Belalak: Cairkan Stagnasi Seni Pertunjukan di Banyuwangi

Nurul Ludfia Rochmah
5 Min Read

jfid – Menikmati seni pertunjukan di masa pandemi digelar secara terbatas merupakan hiburan tersendiri. Akhir Oktober lalu saya menyaksikan pertunjukan seni eksperimental bertajuk Belalak di ruang pertemuan sebuah kafe di Banyuwangi yang disulap menjadi panggung.


Aturan protokol kesehatan tetap dilakukan. Panggung pertunjukan di-setting sejajar dengan penonton. Penonton duduk bersila dengan formasi letter-U. Formasi seperti ini seperti ingin memanjakan penonton agar dapat menikmati pertunjukan dengan jarak yang sangat dekat. Sisi kanan panggung yang digunakan sebagai tempat pemain gamelan berada di balik tirai sehingga penonton melihatnya sebagai siluet.

Mengapa berjudul belalak? Menurut penggagas dan koreografer muda Banyuwangi, Miftahul Jannah, belalak itu dari kata ‘terbelalak’ yang merupakan ekspresi keterkejutan terhadap sesuatu dan diiringi dengan mata terbuka lebar atau melotot. Awalnya karya ini terinspirasi dari karya tugas akhir Miftah di STKW Surabaya tahun 2017 yang berjudul Byalak. Entah karena kemiripan bunyi atau yang lain sehingga dipilih judul Belalak pada penampilan perdana Grup Manamjupan yang dibidaninya. Byalak adalah ungkapan dari bahasa Osing yang merupakan ekspresi keheranan atau keterkejutan terhadap sesuatu tetapi tidak selalu diiringi dengan mata melotot atau terbuka lebar. Pada pertunjukan ini kata belalak sebagai judul bisa bermakna “keterkejutan terhadap demam tik-tok atau konten narsis demi meraih popularitas. Belalak bisa juga bermakna “mari membuka mata lebar-lebar melihat dan mengkaji fenomena narsisme dan viralisme ini”

Sebagai bentuk seni interdisipliner, Belalak mengolaborasikan seni tari, teater, dan musik. Belalak dihadirkan di panggung dengan kolaborasi tata seni pencahayaan, setting panggung, kostum, dan tata suara. Penyajinya adalah anak-anak muda Banyuwangi energik yang tergabung dalam Manamjupan Performing Arts Studio. Sebagai bentuk pertunjukan kontemporer, kerja sama dengan seniman musik Banyuwangi membuat sajian pertunjukan ini memberi ruh baru bagi kehidupan kesenian Banyuwangi.

Tema yang ditampilkan pada pertunjukan Belalak ini adalah fenomena budaya viralisme dan narsisisme yang makin menggila. Tema ini memotret kecenderungan masyarakat -tidak hanya remaja saja- di era disruptif, seiring makin primernya kebutuhan akan gawai, apalagi di masa pandemi. Gawai menjadi alat untuk mengeksploitasi diri dengan mengejar ambisi dan mencari popularitas. Belalak berusaha untuk menstimulisasi respon penonton terhadap sajian yang menonjolkan fenomena yang mungkin juga sedang kita alami.

Bagian awal pertunjukan ini dibuka dengan penampilan tari gandrung sebagai bentuk ucapan selamat datang dan selamat menikmati pertunjukan. Selanjutnya Kita dibawa pada suatu keadaan crowded di keseharian. Orang-orang terjebak pada komunikasi yang rumit. Saling intip, saling curiga, saling jegal untuk kepentingan masing-masing. Fragmen berikutnya menyajikan keadaan saat gawai menjadi guru dan pedoman untuk komunikasi dan perjalanan meraih popularitas. Bagian klimaks pertunjukan adalah dampak dari proses mencari popularitas dengan cara instan dan menonjolkan diri dengan narsis di media sosial. Mereka menjadi pribadi seperti robot dna hampir hilang perasaan. Untunglah masih ada pribadi-pribadi yang mau mengingatkan agar mereka bisa kembali ke dunia nyata dan tidak menghabiskan waktu untuk populer di dunia maya. Setting mocoan lontar Yusup yang berisi pesan agar mereka banyak merenungi diri dan mendekatkan diri pada pencipta mendukung akhir kisah dalam pertunjukan tersebut, bahwa manusia harus kembali pada kesadaran dirinya sebagai makhluk sang pencipta.

Di Banyuwangi, pertunjukan eksperimental masih jarang kita temui. Selama ini pertunjukan tari tradisional mendominasi kegiatan adat dan budaya di Banyuwangi. Kesenian Banyuwangi memang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari rakayat Banyuwangi. Bahkan Keberadaannya tidak hanya sekadar seni tetapi sudah menjadi bagian dari ritual dan ‘ibadah’ dalam arti luas. Kesan statis mungkin akan sirna jika di masa mendatang makin banyak yang mengeskplorasi kesenian Banyuwangi dalam format yang lebih segar seperti yang disajikan malam ini.

Di era lalu kesenian Banyuwangi terutama tari telah memiliki Subari, sebagai penggagas tari kreasi Banyuwangi. Tangan dingin Subari mampu melahirkan koreografi tari kreasi Banyuwangi yang terkenal energik dan rancak. Kiprahnya sudah sampai ke mancanegara. Kali ini munculnya koreografer muda Banyuwangi, seperti Miftah. Ia perlu mendapatkan dukungan agar iklim kesenian Banyuwangi yang kata orang mengalami kestagnanan bisa kembali bergairah kembali. Kesenian Banyuwangi memerlukan tangan-tangan kreatif untuk mereinterpretasi dan merekonstruksi kesenian di Banyuwangi agar menjadi pertunjukan yang baru dan punya nyawa baru.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article