Hegemoni AS dan China: Antara Kebebasan Demokrasi dan Penguasaan Sumber Daya Alam

Herry Santoso By Herry Santoso
9 Min Read
- Advertisement -

jfID – BANYAK negara di dunia yang menjadi korban kebebasan demokrasi sehingga kerap melibas multikultur yang ada dalam tatanan kemasyarakatan serta norma-norna kebangsaan. Hal itu sangatlah wajar, karena dunia kita saat ini dihadapkan pada kontestasi dan konstelasi global yang bernuansa orientasi pertumbuhan ekonomi (growth economy oriented). Inilah yang oleh para konservatifisme acap disebut revolusi budaya radikal. Sebagai dampak latens (sebut saja : Indonesia) tergerusnya nilai-nilai nation and character buillding yang parah dan, atau terkikisnya nilai-nilai theologis oleh kultur utilitas pengagungan kebendaan. Segala derajad kemanusiaan (strata sosial) “hanya” terukur oleh : kaya miskin, sukses-stagnan, modern-kuno, dan angka-angka target pertumbuhan,  bahkan dalam urusan politik pun ditandai adanya amandemen-amandenen, perubahan konstitusi yang progresif revolusioner namun miskin peradaban dan keadilan sosial. 

Fenomena tersebut  terjadi di negara-negara berkembang (laiknya Indonesia) yang berkiblat pada terapan demokrasi barat yang pada gilirannya negara maju mengeksploitasi sumber daya alam dan menumpuk  produk-produk industrinya di negeri ini. Sayangnya, itupun tidak mampu menyejahterakan rakyat. Ketimpangan-ketimpangan ekonomi semakin merebak lantaran materi dan kekuasaan hanya mengakumulasi pada kaum menengah ke atas (middle – upper class), sementara kaum bawah (the lower class) hanya kebagian remah-remah keserakahan yang dibarengi dengan merosotnya nilai moral dan ideologi bangsa.

Demokrasi Amburadul

Setelah lepas dari otoritarian rezim Orde Baru, Indonesia serta-merta menerapkan praktik demokratisasi Barat, yang dianggap demokrasi paling sakti yaitu “bebas tak berbatas” dan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, semua kebijakan dan regulasi bisa terwujud. Model pemerintahan yang borcorak bottom up inilah yang acapkali melahirkan tragika baru : hilangnya nilai etik, estetik, dan panduan moralitas. Rakyat, baik secara individu maupun kelompok berani menumpahkan ekspresi demokrasi di depan publik : foto presiden ditempelkan di bokong kerbau, ibu-ibu demonstrasi dengan (maaf) telanjang dada, melempar telur busuk di gedung pemerintahan, atau membully pemimpin di ruang publik, dan ekspresi-ekspresi lain yang menyimpang dari adab ke-Indonesia-an dengan dalih sebuah demokrasi. Itulah ilustrasi nyata demokrasi ala “Indonesia Baru” yang saat ini dianut oleh mazab kebangsaan kita.

Ad image

Hegonomi AS dan China

Selama era reformasi, secara empiris banyak kebangkitan demokrasi ekonomi, dari restrukturisasi proyek-proyek besar eksploitasi SDA oleh investor asing. Pemerintah menata ulang regulasi yang berbelit, restrukturisasi MOu dengan onvestor dari perjanjian lama ke era baru. Puncak keberanian itu terjadi di era Jokowi, seperti restrukturisasi PT. Freeport Indonesia dari (yang dulu) pihak Indonesia “tidak bisa menjadi tuan di negeri sendiri” kini mulai menjadi pemegang saham terbesar di PT Freeport, setelah Indononesia lebih selama tiga dasawarsa cuma memperoleh 7 – 9% bagi hasil, kini menjadi 51%.  Blok Rokan, dan Blok Mahakam misalnya, sejak lebih tiga dasarwarsa pula Jakarta hanya bisa menikmati royalty kurang dari 15%. Celakanya, material dari ekploitasi tersebut langsung dibawa ke luar, dalam bentuk  bahan mentah bukan bahan jadi, atau setengah jadi. Semua itu lantaran ada “benang kusut” yang dimainkan oleh para “black syndicat” untuk mengeruk pundi-pundi dari hasil “kongkalikong”  dengan para investor. Impor migas misalnya memberikan kenikmatan pada segelintir orang, dan menjadi kocek tetap  para “triliuner hitam” untuk membiayai kepentingan politik mereka, tetapi  kesejahteraan bangsa tetap quo vadist. Dapat dibayangkan jika sejak merdeka kita hanya punya 1 buah kilang minyak yang beroperasi, tidak berhasil membangun kilang baru, itu karena juga ulah sindikasi hitam. Sebab jika membangun kilang baru para sindikat hitam tidak bisa menjadi importir BBM, dan patron-patron politik mereka akan kekeringan dana. Dalam kasus pembubaran konsorsium Petral misalnya, suatu bukti bahwa pemerintahan Jokowi berani “membredel” sarang penyamun yang punya kartu truf di kancah politik nasional.

