Politik Keseharian

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Sangkan," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Sangkan," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

Beating me down

Beating me, beating me

Down, down

Into the ground

Screaming so sound

Beating me, beating me

Down, down

Into the ground

Falling Away, Korn

jfid – Tak kurang dari 25 hari lagi beberapa daerah akan menggelar pilkada serentak. Sangat menggelitik ketika mengikuti dinamika politik di zaman populisme semacam ini dimana politik telah menjadi peristiwa keseharian. Banyak orang sesungguhnya, secara diam-diam, begitu terlibat dalam politik yang telah menjadi peristiwa keseharian tersebut. Kita hanya mengikuti apa yang menjadi perbincangan di masyarakat dengan segala variannya, yang sesungguhnya sudah terpola dan dengan plot yang begitu-begitu saja, begitu hari yang ditentukan tiba semuanya akan seperti Sidharta yang memperoleh pepadhang (Nasib Akal Sehat di Tengah Kebudayaan Klambrangan, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Tak banyak memang analis politik yang menitikberatkan analisisnya pada diskursus. Satu hal yang pasti, di masa sekarang bukanlah kenyataan yang membentuk diskursus, tapi adalah sebaliknya, diskursuslah yang membentuk kenyataan. Dalam kategori Marxian kuno, diskursus tersebut masuk pada wilayah suprastruktur yang dahulu diyakini merupakan cerminan dari infrastruktur.

Saya tak dapat membayangkan bagaimana ekspresi Karl Marx seumpamanya ia masih hidup di hari ini. Barangkali, ia akan bingung—atau bahkan wirang—ketika perspektifnya, di tangan para pengikut setianya, terbukti beberapa kali gagal dalam membaca sasmita zaman. Ia pun, barangkali, tak pernah membayangkan seandainya populisme yang menjadi salah satu agendanya justru menjadikannya ora kanggo, laiknya tangga dimana ketika semua penginjaknya telah sampai di atas, ia akan ditaruh dipojokan ruangan dan dilupakan—atau sekedar diingat dengan cara diejek. Sebab, populisme kontemporer ternyata tak butuh tangga untuk turun, ia lebih menyukai untuk terjun bebas—sebentuk kemuraman keras khas politik masokisme dimana denyut kehidupannya terletak pada kejatuhan, keterbuangan dan makian (Melankolia dan Patologi Sosial, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Dalam menghadapi politik keseharian semacam itu, bagi yang tak ingin terjebak keadaan, saya kira orang perlu bertanya pada dirinya sendiri: siapakah dan dalam rangka apakah aku ini? Memang cukup berserak ekspresi-ekspresi keseharian yang seolah-olah hanyalah ekspresi biasa. Taruhlah seumpamanya komentar “melarat,” “tak punya duit,” “penakut,” dst. Padahal, dapat pula ekspresi-ekspresi semacam itu dibaca dalam kaitannya dengan kandidat pemimpin tertentu yang mereka harapkan atau justru tak diharapkan. Orang berpikir ekspresi-ekspresi itu mengenai orang per orang di antaranya sesamanya sampai hari yang telah ditentukan tiba menyadarkannya bahwa ternyata orang-orang di antara sesamanya adalah semacam subyek yang tak hadir—atau dalam bahasa kasarnya: samsak yang dhedhel duel dan tak mendapatkan keuntungan apapun begitu sang pemimpin terpilih mencul. Maka idealnya, seharusnya para kandidat pemimpin, atau pihak-pihak yang berkompeten, mesti responsif agar tak terjadi kegaduhan yang ujungnya, begitu perhelatan politik selesai digelar dan memunculkan pemimpin terpilih, tak menyisakan krisis kepercayaan dan keterputusan antara pemerintah dan rakyatnya dimana pemerintahan akan berjalan secara “masturbasif” (Massa yang Berjeda, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).         

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article