jfID – Begining Theory, Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya karya Peter Barry dikenalkan New Historycism yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan sebagai ‘sejarah baru’ dan ‘historis baru’. Istilah ‘historisme baru’ diterjemahkan oleh Ismayasari yang mengambil dari pengalihbahasaan Michael Ryan. Junus (1996) menggunakan istilah ‘pensejarahan baru’yang mengandung dua hal yaitu mengerti sastra melalui sejarah dan mengetahui budaya, sejarah, dan pemikiran melalui teks sastra. Karena itu New Historicism tidak membedakan teks sastra dengan nonsastra, seperti pandangan Old history (sejarah sebagai latar belakang karya sastra) atau new Criticism (sastra otonom atau ahistory).
New Historicism menerapkan metode kerja interteks dengan membaca beberapa teks secara paralel (pararel reading) karena semua teks yang merupakan produk zaman dan saling berkaitan. Penerapan metode New Historicism adalah membaca sastra ‘dalam rangkaian arsip (Barry, 2011). New Historicism memaknai sastra dalam kerangka hubungan-hubungan dengan teks nonsastra, karena argumen tentang makna teks sastra sering sekali mudah diuraikan dengan melihat sejarah. Sejarah adalah pisau analisis yang kuat karena acap kali memberikan dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna (Ryan:2011).
New Historicism menempatkan teks sastra dalam kerangka teks nonsastra. Hal ini selaras dengan pendapat Greenblatt dalam rumusan “nothing comes of nothing”. New Historicism tidak menilai produk-produk budaya (tinggi rendah, adiluhung-pinggiran, serius-populer) melainkan untuk menunjukkan bagaimana berbagai ragam teks saling berkelindan dengan persoalan-persoalan zamannya karena sastra dan sejarah adalah jejaring teks dan bukan pendulum. New Historicism memandang bahwa bukan sebagai cerminan yang transparan dan pasif sejarah melainkan ikut membangun, mengartikulasikan dan memproduksi konvensi, norma, nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinatif kreatif.
Secara spesifik kajian new historicism mencoba menafsir dan menelaah kembali konstruksi kekuasaan berikut jejaring yang dibentuknya melalui pembacaan secara memadai atas teks sastra yang ada. Teks sastra itu diurai sedemikian rupa dalam rangka mengungkapkan praktif diskurtif yang berkembang dan beroperasi di dalamnya. Oleh karena itu dalam konteks kajian new historicism, sama halnya mencoba membuka selubung praksis kekuasaan yang berjalan melalui teks sastra.
Dengan demikian teks sastra menduduki posisi penting untuk mendedah basis kekuasaan yang ada. Hal ini sangat beralasan dan logis karena tidak satu pun yang dapat menghubungkan secara langsung dalam konteks kekinian, kecuali basis kekuasaan yang dikonstruksi oleh sejarah itu sendiri, yakni dimensi politik, dimensi ideologi, dan sosio kultural.
Asumsi dasar new historicism, seperti` diketengahkan Greenblatt (2005), yaitu adalah adanya sebuah hubungan timbal balik antara manusia dan peradabannya. Teks dalam konteks tersebut merefleksikan pola hubungan timbal balik antara manusia dan peradaban yang membentuknya. Teks sastra dalam perspektif new historicism selalu dilihat dalam satu sisi sebagai teks sastra di sisi lain dilihat sebagai teks sejarah.
Dilihat sebagai teks sejarah, maka sastra dipandang sebagai catatan jejak rekam perjalanan peradaban manusia. Sebagai teks sastra sekaligus teks sastra, kedua-duanya tidak berlaku proses dikriminasi melainkan sejajar. Di pandang sejajar karena di dalam teks tersebut baik sebagai teks sastra maupun teks sejarah terkandung hal-hal yang esensial yaitu konstruksi ideologi, politik, dan latar belakang sosial budaya. Harus dibedakan antara teks dan konteks (Darma, 2004), keduanya fenomena berbeda.
Teks merupakan fenomena dalam sastra, sedangkan konteks merupakan fenomena di luar karya sastra yang memiliki relasi dengan teks sastra. Brannigan (1999) menegaskan bahwa teori new historicism merupakan pendekatan yang menghubungkan antara teks dan konteks pada muatan penting atas dimensi politik yang lebih luas yang berkaitan dengan interpretasi sastra. Dalam pandangan new historicism, semua jenis teks merupakan ‘bahasa pengantar’ politik; oleh karena itu teks memediasi formasi sosial, politik dan budaya.
