jf.id – Pemilihan presiden (pilpres) adalah salah satu momen penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Setiap lima tahun sekali, rakyat berhak memilih pemimpin yang akan membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Namun, tidak jarang, pilpres juga menjadi ajang untuk menghidupkan kembali ramalan-ramalan kuno yang konon ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja Kerajaan Kediri pada abad ke-12.
Ramalan Jayabaya atau Jangka Jayabaya adalah kumpulan bait-bait puisi yang menggambarkan masa depan Nusantara, mulai dari zaman Majapahit, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, hingga zaman akhir1. Ramalan ini dikenal terutama di kalangan masyarakat Jawa yang melestarikannya secara turun temurun1. Salah satu ramalan Jayabaya yang paling populer adalah tentang kemunculan Ratu Adil, sosok pemimpin ideal yang akan membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
Namun, pertanyaannya adalah, kenapa setiap menjelang pilpres selalu dibahas ramalan Jayabaya? Apakah ada hubungan antara pilpres dan ramalan Jayabaya? Apakah kita tidak percaya dengan sistem demokrasi yang kita anut? Apakah kita tidak puas dengan kinerja para pemimpin yang sudah ada? Apakah kita tidak bisa berpikir rasional dan realistis tentang masa depan kita?
Kita suka bermimpi dan berharap. Ramalan Jayabaya memberikan kita harapan bahwa ada sosok pemimpin yang sempurna yang akan datang dan menyelesaikan semua masalah kita. Kita ingin percaya bahwa ada takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan dan bahwa kita hanya perlu menunggu waktunya tiba. Kita tidak mau repot-repot untuk berjuang dan berkontribusi untuk perubahan yang kita inginkan. Kita lebih suka bermimpi dan berharap daripada bertindak dan bertanggung jawab.
Kita suka berspekulasi dan berdebat. Ramalan Jayabaya memberikan kita bahan untuk berspekulasi dan berdebat tentang siapa sosok Ratu Adil itu. Kita suka mencari-cari tanda-tanda dan petunjuk yang bisa mengarahkan kita ke calon-calon Ratu Adil. Kita suka membanding-bandingkan karakteristik dan prestasi para calon presiden dengan ramalan Jayabaya. Kita suka berdebat dengan orang lain yang memiliki pandangan berbeda dengan kita. Kita suka merasa pintar dan benar dengan mengandalkan ramalan Jayabaya sebagai sumber referensi.
Kita suka mengkritik dan menyalahkan. Ramalan Jayabaya memberikan kita alasan untuk mengkritik dan menyalahkan para pemimpin yang sudah ada atau yang akan datang. Kita suka mencari-cari kesalahan dan kekurangan mereka dengan membandingkannya dengan standar Ratu Adil. Kita suka menyalahkan mereka atas segala kesulitan dan krisis yang kita alami. Kita suka merasa diri kita lebih baik dan lebih layak daripada mereka. Kita suka mengabaikan fakta-fakta dan data-data yang bisa membantah klaim-klaim kita.
Atau, bahkan kita sebenarnya tidak peduli dengan ramalan Jayabaya itu sendiri, melainkan hanya menggunakan ramalan itu sebagai alat untuk memuaskan ego dan emosi kita. Kita tidak peduli dengan makna dan pesan yang terkandung dalam ramalan itu, melainkan hanya peduli dengan interpretasi dan implikasi yang sesuai dengan kepentingan dan keinginan kita.
Padahal, seharusnya kita sadar bahwa ramalan Jayabaya bukanlah kitab suci yang harus diikuti secara buta, melainkan hanya sebuah karya sastra yang harus dipahami secara bijak. Ramalan Jayabaya bukanlah sebuah nubuat yang harus dipercaya secara mutlak, melainkan hanya sebuah prediksi yang harus dikritisi secara rasional. Ramalan Jayabaya bukanlah sebuah doktrin yang harus ditaati secara kaku, melainkan hanya sebuah inspirasi yang harus diapresiasi secara kreatif.
Jadi, mari kita berhenti membahas ramalan Jayabaya setiap menjelang pilpres. Mari kita berhenti menggantungkan harapan kita pada sosok Ratu Adil yang mungkin tidak pernah ada. Mari kita berhenti berspekulasi, berdebat, mengkritik, dan menyalahkan orang lain atas nasib kita. Mari kita mulai berpikir dan bertindak secara realistis dan konstruktif untuk memilih pemimpin yang terbaik bagi kita. Mari kita mulai berkontribusi dan bertanggung jawab untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi kita.