Pidato Megawati: Komunikasi Politik yang Gagap

Tjahjono Widarmanto
9 Min Read
Megawati Soekarnoputri, foto: CNN.com
Megawati Soekarnoputri, foto: CNN.com

jfId – Berpuluh tahun lampau, Bung karno berpidato untuk kaum muda,”Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia!”. Berpuluh tahun kemudian, di tahun 2020, putrinya, Megawati Soekarno Putri, dalam pidato politiknya bilang, “ Apa sumbangsihmu generasi milenial?”

Pidato Megawati tersebut jelas merupakan antitesis bahkan paradoksal dengan apa yang disampaikan bapaknya: Soekarno. Paradoksal karena bisa dilihat ada pertentangan yang cukup menunjukkan bertolakbelakangnya pandangan mereka tentang generasi muda.

Soekarno jelas memandang pemuda sebagai sumber kekuatan, daya hidup bagi tanah air dan bangsa. Kalimat beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia! Jelas menunjukkan bagaimana harapan positif sekaligus optimistis Bung Karno dalam menyikapi peran dan arti penting generasi muda. Lebih-lebih kalimat tersebut merupakan perbandingan dari kalimat sebelumnya: beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya!.

Perbandingan 1000 orang tua dan 10 pemuda berikut dampaknya. Yang 1000 akan mampu mencabut Semeru dari akarnya, sedang yang 10 akan mengguncang dunia jelas dan terang benderang betapa Soekarno melihat potensi generasi muda yang dahsyat.

Soekarno memang piawai dan lihai dalam komunikasi politik. Pun demikian dengan pidato di atas jelas menunjukkan kecemerlangan Bung Besar dalam membangun komunikasi politik dengan para pendukung. Pidato tersebut dibuat dalam situasi kontekstual keberadaan generasi muda yang jumlahnya besar namun secara intelektual jumlahnya terbatas karena kolonialisme. Namun, Bung Karno tahu besar, jumlah para pemuda yang besar akan menjadi nyala api yang berkobar. Lebih-lebih pemantiknya adalah golongan pemuda cendikia yang jumlahnya terbatas namun menjadi tenaga penggerak yang dahsyat. Akhirnya, sejarah Indonesia mencatat realitas sejarahnya, bahwa para pemudalah yang menjadi pelopor sekaligus penentu.

Bertolak belakang dengan bapaknya, Megawati Soekarno Putri gagal membangun komunikasi politik, atau tepatnya gagal dalam membangun komunikasi politik. Pidatonya yang mempertanyakan (dengan sinis): apa sumbangsihmu generasi milenial, jelas-jelas menunjukkan setidaknya tiga hal. Hal pertama, menunjukkan stigma yang negatif terhadap pemuda generasi milenial. Hal yang kedua menunjukkan ketakmampuannya dalam menguasai psikologi massa dan psikologi kepribadian generasi muda. Hal yang ketiga adalah pernyataan Megawati tersebut menunjukkan keterputusan atau bahkan ketidakpahaman terhadap pencapaian generasi milenial yang memang memiliki wujud berbeda dengan generasi tuanya.

Pidato Megawati di atas menunjukkan kegagapan dalam menjalin komunikasi poitiknya, baik sebagai pimpinan tertinggi partai maupun sebagai negarawan. Sebagai pimpinan tertinggi sebuah partai besar, pernyataan ini merupakan blunder yang bisa membuat para generasi milenial menyisih dari PDI Perjuangan. Gagal komunkasi politik dari sudut negarawan (karena Megawati pernah menjadi presiden RI), pernyataan tersebut jelas memggambarkan wawasan yang lemah dalam melihat relasi kebangsaan dan kepemudaan.

Dikait-kaitkannya peran milenial dengan keterlibatan unjuk rasa jelas menunjukkan kelemahan dalam berpikir strategi politik. Pidato politik tersebut memandang negatif terhadap aksi unjuk rasa, padahal semestinya Megawati tahu persis bahkan kebangkitan PDI Perjuangan tak bisa dilepaskan dari unjuk rasa seperti direkam sejarah dalam peristiwa Kudatuli, ataupun gerakan reformasi.

Kegagapan komunikasi politik Megawati dalam pidato ini makin terang benderang, ketika di akhir pernyataan tersebut juga muncul kalimat: ..Pak Jokowi jangan memanjakan generasi milenial. Kalimat di atas tak hanya gagap dalam komunikasi politik namun seolah membenturkan presiden dengan para milenialnya. Kalimat di atas juga sangat tidak bijak, mengait-ngaitkan presiden dengan pernyataan pribadi yang sangat tidak subjektif.

Boleh jadi komunikasi politik yang gagap dalam pidato Megawati tersebut akan menjauhkan PDI Perjuangan dari para milenial. Padahal para milenial inilah nanti di pemilu 2024 akan menjadi faktor penentu. Semoga saja tidak ada bedhol desa, berduyun-duyun milenial lari menghindar dari PDI Perjuangan.

