajak hiburan ini merupakan dampak dari revisi Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang terbit pada 2022.
Aturan ini menyebabkan pajak hiburan jenis diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa terkena tarif pajak 40-75 persen, tergantung kebijakan pemerintah daerah setempat.
Pemerintah pusat berdalih, kenaikan pajak hiburan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan daerah dan mengurangi kesenjangan antardaerah.
Namun, pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk memberikan insentif fiskal bagi pelaku usaha yang terkena pajak hiburan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah pusat akan memberikan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dalam menetapkan insentif fiskal.
Ia juga mengimbau agar pemerintah daerah tidak memberlakukan tarif pajak hiburan yang terlalu tinggi.
“Kami harapkan pemerintah daerah bisa memberikan insentif fiskal yang sesuai dengan kondisi usaha di daerahnya. Jangan sampai tarif pajak hiburan yang terlalu tinggi malah menghambat pertumbuhan ekonomi daerah,” kata Airlangga.
Salah satu pemerintah daerah yang berencana memberikan insentif fiskal adalah Bali.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun mengatakan, pihaknya akan memberikan keringanan pajak bagi usaha spa, yang merupakan salah satu industri yang mendukung pariwisata Bali.
“Kami akan memberikan insentif fiskal berupa penurunan tarif pajak hiburan untuk spa dari 40 persen menjadi 15 persen. Kami berharap ini bisa membantu usaha spa tetap bertahan dan menarik wisatawan ke Bali,” ujar Tjok.
Tjok mengatakan, jika tarif batas minimal pajak 40 persen sesuai UU HKPD diterapkan, maka akan berdampak pada 963 usaha spa yang terdaftar di Provinsi Bali.
Padahal, spa merupakan salah satu industri yang mendukung pariwisata Bali.
“Spa adalah salah satu daya tarik wisatawan ke Bali. Jika usaha spa terancam gulung tikar karena pajak yang tinggi, maka akan berpengaruh pada kunjungan wisatawan, pendapatan daerah, dan kesejahteraan masyarakat,” kata Tjok.
Tjok berharap, pemerintah pusat dapat memahami kondisi perekonomian Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata.
Ia juga meminta agar pemerintah pusat dapat meninjau ulang UU HKPD yang dinilai tidak sesuai dengan karakteristik daerah.
“Kami berharap pemerintah pusat bisa memberikan kelonggaran kepada pemerintah daerah dalam menetapkan tarif pajak hiburan. Jangan sampai aturan yang dibuat di pusat malah menyulitkan daerah,” pungkas Tjok.