Direktur LBH LoIS NTB Anggap SK Perubahan Nama BIZAM Cacat Prosedural

Rasyiqi
By Rasyiqi
8 Min Read

jf.id – Dr. Irpan Suryadiata, SH, MH, Direktur LBH LoIS NTB berkomentar tentang SK  nama BIZAM serta persetujuan Pimpinan Fraksi dan Komisi di DPRD Provinsi NTB untuk memberikan rekomendasi terkait dengan perubahan nama Bandara International di Desa Tanak Awu, Kec. Pujut, Kab. Lombok Tengah. Rabu, 28/01/2020.

Pasca dikeluarkannya Surat persetujuan bersama Pimpinan DPRD Provinsi NTB prihal Perubahan nama Lombok International Air Port (LIA) ke Bandara International Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), masyarakat masih menunggu apakah akan segera di eksekusi perubahan tersebut atau ditunda dalam waktu yang tidak ditentukan atau tidak ada pergantian sama sekali.

Keberadaan SK secara prosedur tersebut dinilai cacat prosedural, hal itu disampaikan oleh Dr. Irpan Suryadiata, SH, MH, Direktur LBH LoIS NTB, juga Ketua Ikadin Kota Mataram, dia memandang prosedur yang diambil dalam perubahan nama bandara tersebut terbalik.

“bukan palsu sih SK nya, tetapi ada kesalahan prosedur, jika prosedur salah maka secara hukum juga kemungkinan salah, tetapi salahnya menurut hukum ketika ada keputusan pengadilan yang menyatakan salah,” kata Ketua Ikadin Kota Mataram tersebut.

Kesalahan prosedur yang dimaksudnya adalah tentang permintaan masa aksi bela ulama yang menekankan agar pihak DPRD mengeluarkan surat rekomendasi tentang pengeksekusian perubahan nama LIA ke BIZAM per 3 Februari 2020 mendatang, yang di putuskan DPRD Provinsi dalam bentuk persetujuan Pimpinan Fraksi dan Komisi di DPRD Provinsi NTB.

“ini kan cacat prosedural, masa SK perubahan sudah lama keluar baru meminta persetujuan DPRD Provinsi NTB, kalau memang benar adanya seperti itu, berarti patut dipertanyakan yang dipakai adalah persetujuan DPRD salah atau bagaimana?”, tanya Dr. Irpan.

Menurutnya, SK perubahan tersebut dikeluarkan setelah ada persetujuan dari pemerintah Daerah dalam hal ini Pemkab. Lombok Tengah, DPRD Kab. Lombok Tengah dan Pemprov. NTB serta DPRD Provinsi NTB sebelum penerbitan SK Perubahan Nama Bandara, agar prosedur yang digunakan sesuai dengan logika hukum.

“harus ada keterlibatan persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat dalam hal ini Pemerintah Kab. Lombok Tengah beserta DPRD Lombok Tengah, ini kan tidak,” sambung Dr. Irpan.

Terpisah, hasil dengar pendapat dari Pimpinan Komisi dan Fraksi DPRD Provinsi NTB, rapat pimpinan DPRD Provinsi NTB tersebut menghasilkan pokok-pokok pikiran yang menjadi bahan rekomendasi DPRD Provinsi NTB kepada pemerintah Daerah Provinsi NTB.

Pokok-pokok pikiran tersebut terkait dengan pelaksanaan keputusan Mentri Perhubungan tentang perubahan nama bandar udara tersebut dengan point sebagai berikut yang salah satunya yakni pada point a yang menyatakan bahwa;

“memohon kepada Gubernur NTB menindak lanjuti dan melaksanakan keputusan Menhub RI No KP 1421 tahun 2018 tentang perubahan nama LIA ke BIZAM di Kab. Lombok Tengah, Provinsi NTB”.

Terkait dengan hal tersebut, terkhusus pendapat dan permohonan DPRD Provinsi NTB,  Dr. Irfan memandang bahwa perubahan nama bandara tersebut dikatakannya tidak benar bahkan cacat isi dan kehendak.

“jika memang demikian, lalu apa yang dimaksud dengan dasar menimbang point a yang dikatakan sebagai dasar pengeluaran SK adalah persetujuan dari DPRD Provinsi NTB?, Jika demikian maka persetujuan DPRD NTB yang dimaksud dalam SK tersebut tidak benar adanya,” jelas Dr. Irpan.