Dari restrukturisasi beberapa MOu proyek asing tersebut (yang sebagian besar dikuasai Amerika Serikat) tentu saja  membuat pihak investor yang merasa rugi. Mereka serta-merta ikut memainkan bidak catur di papan perpolitikan Indonesia. AS misalnya, ingin mengulangi keberhasilannya di saat membantu junta militer dalam upaya merontokkan rezim Orde Lama lantaran Soekarno selalu nenutup pintu rapat-rapat terhadap kaum Nekolim (Neokolonialisme) yang dipimpin oleh AS. Waktu itu CIA mendanai berbagai kesatuan aksi sampai akhirnya rezim Soekarno runtuh dan  lahirlah rezim Orde Baru. 

Hegomoni Amerika Serikat tersebut kini terus berlanjut di dunia ketiga, baik di Timur Tengah, Amerika latin, maupun Asia. Dalam kasus ekonomi  misalnya, AS melakukan perang dagang dengan China di berbagai kawasan terutama di Asia Tenggara. Negara-negara besar dan kaya akan SDM laiknya Indonesia harus dikuasai dengan cara apapun, terutama dalam hal eksploitasi SDA. Istilah  All nothing is free (semua tidak ada yang gratis) adalah budaya kapitalisme yang ditetapkan investor asing (termasuk di Indonesia), yang dibarengi dengan doktrin make as much profit as pissible by spending a luttle dollar (mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dengan pengeluaran dolar sedikit). Inilah bukti keserakahan investor asing di negara-negara berkembang (termasuk di Indonesia). Para investor tersebut terus melibas musuh-musuhnya yang menghalangi  investasinya. Bukan hanya itu politik klasik “adu domba” pun dipakai, tidak ada lawan atau kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan negara-negara di Timur Tengah “diadu domba” satu sama lain dengan mengompori isu sensitif. Arab Saudi misalnya, bukan rahasia lagi menjadi “budak kapitalisme” Amerika sejak dulu. Isu anti-Syiah dihembuskan pada berbagai kelompok islam, hasilnya adalah perang terhadap sesama negara Islam laiknya Perang Yaman versus Persekutuan Arab Saudi, dan pertikaian-pertikaian di jazirah lainnya, yang ditengarai AS dan Rusia terlibat di dalamnya. Perang Suriah misalnya, secara terang-terangan Blok Barat versus Rusia turut meramaikan. Dengan demikian pemerintah Bassar Ashaad selalu mengakuisisi piranti perang ke Rusia, dan kaum oposisi dalam segala hal selalu disokong AS. Dengan demikian baik AS maupun Rusia tetap bisa mengeksploitasi ladang-ladang minyak di Timur Tengah. Untuk kasus Indonesia belakangan AS memprovokasi politisi kanan dengan isu PKI dan anti-China. AS juga ditengarai turut andil memperkuat aksi-aksi yang dilakukan oleh “politik kanan” (berhaluan Khilafah) sekaligus patner lamanya yakni sisa-sisa rezim Orde Baru. Yang disebut terakhir, dengan menggalang para jenderal purnawirawan, dan barisan polititisi “sakit hati”. Sungguhpun demikian AS juga berwajah ganda, satu sisi wellcome dengan Jokowi sekaligus menyokong para oposan kanan. 

Sementara China lebih gencar dengan melakukan dumping politic dalam berbisnis di Indonesia. Mereka membanjiri pasar dengan harga murah terhadap produk-produk manufaktur eks-Negeri Panda tersebut sekaligus mengucurkan daba keoada kaum intrepreneur taipan yaitu para pemain lama ekonomi di Indonesia. Di lain pihak China juga berusaha memasukkan tenaga kerja murah di negeri kita, sekaligus secara geepolitik tidak malu-maku menganeksasi batas-batas teritori kedaulatan, contoh kasus, mengekspansi ZEE di LCS (Laut China Selatan) meski melanggar hukum internasional batas kontinal kelautan. yang dimotori oleh etnik Arab dengan gerakan khilafah progresif. 

Sungguh celaka bangsa ini, dan semakin termangu-mangu di simpang jalan. Demokrasi kenyataannya hanya  membawa bangsa ini jadi prabrik impian (dreams factory), alhasil produk demokrasi liberal justru hanya  menghadirkan remah-remah permusuhan, memporakporandakan integritas bangsa. Untuk itu kita perlu membangun rasa persatuan dan persatuan agar nilai kebhinekaan yang plural ini tetap menjadi kekuatan  politik nasional sampai kapan pun. Apakah kita perlu bersumpah lagi hanya untuk bersatu ? Nah….***

- Advertisement -
Share This Article