Sandhyakalaning Politik

Tjahjono Widarmanto
3 Min Read
sumber ilustrasi: geotime.co.id
sumber ilustrasi: geotime.co.id

jfId – Sebermula, politik diyakini sebagai proses bersama untuk mengatur hubungan-hubungan kekuasaan yang bisa membentuk komunikasi. Keyakinan sebagai proses bersama itulah yang menjadikan politik mempunyai aturan main yang harus disepakati bersama. “Proses bersama” tersebut tanpa adanya aturan main akan menjadi mustahil untuk terbentuk. Setelah ‘proses bersama’ itu lancar karena aturan main tersebut, maka barulah upaya mengatur hubungan-hubungan kekuasaan yang bisa membentuk komunikasi tersebut dimungkinkan. Membentuk komunikasi antar hubungan-hubungan kuasa tersebut menjadi puncak pencapaian politik. Upaya membentuk komunikasi itu jelas menunjukkan hubngan kesetaraan antara mereka yang terlibat dalam proses tersebut. Sehingga sebenarnya politik adalah menjalankan pemahaman, kesetaraaan, komunikasi untuk mengatur relasi-relasi kuasa, bukan untuk saling menguasai satu atas yang lain.

    Perkembangan berikutnya menunjukkan fenomena yang memilukan. Politik cenderung direduksi sekedar untuk memenuhi hasrat kuasa. Hasrat kuasa itulah yang menghilangkan kesetaraan sekaligus komunikasi yang menjadi tujuan politik. Politik menjadi sekedar instrumen untuk menguasai, bukan untuk menjalin relasi yang sehat antar aspek-aspek kekuasaan di dalamnya. Partisipan politik menjadi individu-individu yang hanya berorientasi menjadi penguasa bukan menjalankan komunikasi yang harmoni.

    Hasrat menguasai tersebut menjadikan politik bukan lagi sebagai jalan untuk memimpin dalam mencapai tujuan bersama, namun menjadi piranti untuk menaklukkan, menguasai, menghegomoni dan mensubordinasi. Alhasil, politik menjadi piranti untuk membungkam, mematikan dan meniadakan ‘suara lain’. Politik menjadi sekedar intrik bahkan hantam-menghantam. Politik kehilangan “ruh komunikasinya’.

    Situasi semacam itu sebenarnya merupakan sandyakalaning politik. Dengan kata lain politik sedang berjalan menuju kematiannya. Politik sedang menggali kuburannya sendiri. Kematian itu pelan-pelan mendekat karena tidak ada lagi kepercayaan masyarakat pada politik. Partai-partai yang menjadi hamba dari hasrat kuasa akan loyo dan hanya dianggap dagelan semata oleh masyrakat sehingga akan menuai cibiran bukan apresiasi.

    Kemerosotan nilai-nilai politik memungkinkan peluang uang untuk menjadi senjata paling handal sekaligus memegang pengaruh mutlak dalam konstelasi kekuasaan. Tidaklah mengherankan jika akhirnya money politic menjadi arasemen paling nyaring dalam kontelasi kuasa. Pada akhirnya politik memandang yang berseberangan, yang berbeda, yang mempunyai pandangan lain, yang liyan, sebagai lawan yang harus diberangus. Jadilah politik sebagai alat tiran!

    Akhirnyalah, politik menjadi alat untuk mengikis humanitas. Argumen-argumen politik yang seharusnya menyuarakan hati nurani, mencerminkan jiwa yang sehat (passion), menjadi ambisi-ambisi dangkal yang penuh kepentingan sesaat yang hanya mengarah pada kepentingan diri dan golongannya. Politik mematikan ‘komunikasinya’ sendiri.

    Kemerosotan-kemerosotan dan pendangkalan-pendangkalan seperti terurai di atas menunjukkan jalan kematian politik itu sendiri. Itulah sandyakalaning politik!

 Politik sedang bergegas menuju ke pemakamannya sendiri karena semua telah apatis terhadap politik. Manusia dan masyarakat akan melambaikan tangan tanpa berduka karena merasa lebih tentram tanpa politik sehingga kematiannya tak akan ada yang menangisinya!

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article