Kuntowijoyo dalam Madura 1850-1940

Margo Teguh Sampurno
6 Min Read
madura 1850-1940
madura 1850-1940

jfid – Tren khusus dalam perspektif penulisan sejarah Indonesia mendapat momentum baru sejak kemerdekaan 1945 yang mulai menarasikan sejarah kritis dengan mengadopsi metode penelitian sejarah yang ketat dan luasnya pendekatan yang dipakai.

Sebagaimana Kuntowijoyo dalam karya disertasi Doctor of Philosophic (Ph.D) di Columbia University tahun 1980 mengangkat tema sejarah masyarakat tentang Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura tahun 1850-1940. Penetapan tanggal 1850 diungkapkan Kuntowijoyo dalam pendahuluan karya disertasinya tersebut, menjadi sebuah batas dasawarsa penguasa-penguasa pribumi untuk kemudian terpaksa menyerah kepada kolonial Belanda. Dan tahun 1940 menjadi batas akhir peranan Belanda sebelum pendudukan Jepang di Asia Tenggara.

Kajian penelitian sejarah yang ditulis Kuntowijoyo tersebut juga dapat dikelompokkan sebagai salah satu peletak dasar kajian sejarah sosial tentang masyarakat yang ditulis sebagai kesatuan yang kompleks. Setelah sebelumnya sang Maestro Guru Besar Sejarah Indonesia Prof. Sartono Kartodirjo menulis karya disertasi monumentalnya di University of Amsterdam pada tahun 1966 dengan kajian awal gerakan sosial di Indonesia berjudul “The Peasant Revolt of Banten 1888, It’s Condition, Course, and Sequel: A Case Study of Social Movement in Indonesia yang kemudian karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pemberontakan Petani Banten 1888”. Sartono mulai memperkenalkan pandangan historiografi (penulisan sejarah) baru yang kemudian disebut sebagai pendekatan multidimensional (Multidimentional Approach) yang melibatkan ilmu sosial lain seperti teori sosiologi dan antropologi dalam pengembangan narasi sebuah sejarah.

Tinjauan utama Kuntowijoyo dalam disertasinya tersebut dijelaskan bahwa “ekologi wilayah Madura menentukan perjalanan sejarah Madura”. Kuntowijoyo meninjau tentang konsep ekologi yang khas di Madura yakni tegalan yang kemudian membentuk pola pemukiman penduduk Madura. Kuntowijoyo membandingkan ekologi tegalan (Madura), ekologi sawah (Jawa), dan ekologi ladang (luar Jawa) untuk membuat kajian komparatif dan mengkhususkan bahwa konsep ekologi tegal yang kemudian berwujud menjadi pola pemukiman hingga pada akhirnya membentuk suatu organisasi sosial. Karakteristik konsep ekologi tegalan yang identik dengan curah hujan kurang, tidak adanya sungai, dan tanahnya bersifat karst (tanah kapur).

Kuntowijoyo juga menjelaskan Madura secara historis dengan pendekatan multidimensi dalam ranah geografis tentang pola migrasi penduduk Madura. Hal ini berawal dari ekologi tegal yang pada dasarnya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup penduduk Madura karena kondisi tanah yang gersang dan rendahnya curah hujan tahunan, sehingga gejala migrasi ke luar pulau Madura merupakan sebuah gejala yang permanen. Tentu sangat menarik bagaimana Kuntowijoyo melihat aktivitas migrasi/merantau bagi masyarakat Madura ditinjau secara spesifik oleh Kuntowijoyo dalam narasi sejarah yang sangat meluas dengan melibatkan kajian ilmu geografi dan ekologi wilayah.

Pola evolutif dalam perkembangan peranan kyai Madura menjelang abad ke-20 ditulis pula oleh Kuntowijoyo dengan pendekatan teleologis (gejala sesuatu yang bergerak pada satu tujuan). Perkembangan pola tersebut dikaji bahwa peranan kyai pada masa kerajaan tradisional bersifat pemimpin ritual keagamaan, kemudian berlanjut pada masa kolonial yang menjadikan kyai tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, tetapi memiliki peran penting sebagai pemimpin masyarakat. Hingga kemudian pasca kemerdekaan, pengaruh peranan kyai yang memiliki otoritas ritual keagamaan dan pemimpin masyarakat, berkembang menjadi pemimpin politik yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan. Konsep tersebut pada akhirnya mendapat terminologi baru tentang “kyai-politisi”.

Fenomena kyai-politisi tersebut ditinjau Kuntowijoyo dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dari Masyumi pada tahun 1952, yang menjadikan berakhirnya masa belajar para kyai bermasyarakat untuk kemudian membentuk partai sendiri yakni partai NU. Berlanjut pada masa Orde Baru dengan adanya kebijakan penggabungan (fusi) partai-partai politik, mengharuskan NU bergabung bersama partai politik Islam lainnya seperti, Parmusi, PSII, dan Perti yang kemudian melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Terselenggaranya Muktamar Situbondo pada 1985, memutuskan NU kembali kepada khittah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam. Hal tersebut ditandai dengan NU melepas keterkaitan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Peranan kyai selanjutnya tergantung pada massa secara individual.

Rendahnya dunia simbolik di Madura sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo dalam disertasinya tersebut, terlihat dari tidak hadirnya gerakan millenarisme dan gerakan eskatologis lainnya, seperti yang terjadi di Jawa dengan Pemberontakan Petani Banten 1888 oleh Prof. Sartono banyak terinspirasi akan kedatangan Ratu Adil atau Mahdi dengan peranan kyai dan tarekat sufinya sebagai wadah perlawanan terhadap penindasan kebijakan kolonial Belanda. Madura lebih mengadopsi kehidupan sosial yang utility dan moralistik. Sehingga jelas pula topik utama Kuntowijoyo dalam karya disertasinya tersebut meninjau bahwasanya ekologi wilayah Madura turut menentukan jalannya sejarah Madura.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article