Citra Pemimpin dalam Teks-Teks Klasik

Tjahjono Widarmanto
7 Min Read
Ilustrasi foto: Patung Abraham Lincoln
Ilustrasi foto: Patung Abraham Lincoln

jfID – Tersebutlah, seorang yang bernama Kleistenes hendak mengubah sistem pemerintahan kota Anthena. Sebuah majelis pun dibentuk secara terbuka, lahirlah demokratia. Peristiwa ini terjadi pada 508 SM. Semenjak itulah rakyat, individu-individu dalam masyarakat dapat terlibat dan ikut bagian dalam memilih pemimpinnya sesuai dengan citranya, bahkan dapat pula menawarkan dirinya untuk dipilih menjadi pemimpin. Sejak saat itulah demokrasi menjadi pintu yang terkuak lebar bagi setiap individu dalam masyarakat untuk menentukan pilihannya.

Dalam putaran sejarah berikutnya, demokrasi menjadi sebuah harapan untuk menemukan dan menentukan pemimpin. Demokrasi menjadi sebuah pesta bahkan pasar untuk menawarkan jago-jago yang diharapkan dapat menjadi pemimpin yang memenuhi harapan yang lebih cemerlang di masa depan. Demokrasi adalah ruang pasar atau etalase yang menawarkan komoditas “dagangan pemimpin” yang dilemparkan kepada konsumennya yaitu masyarakat. Apa boleh buat, yang namanya pasar selalu menyediakan komoditas yang pada ujungnya tidak selalu bisa memuaskan hasrat konsumennya. Demikian juga komoditas pemimpin dalam pasar demokrasi, pada akhirnya belum tentu tuntas memenuhi hasrat masyarakat, namun paling tidak demokrasi telah menyediakan ruang untuk memenuhi obsesi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya.

Obsesi, harapan, citra pemimpin telah menjadi hasrat perenungan sejak berabad-abad lampau ketika manusia berkenalan dengan kekuasaan. Obsesi untuk menjadi dan menentukan pemimpin menjadi obsesi kultural dan obsesi kolektif yang mendorong direnungkannya kriteria-kriteria yang ideal pada sosok pemimpin dan kepemimpinannya. 

Teks-teks sastra (bahkan teks yang lain!) selalu hadir dengan penawaran-penawaran pemikiran, itu berarti selalu menawarkan dunia yang ideal. Maka tak heran kalau teks-teks itu selalu mengimpikan citraan yang indah, kondisi sosial yang ideal dan individu-individu yang ideal. Wolfgang Iser menyebutnya ebagai teks yang mampu menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan apa yang tidak terpentaskan bahkan menghadirkan permasalahan yang tak bisa dituntaskan dalam realitas keseharian.

Obsesi tentang pemimpin dan kepemimpinan pun menjadi inspirasi berbagai teks, utamanya teks-teks sastra. Garry Yukl mendefinisikan kepemimpinan sebagai perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok menuju share goal atau satu tujuan, yang hendak dicapai bersama (Hemhill, 1957). Senada dengan pendapat itu, Rauch dan Behling (1984) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi untuk pencapaian tujuan. Kedua pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa pemimpin dan cara memimpin (kepemimpinan) merupakan satu kesatuan.

Teks-teks di berbagai belahan dunia dan berbagai zaman telah memimpikan citra pemimpin dan kepemimpinan yang ideal. Teks Ramayana dari India yang dianggap sebagai salah satu teks epos dunia, dalam salah satu episodenya yaitu Arranya Kanda, yang kemudian disalin dan diadaptasi  dalam bahasa Jawa dalam Kakawin Ramayana, memaparkan delapan sifat ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Delapan sifat ideal itu disebut sebagai Hasta Brata atau delapan laku pemimpin. Dalam teks India lainnya, yaitu Mahabarata, dalam satu episodenya yaitu Bhisma Parwa, terdapat nasihat Bhisma kepada Yudhistira tentang tugas-tugas seorang pemimpin dan bagaimana seorang pemimpin dalam menjalankan amanat kekuasaannya.

