jfid – Israel dan Palestina kembali terlibat konflik bersenjata yang memakan banyak korban jiwa, terutama di pihak Palestina.
Serangan Israel ke Jalur Gaza memicu kemarahan dan protes dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Salah satu bentuk protes yang dilakukan adalah dengan memboikot produk-produk Israel atau perusahaan-perusahaan yang dianggap mendukungnya.
Boikot produk Israel bukanlah hal baru. Sejak tahun 2005, ada gerakan global yang disebut Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) yang bertujuan untuk menekan Israel agar menghormati hak-hak rakyat Palestina dan mengakhiri pendudukan di wilayah-wilayah Palestina.
Gerakan ini terinspirasi oleh gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan dan gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat.
Gerakan BDS mengajak masyarakat dunia untuk melakukan tiga hal: memboikot produk dan layanan Israel atau perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia oleh Israel; melakukan divestasi atau menarik investasi dari perusahaan-perusahaan tersebut; dan mendorong pemerintah untuk memberlakukan sanksi ekonomi, politik, atau militer terhadap Israel.
Gerakan BDS telah mendapatkan dukungan dari berbagai organisasi sipil, tokoh masyarakat, seniman, akademisi, dan aktivis di seluruh dunia.
Beberapa contoh produk atau perusahaan yang menjadi sasaran boikot adalah Starbucks, McDonald’s, KFC, Pepsi, Netflix, Unilever, Danone, Nestle, Walt Disney, HP, Puma, dan lain-lain.
Namun, apakah gerakan boikot ini efektif dalam mengubah sikap dan kebijakan Israel? Apakah gerakan ini memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi Israel atau perusahaan-perusahaan yang diboikot? Apakah gerakan ini juga berdampak bagi perekonomian negara-negara yang melakukan boikot, termasuk Indonesia?
Menurut data dari BDS Movement, gerakan boikot telah memberikan dampak ekonomi yang cukup besar bagi Israel. Pada tahun 2014, investasi asing langsung ke Israel turun sebesar 46 persen.
Beberapa perusahaan besar asal Amerika Serikat dan Eropa, seperti Veolia, Orange, G4S, General Mills, dan CRH, memutuskan untuk keluar dari pasar Israel. Akibatnya, Israel kehilangan hingga 20 juta dolar Amerika.
Selain itu, beberapa investor besar, seperti Presbyterian Church USA dan United Methodist Church di AS, Dutch Pension Fund PGGM di Belanda, dan beberapa pemerintah negara lain, seperti Norwegia, Luksemburg, dan Selandia Baru, memutuskan untuk divestasi dari perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pelanggaran Israel terhadap hukum internasional.
Gerakan boikot juga berdampak bagi perusahaan-perusahaan Israel, terutama yang bergerak di bidang pertanian, teknologi, dan industri militer.
Salah satu contohnya adalah Carmel Agrexco, perusahaan ekspor pertanian terbesar di Israel, yang mengalami likuidasi akibat boikot besar-besaran di sejumlah wilayah. Akibatnya, petani Israel kesulitan mengekspor produk-produk mereka.
Di sisi lain, gerakan boikot juga memiliki dampak bagi negara-negara yang melakukan boikot, termasuk Indonesia.
Menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Paramadina, Shiskha Prabawaningtyas, boikot produk Israel justru merugikan ekonomi Indonesia.
Pasalnya, Indonesia masih mengimpor sejumlah produk dari Israel, terutama di bidang teknologi dan pertanian.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor Indonesia dari Israel pada tahun 2020 mencapai 266,6 miliar rupiah.
Produk-produk yang diimpor antara lain adalah mesin dan peralatan listrik, produk kimia organik, produk farmasi, pupuk, dan produk plastik.
Jika Indonesia memboikot produk-produk tersebut, maka Indonesia harus mencari sumber alternatif yang mungkin lebih mahal atau lebih sulit.
Selain itu, boikot produk Israel juga berpotensi mengganggu hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara lain yang memiliki hubungan baik dengan Israel, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Hal ini bisa berdampak pada penurunan ekspor, investasi, dan kerjasama ekonomi antara Indonesia dan negara-negara tersebut.
Oleh karena itu, Shiskha menyarankan agar Indonesia tidak hanya mengandalkan gerakan boikot sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, tetapi juga menggunakan diplomasi dan kerjasama internasional untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina secara damai dan adil.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat Indonesia tidak terjebak dalam polarisasi dan simplifikasi isu yang kompleks ini.
“Boikot produk Israel adalah hak setiap individu, tetapi kita harus melihat dampaknya secara komprehensif dan jangka panjang. Kita juga harus mengedepankan dialog dan kesejahteraan bersama, bukan hanya simbol-simbol politik,” kata Shiskha.