jfid – Sumenep tidak lama lagi akan menghadapi kontestasi politik, pemilihan Bupati-Wakil bupati ke-16. Seperti biasa, menjelang pemilu konstalasi politik menjadi hangat. Hal-hal mengenai hilir mudiknya, mulai dirasakan sejak saat ini.
Namun ada yang lebih penting dari hanya sekedar politik dan ada yang lebih penting dari hanya sekedar siapa calonnya, berpasangan dengan siapa dan bertarung dengan siapa. Sejak tahun 1929 kursi Bupati diduduki oleh keluarga darah biru dan golongan kyai. Dan tidak penting dari golongan mana saja, yang jelas kursi jabatan bupati adalah milik dia yang punya gagasan kemajuan.
“Jika hanya bermodal pengaruh dan duit, untuk apa kita punya bupati,” demikian dikatakan. Rasanya Sumenep tidak butuh bupati gaya lama, yang usang. Butuh pemimpin yang punya gagasan konkret untuk kemajuan Sumenep. Butuh gebrakan baru, bukan gaya standar seperti pemimpin-pemimpin sebelumnya yang membosankan dalam mengelola kabupaten. Melalui terobosan pemikiran yang out of the box.
Berbagai persoalan yang dihadapi kota ini perlu segera dicari solusinya. Misalnya di bidang politik dan kepemimpinan, ekonomi, pengelolaan SDA, perbaikan kualitas SDM, korupsi, kebohongan-kebohongan publik. Kerakusan di berbagai aspek kehidupan pun kian merajalela dan menjadi pekerjaan rumah berat bagi bupati.
Sumenep di usianya yang tua, membutuhkan gagasan-gagasan muda, cara baru, dan arah perjuangan baru. Tentunya bukan dari pemimpin yang kebijakan dan cara pikirnya masih dalan sangkar besi. Ingat lagi, Sumenep memiliki potensi sumber daya alam migas terbesar di Madura. Ini adalah takdir sekaligus kutukan.
Sebuah teori lama Deep Stoat, mengatakan “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”. Artinya jika kamu ingin memahami geopolitik hari ini, ikuti kemana minyak. Jika mengikuti teori tersebut, Madura yang kaya adalah sasaran (takdir) selanjutnya. Ada hidden agenda dan deception yang dimainkan, agar masyarakat Sumenep lalai dan lupa dengan buminya sendiri, didiamkan lalu dicampakkan.
Kesejahteraan masyarakat Sumenep miris, tahun ini angka kemiskinan Sumenep meningkat, naik 0.54 persen ditengah berlimpahnya sumber daya alam. Lalu bagaimana rasanya memiliki bupati, jika Sumenep memiliki geliat onshore dan offshore tetapi dikelola asing. Warga sekitar hanya menonton. Masyarakatnya dibuat abai dan dilupakan oleh pemerintah karena sibuk sendiri dengan isu politik.
Sekali lagi bagaimana rasanya memiliki bupati? Jika pemerintah serius, dana bagi hasil migas lebih dari cukup untuk memberdayakan bumi Sumenep. Sedikit masyarakat Sumenep yang tahu hal ini. Bahkan banyak orang seakan tidak peduli dengan keadaan ini, bahwa Sumenep tak sekedar keris, Sumenep tak sekedar wisata, tetapi Sumenep memiliki potensi besar dalam bidang ketahanan pangan dan energi.
Saya setuju dengan geoposisi silang, bahwa dunia itu tergantung, Indonesia itu tergantung Jawa, Jawa itu tergantung Jawa Timur dan Jawa Timur tergantung Madura, dan Madura tergantung Sumenep. Ucapan leluhur tersebut bisa dianalisa dari berbagai aspek. Apakah anda ingin banyak Sumenep merantau serta mengais penghidupan entah kemana, sementara tanah (SDA)-nya sendiri dijarah, orang-orang luar justru yang menikmati. Sungguh ironi.
Dunia tergantung Indonesia, karena Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudera dimana 80% perdagangan dunia melewati perairan Indonesia, sementara dalam bidang politik dan keamanan, Jawa timur menjadi barometernya. Selain pulau jawa sebagai ‘pusat’ politik, budaya, ekonomi dan pendapat, jumlah penduduk pulau Jawa adalah aset demografi. Jawa cenderung aman dari pergolakan sosial ekonomi, khususnya Jawa Timur. Bisakah kiranya dikatakan bahwa Jawa adalah representasi dari Nusantara.
Sadar kaya, adalah kunci untuk memulai menjaga Sumenep dan memajukannya. Anda hendaknya mulai memikirkan ini, tidak sibuk dengan urusan ‘songkok’ dan ‘sarung’, mengajari anak muda mencangkul bukan melancong. Menggali kembali kearifan lokal yang dahulu pernah mengiringi kejayaan daerah bahkan nusantara.
Jika dikatakan Madura sebagai sebuah negara, semua persyaratan telah terpenuhi, bagaimana dengan Sumenep, yang memiliki ketahanan pangan dan energi?, maka tangan besi pemerintah dibutuhkan untuk membawa Sumenep menjadi lebih maju. Agar pertanyaan ‘bagaimana rasanya memiliki bupati’ terjawab dengan fakta, bahwa 5 tahun kedepan angka kemiskinan nyaris nol persen, menjadi pusat peradaban dan menjadi kota kecil metropolitan. Semoga tidak sekedar angan.
[totalpoll id=”24568″]