Politik Masokisme

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)
"Semar Tan Semar," 60x100 cm, kapur di atas papan (Heru Harjo Hutomo, 2020)

jfid – Dalam kesusastraan terdapat dua sastrawan kontroversial yang akhirnya menjadi nama dari kecenderungan aktivitas seksual yang menyimpang: sadisme dan masokisme—atau biasa disingkat S/M. Sadisme berasal dari kecenderungan, baik pribadi maupun kekaryaan, Marquis de Sade. Sedangkan masokisme berasal dari Leopold von Sacher-Masoch.

Sadisme hidup dalam kecenderungannya untuk mendominasi dan menyiksa—baik secara fisik maupun psikis—pasangannya dan akan mengalami kepuasan ketika pasangannya teraniaya. Adapun masokisme justru hidup dalam kecintaannya pada penganiayaan dan penderitaan yang dilakukan oleh pasangannya.

Di hari ini, saya kira, setidaknya ada dua kecenderungan penyimpangan seksual tersebut dalam ranah politik dan kehidupan sehari-hari. Seorang sadis akan dibentuk sedemikian rupa untuk berperilaku kasar dan cenderung untuk mendominasi orang lainnya dalam pergaulan. Pada dirinya akan selalu ditanamkan bahwa cara menyanyangi dan mencintai adalah dengan cara menyiksa sedemikian rupa orang lainnya, baik fisik maupun psikis. Hobi untuk mem-bully dan melontarkan ujaran kebencian, membenamkan dengan cara memakan, “masturbasif” atau mau menang sendiri, adalah termasuk dalam penyimpangan sosial semacam ini. Sedangkan seorang masokis justru dibentuk sebaliknya, pada dirinya akan senantiasa ditanamkan bahwa semua perlakuan sadistis yang secara nalar sangat tak masuk akal adalah sebentuk pembelaan, pertolongan, sayang dan cinta, yang pada akhirnya akan menguntungkannya.

Bukankah dalam kehidupan sehari-hari banyak dijumpai doktrin untuk diam ketika dihina, dicacimaki, dianiaya, dibunuh karakternya, dengan alasan untuk membesarkan seseorang atau sesuatu—atau dengan kata lain untuk mempopulerkannya? Saya menamakan indoktrinasi rasa sayang yang diungkapkan dengan cara menyiksa seperti ini, baik fisik maupun psikis, sebagai pendekatan “wis wani wirang”—laiknya kepribadian yang ditunjukkan oleh para pengkhianat. Sedangkan indoktrinasi rasa cinta dapat disebut sebagai pendekatan para pelacur yang seperti halnya kertas putih terkait keikhlasannya untuk dizinai.

Bukankah banyak para kandidat pemimpin selama ini—atau orang-orang yang diharapkan—yang dibesarkan dengan dua pendekatan semacam itu dan mereka dikomando untuk diam saja, tanpa berbuat apa-apa, agar menumbuhkan rasa iba dan simpati, agar besar? Padahal, ibarat sebuah warung yang dipopulerkan dengan jalan sayang dan cinta di atas, justru menjadi tak laku karena orang sudah muak dan risih untuk membeli karena setiap hari dijejali dengan segala hal yang telah melampaui batas normal. Seandainya pun laku—atau pada konteks pemimpin sukses untuk terpilih—para pembeli tersebut akan seenaknya memperlakukan warung dan penjualnya (seolah mereka benar-benar tak memiliki harga diri). Dan demikianlah rasa sayang dan cinta dalam kehidupan politik dan sosial di hari ini: semakin sabar difitnah dan dicacimaki, maka akan semakin besar pula ia hingga suatu saat ketika disadari semuanya sudah terlambat.

Sangat tampak bahwa pembentukan jiwa-jiwa masokistis seperti menjadi kiat sukses orang-orang yang katanya hidup di zaman milenial ini. Alasan yang disodorkan selalu tak dapat diterima oleh nalar: agar banyak orang iba dan bersimpati yang pada akhirnya akan serta-merta menolongnya secara gratisan dengan cara mengejek dan menginjak harga diri.

Setahu saya, kanjeng nabi Muhammad hidup dengan meninggalkan ajaran dan nilai-nilai yang sarat dengan pembelaan diri (Muhammad, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Ia bukanlah seorang yang manja. Ia sadar akan diri dan lingkungan yang dihidupinya. Ia menikah dengan seorang janda. Ia blusukan ke pasar-pasar. Ia juga berperang. Dan saya kira itu semua berkat keyakinannya bahwa segala hal yang ada pada dirinya adalah tak semata anugerah, tapi juga amanah yang akan berdosa ketika ia tak dapat menjaganya (Akumu Jejermu: Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Dengan demikian, Nabi Muhammad bukanlah sesosok yang sadistis sekaligus masokis. Ia tak pernah menginjak martabat orang lainnya dan tak pula diam ketika martabatnya diinjak-injak.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)    

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article