Pidato Megawati: Komunikasi Politik yang Gagap

jfID – Berpuluh tahun lampau, Bung karno berpidato untuk kaum muda,”Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia!”. Berpuluh tahun kemudian, di tahun 2020, putrinya, Megawati Soekarno Putri, dalam pidato politiknya bilang, “ Apa sumbangsihmu generasi mileneal?”

Pidato Megawati tersebut jelas merupakan antitesis bahkan paradoksal dengan apa yang disampaikan bapaknya: Soekarno. Paradoksal karena bisa dilihat ada pertentangan yang cukup menunjukkan bertolakbelakangnya pandangan mereka tentang generasi muda.

Soekarno jelas memandang pemuda sebagai sumber kekuatan, daya hidup bagi tanah air dan bangsa. Kalimat beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncang dunia! Jelas menunjukkan bagaimana harapan positif sekaligus optimistis Bung Karno dalam menyikapi peran dan arti penting generasi muda. Lebih-lebih kalimat tersebut merupakan perbandingan dari kalimat sebelumnya: beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya!.

Perbandingan 1000 orang tua dan 10 pemuda berikut dampaknya. Yang 1000 akan mampu mencabut Semeru dari akarnya, sedang yang 10 akan mengguncang dunia jelas dan terang benderang betapa Soekarno melihat potensi generasi muda yang dahsyat.

Soekarno memang piawai dan lihai dalam komunikasi politik. Pun demikian dengan pidato di atas jelas menunjukkan kecemerlangan Bung Besar dalam membangun komunikasi politik dengan para pendukung. Pidato tersebut dibuat dalam situasi kontekstual keberadaan generasi muda yang jumlahnya besar namun secara intelektual jumlahnya terbatas karena kolonialisme. Namun, Bung Karno tahu besar, jumlah para pemuda yang besar akan menjadi nyala api yang berkobar. Lebih-lebih pemantiknya adalah golongan pemuda cendikia yang jumlahnya terbatas namun menjadi tenaga penggerak yang dahsyat. Akhirnya, sejarah Indonesia mencatat realitas sejarahnya, bahwa para pemudalah yang menjadi pelopor sekaligus penentu.

Bertolak belakang dengan bapaknya, Megawati Soekarno Putri gagal membangun komunikasi politik, atau tepatnya gagal dalam membangun komunikasi politik. Pidatonya yang mempertanyakan (dengan sinis): apa sumbangsihmu generasi milenial, jelas-jelas menunjukan setidaknya tiga hal. Hal pertama, menunjukkan stigma yang negatif terhadap pemuda generasi milenial. Hal yang kedua menunjukkan ketidakmampuannya dalam menguasai psikologi massa dan psikologi kepribadian generasi muda. Hal yang ketiga adalah pernyataan Megawati tersebut menunjukkan keterputusan atau bahkan ketidakpahaman terhadap pencapaian generasi milenial yang memang memiliki wujud berbeda dengan generasi tuanya.

Pidato Megawati di atas menunjukkan kegagapan dalam menjalin komunikasi poitiknya, baik sebagai pimpinan tertinggi partai maupun sebagai negarawan. Sebagai pimpinan tertinggi sebuah partai besar, pernyataan ini merupakan blunder yang bisa membuat para generasi milenial menyisih dari PDI Perjuangan. Gagal komunkasi politik dari sudut negarawan (karena Megawati pernah menjadi presiden RI), pernyataan tersebut jelas memggambarkan wawasan yang lemah dalam melihat relasi kebangsaan dan kepemudaan.

Dikait-kaitkannya peran mileneal dengan keterlibatan unjuk rasa jelas menunjukkan kelemahan dalam berpikir strategi politik. Pidato politik tersebut memandang negatif terhadap aksi unjuk rasa, padahal semestinya Megawati tahu persis bahkan kebangkitan PDI Perjuangan tak bisa dilepaskan dari unjuk rasa seperti direkam sejarah dalam peristiwa Kudatuli, ataupun gerakan reformasi.

Kegagapan komunikasi politik Megawati dalam pidato ini makin terang benderang, ketika di akhir pernyataan tersebut juga muncul kalimat: ..Pak Jokowi jangan memanjakan generasi milenial. Kalimat di atas tak hanya gagap dalam komunikasi politik namun seolah membenturkan presiden dengan para milenialnya. Kalimat di atas juga sangat tidak bijak, mengait-ngaitkan presiden dengan pernyataan pribadi yang sangat tidak subjektif.

Boleh jadi komunikasi politik yang gagap dalam pidato Megawati tersebut akan menjauhkan PDI Perjuangan dari para milenial. Padahal para milenial inilah nanti di pemilu 2024 akan menjadi faktor penentu. Semoga saja tidak ada bedhol desa, berduyun-duyun milenial lari menghindar dari PDI Perjuangan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article