Secara Hukum, keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat negara, itu dianggap benar sebelum ada putusan pengadilan yang mengatakan bahwa keputusan itu adalah tidak benar, namun jika mengacu kepada isi SK tersebut serta dasar penerbitannya, maka SK tersebut adalah cacat secara yuridis, dan prosedur karena keputusan DPRD yang menjadi dasar terbitnya SK tersebut masih dipertanyakan ke absahan nya.

” menurut saya, ternyata itu tidak benar buktinya saat ini mereka masa aksi meminta persetujuan DPRD terkait dengan SK itu, itu yang pertama,” tandas Dr. Irpan.

“kemudian, yang ke dua, didalam SK itu tidak dicantumkan dasar hukum daripada terbitnya SK Mentri tersebut, sebab penamaan Bandara dan lainnya ada ketentuan yang mengatur, yang semestinya dicantumkan dalam SK tersebut, salah satunya harus mendapatkan persetujuan dari Pemkab. dan DPRD Lombok Tengah. Tapi dalam SK itu tidak ada sama sekali, ” lanjut Dr. Irpan.

Menurutnya, pemberian nama dalam hal apapun bisa saja terjadi, akan tetapi dalam konteks ini, Dr. Irpan memandang secara sosial politik, dan secara substansial lah yang tidak membenarkan penamaan tersebut.

“tentu saja tidak dibenarkan, karena melanggar satu kepatutan serta mekanisme yang sebenarnya mesti dilalui dan dilakukan, dan  disaat masyarakat ada yang pro dan kontra,  Pemprov. NTB harus berada dalam posisi tengah dengan melihat kondisi masyarakat seperti apa dan tidak menjadi corong daripada satu elemen masyarakat dengan menapikan aspirasi masyarakat yang lain,” harap Dr. Irpan.

Polemik ditengah masyarakat tentu tidak akan terjadi jika penerbitan SK tersebut menurutnya sesuai dengan prosedur yang benar.

“sebenarnya yang keliru dalam permasalahan eksekusi nama bandara tesebut adalah siapa pengeksekusi putusan itu, tentu dalam hal ini  adalah Angkasa Pura I, itupun eksekusinya dalam bentuk eksekusi administratif, berupa surat menyurat dari AP I yang di ketik dan di tanda tangani dengan menggunakan logo yang bertuliskan BIZAM,” sebutnya.

Eksekusi administratif merupakan pekerjaan dari Angkasa Pura I sebagi pengelola Bandara tersebut.

” bukan gubernur yang harus eksekusi, mengubah nama bisa saja tetapi bukan gubernur karena pemiliknya adalah Angkasa Pura I, cuman proseduralnya tidak di kerjakan dalam hal ini persetujuan dari Pemkab setempat, pihak perusahaan sudan tau kok penolakan Pemkab. Lombok Tengah beserta masyarakat setempat, ” sergah Dr. Irpan.

Menurut Dr. Irpan, rekomendasi serta instruksi Pemprov. NTB terkait polemik ini tidak akan berlaku jika masih ada penolakan dari Pemkab. Setempat serta kondusifitas masyarakat belum terjamin.

“angkasa Pura I ini adalah perusahaan, kalau perusahaan itu terus di obok-obok oleh masyarakat, maka yang akan rugi adalah perusahaan sendiri, untuk itu gubernur tidak bisa seenaknya memerintah pihak perusahaan melakukan perubahan tanpa melihat kondisi, karena jika terjajadi ribut maka operasional bandara itu akan terganggu, maka jelas yamg rugi adalah AP I dan maskapai penerbangan dan seterusnya, dalam hal ini perusahaan jelas tidak mau rugi, ” imbuhnya.

Dengan kajian serta pandangan diatas, Dr. Irpan Suryadiata, SH, MH mengharapkan agar pihak PT Angkasa Pura I mempertimbangkan kemungkina terburuk yang akan terjadi jika mesti nama LIA diganti dengan nama BIZAM.

“saya yakin Angkasa Pura 1 tidak semudah itu melakukan eksekusi, karen pihak Angkasa Pura I mesti mengetahui betul kondisi sekitar, ” pungkasnya.

Rencananya persetujuan bersama Pimpinan Fraksi dan Komisi tentang rekomendasi ke Gubernur NTB prihal pergantian nama LIA ke BIZAM akan di paripurnakan hari ini, Rabu, 28/01/2020.

Laporan: M Rizwan

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article