Di Jawa dan Bali banyak teks-teks yang juga merindu pemimpin dan kepemimpinannya. Kakawin Gajah Mada dengan bertumpu pada sosok Gajah Mada, Mahapatih Majapahit termasyhur, digambarkan sepuluh ajaran dan sikap pemimpin. Di era kapujanggaan, citra dan gagasan pemimpin menjadi tema sentral dalam teks-teks Jawa, di antaranya Serat Rama (ditulis oleh R.Ng. Jasadipoera), Serat Praniti Praja, Serat Wulangreh  (Paku Buwana IV), Serat Wedhatama (Mangku Negara IV), Serat Laksita Raja (Mangkunegara VII), dan sebagainya. Bahkan sebelumnya, di peradaban Jawa Kuno ditemukan teks Tantri Kamandaka yang sudah menyebutkan cita pemimpin.

Teks Melayu Lama juga menghadirkan citra pemimpin dan gagasan kepemimpinan. Taj us-Salatin (Mahkota Raja-Raja) sebuah mahakarya yang dikarang oleh Bukhari al-Jauhari (1630) merupakan sebuah kitab rujukan dalam memimpin. Dalam teks tersebut diuraikan berbagai sifat pemimpin yang baik yang sanggup membedakan yang baik dan yang buruk, berilmu, mampu memilih bawahan yang benar, berbudi pekerti baik, berani, tidak berfoya-foya dan lurus.

Di belahan dunia yang lain, di Eropa, pada tahun 1513 muncullah sebuah teks berjudul II Principe yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli. Teks ini menjadi menjadi sebuah rujukan yang realistis bagi seorang penguasa dan pemimpin. Teks ini berisikan semacam nasihat bagi seorang pemimpin untuk melanggengkan kekuasaan dia harus berani dan tega melibas lawan-lawan politiknya, melipat saingan-saingan politiknya, bahkan harus berani menjadi seorang tiran. Untuk mempertahankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus dapat melakukan cara apapun untuk meraih kekuasaan (the end justify the means). Bagi Machiavelli, seorang pemimpin harus memiliki dua sifat yaitu sifat manusia dan sifat binatang.

    Lalu bagaimanakah impian-impian teks itu dalam dunia nyata?

Demokrasi adalah pasar. Pasar tak selamanya bisa memuaskan birahi para konsumennya. Risiko demokrasi adalah memberi fatamorgana yang bisa saja berhenti sebatas ilusi. Demokrasi berisiko mengelabui individu-individu masyarakat yang terjebak pada kecanggihan strategi public relation  melalui mesin kampanyenya. Jadilah impian-impian itu, obsesi-obsesi tentang pemimpin menjadi impian yang menguap yang bisa melahirkan kekecewaan belaka.

Kekecewaan-kekecewaan itu sebenarnya juga sudah diisyaratkan dalam teks-teks. Dalam The Leader (Sang.Pemimpin) karya Ionesco digambarkan sebuah masyarakat yang bertahun-tahun mengimpikan dan menantikan pemimpinnya yang konon agung, adil, gagah, dan tampan; ternyata yang muncul adalah sosok pemimpin yang tak berkepala! Lebih sarkasme dari Ionesco, di tahun 1945 George Orwell melalui novel alegorinya Animal Farms (Negeri Para Binatang) menunjukkan bahwa dalam realitanya sosok pemimpin yang ternyata jauh dari ideal penuh carut marut nafsu untuk korup dan menginjak.

Apapun yang tergambar dalam teks-teks yang berkait dengan obsesi mencari pemimpin, baik yang merindu maupun yang mencaci, mengajarkan kita untuk menyiapkan diri untuk bahagia dan kecewa. Dengan kata lain, melalui teks-teks itu kita diingatkan untuk tidak terlampau tersihir dan larut. Kita diperingatkan untuk tidak terlalu menaruh harapan yang berlebihan pada sosok dan citra pemimpin yang ditawar-tawarkan, aja nggumunan dan aja kagetan, sehingga jika nantinya pemimpin yang muncul tak seideal yang diinginkan kita tak terkubur dalam frustasi yang berkepanjangan.****

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article