jfid – Jika ada satu orang yang berani memanggil Soeharto dengan sebutan monyet, maka orang itu adalah Jenderal Gatot Soebroto.
Panggilan itu bukanlah bentuk penghinaan atau ejekan, melainkan ungkapan keakraban dan kekaguman dari seorang senior kepada juniornya.
Gatot Soebroto dan Soeharto adalah dua sosok yang memiliki latar belakang dan perjalanan karier yang hampir serupa.
Keduanya sama-sama berasal dari Jawa Tengah, sama-sama menjadi anggota Tentara Hindia Belanda (KNIL), sama-sama mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), dan sama-sama berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun, Gatot Soebroto lebih senior dan berpengalaman daripada Soeharto. Ia lahir pada 10 Oktober 1907, sedangkan Soeharto lahir pada 8 Juni 1921.
Ia masuk sekolah militer KNIL di Magelang pada tahun 1923, sedangkan Soeharto masuk pada tahun 1940.
Ia menjadi komandan batalyon PETA di Banyumas, sedangkan Soeharto menjadi komandan kompi PETA di Wuryantoro.
Gatot Soebroto juga merupakan sosok yang berjasa besar bagi Soeharto.
Ia pernah menyelamatkan karier Soeharto yang nyaris dikeluarkan dari Angkatan Darat karena terlibat kasus penyelundupan.
Ia juga pernah memberikan bantuan logistik dan personel kepada Soeharto saat ia memimpin operasi militer di Yogyakarta.
Panggilan monyet yang diberikan Gatot Soebroto kepada Soeharto bermula saat keduanya bertemu di medan perang Palagan Ambarawa pada tahun 1945.
Saat itu, Gatot Soebroto yang menjadi komandan Divisi II mengoordinasikan pasukan yang bergerak dari arah selatan untuk merebut kembali Ambarawa dari tangan Belanda.
Salah satu pasukan yang dipimpinnya adalah Batalyon IV yang dikomandani oleh Soeharto.
Dalam pertempuran sengit yang berlangsung selama beberapa hari, Gatot Soebroto sering berteriak memanggil Soeharto dengan sebutan monyet.
“Hei monyet, mari ke puncak sini,” kata Gatot Soebroto kepada Soeharto saat mengajaknya menyerbu posisi musuh.
Panggilan itu bukanlah tanpa alasan. Menurut Gatot Soebroto, Soeharto memiliki kemiripan dengan monyet, baik dari segi wajah maupun gerak-geriknya.
Selain itu, panggilan itu juga merupakan bentuk pujian, karena monyet adalah binatang yang cerdas, lincah, dan gesit.
Soeharto sendiri tidak merasa tersinggung dengan panggilan itu. Ia menganggapnya sebagai tanda keakraban dan kepercayaan dari Gatot Soebroto.
Ia juga menghormati Gatot Soebroto sebagai seorang senior yang berwibawa dan berpengaruh.
Panggilan monyet itu terus melekat pada Soeharto hingga ia menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.
Gatot Soebroto pun tetap memanggilnya dengan sebutan itu, meski dengan nada yang lebih sopan dan hormat.
“Selamat pagi, Pak Monyet,” kata Gatot Soebroto saat mengucapkan salam kepada Soeharto di Istana Negara.
“Selamat pagi, Pak Gatot,” jawab Soeharto dengan senyum.
Panggilan monyet itu juga menjadi ciri khas dari Gatot Soebroto dalam berkomunikasi dengan anak buahnya.
Menurut Laksamana Pertama (Purn.) Iman Sardjono, mantan anggota Tentara Pelajar di wilayah Banyumas, kata monyet yang keluar dari mulut mantan bintara KNIL itu merupakan hal yang positif.
“Jika Pak Gatot bilang monyet, itu tandanya dia merasa akrab (dengan orang yang disebut begitu) atau mood-nya lagi bagus,” ujar Iman Sardjono.
Gatot Soebroto meninggal dunia pada 11 Juni 1962 karena serangan jantung. Ia dimakamkan di Desa Mulyoharjo, Ungaran, Jawa Tengah.
Seminggu setelah ia dimakamkan, ia dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Soeharto pun turut berduka atas kepergian Gatot Soebroto. Ia mengenang Gatot Soebroto sebagai seorang sahabat, guru, dan panutan yang telah banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa dan negara.
“Beliau adalah sosok yang berani, jujur, dan berintegritas. Beliau juga adalah sosok yang humoris, ramah, dan penuh kasih sayang. Beliau adalah sosok yang saya panggil dengan sebutan monyet, dan saya bangga dengan sebutan itu,” kata Soeharto.