jfid – China menghadapi penolakan dari empat negara tetangganya terkait peta kedaulatan baru yang dirilisnya pada akhir Agustus 2023. Peta tersebut mengklaim sekitar 90 persen Laut China Selatan sebagai wilayah China, termasuk kawasan yang dipersengketakan dengan Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.
Peta baru China ini menambah satu garis putus-putus di bagian timur Taiwan, sehingga menjadi 10 garis putus-putus yang mencakup seluruh Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough Shoal. Peta ini juga berbeda dengan versi yang diserahkan oleh China ke PBB pada tahun 2009.
China mengatakan peta ini memainkan “peran penting dalam mendorong pembangunan bangsa, memenuhi kebutuhan semua lapisan masyarakat, mendukung pengelolaan sumber daya alam, dan membantu pembangunan ekologi dan peradaban”. Namun, negara-negara yang merasa haknya terlanggar tidak tinggal diam.
Filipina: Meminta China untuk “bertindak secara bertanggung jawab dan mematuhi kewajibannya”, berdasarkan hukum internasional dan keputusan arbitrase tahun 2016 yang menyatakan bahwa garis putus-putus tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Malaysia: Mengajukan protes diplomatik atas peta tersebut. Malaysia menganggap peta tersebut sebagai “tindakan provokatif” yang melanggar kedaulatan dan hak-hak maritimnya.
Taiwan: Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taiwan Jeff Liu mengatakan Taiwan sama sekali bukan bagian dari China. “Tidak peduli bagaimana pemerintah China memutarbalikkan posisisnya soal Taiwan, ini tidak dapat mengubah fakta obyektif soal keberadaan negara kami”.
Vietnam: Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan dengan tegas menolak klaim apa pun oleh China di kawasan tersebut, yang didasarkan pada garis putus-putus. Vietnam menyerukan agar China menghormati kedaulatan dan hukum internasional.
Indonesia: Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan posisi Indonesia konsisten berpegangan pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982 dalam merespons peta baru China.
UNCLOS 1982 merupakan kesepakatan batas-batas wilayah kelautan yang telah diratifikasi lebih dari 100 negara, termasuk Indonesia.
Pakar hukum kelautan mendorong adanya kerja sama Indonesia, Malaysia, dan Vietnam dalam menyikapi kontroversi ini. Menurut mereka, ketiga negara memiliki kepentingan bersama dalam menjaga stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan.
Laut China Selatan merupakan kawasan strategis yang memiliki nilai dagang hingga A$4,6 triliun setiap tahunnya. Kawasan ini juga kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi. Selain itu, Laut China Selatan juga menjadi jalur pelayaran penting bagi banyak negara.
Sengketa di Laut China Selatan telah berlangsung selama beberapa dekade. China mengklaim hampir seluruh kawasan ini berdasarkan sejarah dan tradisi. Namun, klaim ini ditentang oleh negara-negara lain yang memiliki hak berdasarkan hukum internasional.