Ekonomi Perikanan Dibawah Kontrol Neoliberal, Picu Ilegal Fishing dan Kemiskinan Nelayan

Rusdianto Samawa By Rusdianto Samawa
8 Min Read
- Advertisement -

jfid – “Sejak Vessel Monitoring System (VMS) diserahkan ke Neoliberal oleh pemerintah melalui menteri KKP. Sejak itu pula, kebijakan maritim: Kelautan, Perikanan membawa duka mendalam bagi nelayan, budidaya dan industri. Tetapi ditutup dengan penegakan pemberantasan illegal fishing yang penuh citra.”

Pemerintah seharusnya mendengarkan usulan keluhan nelayan, budidaya dan industri perikanan yang menyarankan agar fokus meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan penyerahan Vessel Monitoring System (VMS) merupakan bentuk menggorok kedaulatan negara. Alih-alih argumentasi Menteri KKP untuk melindungi laut dan permudah indentifikasi kapal asing.

Justru penyerahan dan membuka Vessel Monitoring System (VMS) itu memberi keuntungan kepada Amerika Serikat dan jaringan neoliberal global untuk hancurkan industri perikanan dalam negeri Indonesia.

Ad image

Yayasan Leonardo D’caprio sangat senang sekali karena telah mampu menambah income besar dari VMS tersebut. Sementara Menteri KKP menggadaikan dan memberi kedaulatan Indonesia sistem “Big Sale” untuk negara – negara maju.

Bayangkan investasi paling besar yang tidak kelihatan dan diluar jangkauan kontrol rakyat, yakni ada bisnis tersembunyi dibalik pembocoran Vessel Monitoring System (VMS), dari proses membuka VMS ini, yayasan Leonardo D’caprio berkewajiban membayar royalti.

Karena membuka VMS itu sama dengan “Open Acces” terhadap pasar – pasar Kelautan dan Perikanan sebesar-besarnya di negara-negara maju. Sementara Indonesia hanya bisa dapat royalti gelap dari oara bandit dan bohir perikanan gelap yang mengambil untung dari “Open Acces” Vessel Monitoring System (VMS) tersebut.

Justru dengan memegang kendali peta laut dan ikan Indonesia melalui alat “Vessel Identification” atau VMS itu, maka mereka dibawah kendali Yayasan Neoliberal Leonardo D’Caprio akan mendapat bebas bea tangkap ikan dilaut Indonesia.

Salah satu yang dikeluhkan pemerintah Indonesia, yakni ekonomi industri perikanan tidak meningkat skor-nya. Justru pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengancam keberlangsungan nelayan lokal yang kehilangan ratusan juta USD per tahunnya dari sektor perikanan. Karena lebih mendahulukan penegakan hukum dilaut daripada peningkatan kesejahteraan nelayan dan budi daya.

Padahal peran Bakamla, TNI AL dan Lantanal diberbagai daerah menjadi spektrum lebih luas untuk penegakan keamanan laut diseluruh perairan Indonesia.

Penyebab kemiskinan nelayan dalam 5 tahun ini adanya dua faktor yakni produk Peraturan Menteri tanpa kontrol dan tanpa evaluasi. Sebab lainnya, membuka Vessel Monitoring System (VMS) yang bekerjasama dengan Global Fishing Wacth dibawah koordinasi yayasan Leonardo Dicaprio.

Dari membuka VMS itu, kisaran “Royalti gelap” yang bersumber dari industri-industri global fishing diseluruh dunia sekitar 10 persen. Kalau dihitung royalti dari hasil penjualan tangkapan hasil laut, bisa capai ratusan juta USD. Rinciannya dari berbagai penjualan hasil laut yang telah ditangkap oleh kapal-kapal asing tersebut. Kemudian, di ekspor ke pasar dunia dan menarik keuntungan pertahap. Sementara nilai pajak industri global fishing itu bisa mencapai ratusan ribu dollar AS.

