Politik Rantai Emas

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)

jfId – Dalam kebudayaan Jawa tradisional waktu tak dipahami secara linear dan progresif, tapi sirkular dan repetitif (Berlalu di Zaman [yang Tak Benar-Benar] Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Salah satu parabel tentang waktu yang sirkular dan repetitif ini adalah roman tentang Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji. Semasa saya masih kanak sering diperdengarkan berbagai dongeng yang di akhir cerita selalu saja adalah kisah asmara antara Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji: Ande-Ande Lumut atau Klenthing Kuning, Jaka Kendhil, dan kisah di balik seni reyog Ponorogo versi Bantarangin yang merupakan lambang pernikahan antara Prabu Klana Sewandana (Bantarangin) dan Dewi Sanggalangit (Kediri). Belum lagi berbagai varian cerita yang melahirkan seni tari topeng Malangan dan Cirebonan dimana kesemuannya, ketika terkait dengan asmara, secara struktural selalu mengacu pada kisah babon Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji.

Secara historis-politis, ada pendapat yang menyatakan bahwa semua kisah di atas berkaitan dengan kisah penyatuan kerajaan Jenggala dan Kediri yang merupakan warisan Prabu Airlangga di Kahuripan. Tapi boleh jadi, kisah asmara antara Raden Panji Inukertapati dan Galuh Sekartaji hanyalah sebuah tilaran dari kisah penyatuan antara Rakai Pikatan yang Hindu (wangsa Sanjaya) dan Pramowardhani putri Samaratungga yang Buddha (wangsa Sailendra) pada masa kerajaan Mataram purba. Ki Martopangrawit (1975), seorang empu karawitan di Surakarta, pernah berpendapat bahwa tangga nada slendro merupakan warisan dari wangsa Sanjaya, sementara tangga nada pelog merupakan warisan wangsa Sailendra. Dalam romannya Arok-Dedes (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com), Pramoedya Ananta Toer pernah mencatat bahwa kesenian reyog Ponorogo, di lihat dari segi musikalitasnya, merupakan perpaduan antara dua tangga nada tersebut, instrumen slompret yang melog dan instrumen lainnya yang nylendro. Dengan demikian, kesenian reyog Ponorogo, secara historis-politis, juga merupakan lambang penyatuan (baca: pernikahan) antara wangsa Sanjaya dan wangsa Sailendra di masa Mataram purba.

Saya kira kisah-kisah roman semacam itu tak sekedar kisah biasa yang berkaitan dengan perdamaian atau penyatuan dua unsur yang semulanya bertentangan. Kisah-kisah itu hanyalah sebuah pasemon tentang pendekatan politik Jawa tradisional, dimana pada masa Panembahan Senapati, raja pertama Mataram Islam, dikenal sebagai politik “rante emas” (rantai emas). Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Pambayun merupakan kisah dari politik rantai emas ini yang untuk selanjutnya juga diambil oleh Pangeran Mangkubumi (HB I) dalam usahanya untuk menakhlukkan Pangeran Sambernyawa—meskipun pada akhirnya pendiri Pura Mangkunegaran itu mengembalikan putri HB I dan melanjutkan pemberontakannya. Dalam khasanah budaya Jawa pedesaan, yang barangkali terbit dari pihak yang tak menyukai pendekatan politik rantai emas, dikenal istilah “tundhuk turuk” yang merujuk pada pudarnya mental revolusioner sang pemimpin pemberontakan karena diberi wanita, dimana istilah “turuk” mengacu pada alat vitalnya.

Tentu, kisah penyatuan ataupun perdamaian dengan lambang pernikahan antara pria dan wanita tak semata kisah yang berkonotasi negatif. Seperti yang tampak pada kisah Rakai Pikatan dan Pramodawardhani yang pada akhirnya dapat menguntai kebhinekaan, mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda menjadi satu kekuatan kreatif baru. Dalam konteks Mataram purba adalah agama dan kebudayaan Hindu dan Buddha.

Tapi tak pula politik rantai emas itu menyelesaikan persoalan. Ketika atas nama perdamaian, keadilan dan kesetaraan masih dikangkangi, maka hal itu hanyalah perdamaian semu (Sepatu, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com) yang menyisakan bara di dada Pangeran Sambernyawa yang telah kehilangan ayah karena difitnah. Ia pun memilih untuk tak “tundhuk turuk” dan terus memberontak sampai mendapatkan keadilan dan kesetaraan dengan mendapatkan Pura Mangkunegaran dan kedudukan seorang Adipati. Ketika keadilan dan kesetaraan itu ada, maka barulah perdamaian dan kebersamaan dapat diwujudkan.  

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article