Ada perbedaan yang mendasar antara tradisional historicism(sejarah tradisonal) dan new historicism (sejarah baru). Yang pertama memahami dan memosisikan teks sebagai sebuah konstruksi yang merekam terhadap urutan peristiwa berdasarkan ruang dan waktu. Peristiwa dalam konteks dipandang sebagai sebuah peristiwa yang linear. Beberapa penanda dari peristiwa dibaca sebagai jejak-jejak historis yang dibaca dan dipahami secara linear. Oleh karenanya pemahaman terhadap realitas teks sejarah juga bersifat linear. Peristiwa merupakan narasi historis yang berjalan secara progresif sebagai catatan atas fase-fase dalam hubungannya dengan ruang dan waktu tadi.
New historicism tidak semata-mata membaca peristiwa sejarah sebagai urutan ruang dan waktu secara linear. Peristiwa dibaca dan dipahami sebagai kejadian yang kompleks, sebagai peristiwa yang tidak terjadi begitu saja. Di balik peristiwa historis itu harus dicurigai banyak hal yang melatarbelakanginya. Peristiwa atau kejadian historis itu tidak cukup logis kalau dikemukakan sebagai sesuatu peristiwa yang kebetulan. Logika kebetulan tidak dapat diterima atas kejadian historis.
Peristiwa historis dicurigai memiliki muatan-muatan mendasar yang melatarinya seperti ideologi, politik, dan sosio kultural. Oleh karenanya menurut new historicism yang terpenting adalah melihat fenomena di balik peristiwa historis tersebut untuk membongkar dimensi ideologi, politik dan sosio kultural tadi. Kerja utama new historicism adalah membaca, membongkar, dan menelaah kembali berbagai peristiwa historis tadi dalam konteks ideologi, politik dan sosio kultural.
Bertolak dari paparan di atas, maka new historicism lebih bersifat sebagai gerakan yang menyejarah (historicist movement) daripada gerakan sejarah (historical movement). Dalam kaitannya dengan gerakan yang menyejarah tadi, new historicism memandang tidak ada yang di luar teks, semua ada dalam teks yang perlu dianalisis. Oleh karena itu, membuka jaringan kebahasaan yang ada dalam teks merupakan sesuatu yang penting dilakukan. Tanpa membuka jaringan kebahasaan yang ada dalam teks maka peristiwa sejarah dalam konteks ideologi, politik dan sosio kultural akan tidak tersikap.
Greenblatt dan Gallagher (2000) mengetengahkan berberapa problematika yang muncul dalam konteks kajian new historicism dan kajian budaya yang lebih luas. Pertama, perilaku atau budaya yang dikukuhkan dalam teks. Kedua, anggapan pembaca tertentu bahwa karya sastra atau teks sastra itu bermakna. Ketiga, perbedaan nilai kritikus dan nilai dalam teks. Kelima, kebebasan berpikir yang digambarkan dalam teks secara eksplisit dan implisit. Dan yang keenam, pandangan atau ideologi yang didukung atau ditentang dalam teks sastra.
Ada tiga lapis yang dapat dilakukan dalam upaya menjelaskan fenomena sejarah melalui teks. Pertama, melalui ideologi, yakni satu fase akademis untuk membuka selubung ideologi yang ada di balik teks. Teks diyakini tidaklah hadir begitu saja, melainkan sebagai sebuah konstruksi yang merekam peristiwa sejarah melalui jaringan bahasa yang dimilikinya ia menampung dan merefleksikan ideologi yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain dimensi ideologi adalah hal yang paling dominan dalam kajian new historicism.
Kedua, melalui praktik diskursif yang terjadi pada masanya sendiri, yakni sebuah upaya untuk menjelaskan praktik-praktik diskursivitas yang pernah terjadi. Melalaui sebuah teks, praktik diskursif itu dapat dibaca, dibongkar dan dijelaskan. Ketiga, melalui praktik diskursif yang terjadi saat ini, yaitu ketika teks itu sudah dalam pergulatan dan petarungan wacana dalam konteks kekinian, karena hanya melalui praktek diskursif saat ini, hal-hal subtasial dan fundamental dalam dimensi kehidupan manusia itu baru dapat dinyatakan berhubungan dengan peristiwa historis masa lalu.
Hal-hal yang subtansial dan fundamental ini juga menyangkut fenomena kehidupan yang selama ini dipinggirkan oleh struktur kekuasaan menjadi titik perhatian new historicism. Oleh karena itu new historicism perhatian utamanya terfokus pada membongkar motif kekuasaan dan kekerasan yang terjadi atas kelompok atau orang yang dipinggirkan. Dalam konteks ini Barry menyebut new historicism sebagai anti kemapanan. Studi new historicism selalu menggelisahkan tindakan represif dan ketidakadilan dalam berbagai bentuknya terhadap orang atau kelompok yang marginal.***
Tentang Penulis: Tjahjono Widarmanto. Tinggal di Ngawi. Menulis dalam genre puisi, esai, artikel, kolom dan cerpen. Tulisan-tulisannya pernah di publikasikan di Jawa Pos, Solo Pos, Basis, Horison, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Duta, Surabaya Post, Pikiran Rakyat.