Andaikata pemerintah Indonesia, bisa menarik keluar kembali Vessel Monitoring System (VMS), maka bisa menghemat ratusan juta dollar AS di laut Indonesia. Agenda tarik VMS dari cengkeraman Neoliberal dan industri global fishing itu akan bisa dilakukan apabila pemerintah terlebih dahulu membuat undang-Undang khusus tentang Vessel Monitoring System (VMS).

Dulu tahun 2014 Menteri KKP teriak bubarkan G20, ia mengatakan: “Indonesia seharusnya keluar dari G20.” Katanya. Cara komentar seperti ini untuk mengambil sikap oposisi para aktivis ekonomi dan pengamat industri. Padahal Menteri KKP sendiri sangat mudah menyerahkan dan membuka VMS sebagai peta kedaulatan maritim (laut) negara Indonesia tanpa meminta persetujuan Presiden Republik Indonesia.

Kalau alasan, membocorkan dan membuka kerahasiaan peta laut negara, bahwa dimudahkan untuk dapat pinjaman, royalti dan lainnya. Maka hal ini merupakan ancaman paling nyata bagi keberlangsungan sumberdaya kelautan dan perikanan. Karena bisa jadi aset-aset maritim Indonesia dikuasai asing karena hutang-hutang dan royalti gelap tersebut.

Kalau kita tarik kembali Vessel Monitoring System (VMS) dari negara-negara G20 seperti Amerika Serikat dan China serta industri global fishing Yayasan neoliberal itu. Justru kita tidak dirugikan, tidak ada ruginya. Pemerintah dan DPR perlu lakukan langkah penarikan.

Kalau saja dibiarkan, maka kerugian besar bagi Indonesia dan terancamnya keberlangsungan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Karena akan selamanya kontrol oleh Industri Global Fishing sebagai sumber distribusi logistik keuntungan neoliberal.

Kerugian itu nyata sekali, prihatin dengan berbagai masalah yang terjadi di dunia Kelautan dan Perikanan termasuk masalah ambiguitas terkait dengan data kemiskinan nelayan, pembudidaya, galangan dan petani tambak di Indonesia. Sebab menurutnya, ada yang aneh dengan data Badan Pusat dan Statistik (BPS) yang seringkali di ikuti salah oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Berdasarkan data BPS per Maret 2018 kemarin, BPS merilis data dimana kemiskinan turun signifikan. Walhasil pemerintah yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim, jika pihaknya sudah berhasil menurunkan angka kemiskinan di level terendah yaitu di bawah 10% selama 5 tahun terakhir.

Padahal baru beberapa pekan masyarakat bangga karena Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka kemiskinan Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah sepanjang era reformasi berada di bawah 10% dari jumlah penduduk, atau tepatnya per Maret 2018 yang sebesar 9,82%

Sebab, jika angka kemiskinan turun signifikan tetapi logika menurunnya tidak tepat. Sebab ditengah angka kemiskinan yang menurun, KKP justru mengalami split trust (tidak ada kepercayaan) masyarakat Kelautan dan Perikanan sebesar 40% masyarakat pesisir yang berprofesi nelayan dan kategori miskin di Indonesia.

Ajaib, Pemerintah mengumumkan ada 40% nelayan di negara ini yang akan menjadi sasaran program perlindungan, pemberdayaan, ekosistem dan sumber daya pada tahun anggaran 2019. Namun, sisi lain penegakan hukum atas pencurian uang negara di Kementerian Keluatan dan Perikanan yang sudah banyak di sidik penegak hukum merupakan suatu hal yang aneh dan kinerjanya Nol Porsen.

Berdasarkan RAPBN 2018 – 2019 KKP ajukan sebesar 7 Triliun lebih, namun anggaran sebesar itu, masalah Kelautan dan Perikanan tidak selesai hingga sekarang. Bahkan terjadi dugaan korupsi, seperti Kasus KJA, kasus Kapal, kasus pengadaan mesin dan lain sebagainya.

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article