Siapa Penemu Stockholm Syndrom?

ZAJ
By ZAJ - SEO Expert | AI Enthusiast
4 Min Read
Siapa Penemu Stockholm Syndrom?
Siapa Penemu Stockholm Syndrom?
- Advertisement -

jfidStockholm syndrome adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena psikologis yang dialami oleh sebagian korban penyanderaan, penculikan, atau pelecehan, yang membuat mereka merasa simpati, loyal, atau bahkan cinta kepada pelaku.

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa yang mencetuskan istilah ini? Dan apa manfaatnya bagi korban dan pelaku?

Istilah Stockholm syndrome pertama kali diperkenalkan oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog dan psikiater asal Swedia, yang diminta oleh polisi Stockholm untuk membantu menganalisis reaksi para korban perampokan bank yang terjadi pada tahun 1973 di Norrmalmstorg Square, Stockholm.

Dalam kasus ini, empat pegawai bank disandera selama enam hari oleh dua perampok bersenjata.

Ad imageAd image

Anehnya, para sandera tidak merasa takut atau benci kepada para perampok, melainkan malah membentuk ikatan emosional dengan mereka. Para sandera bahkan menolak bersaksi di pengadilan dan justru mengumpulkan dana bantuan hukum untuk membela para perampok.

Bejerot menyebut kondisi ini sebagai Norrmalmstorgssyndromet, yang kemudian dikenal di luar Swedia sebagai Stockholm syndrome. Menurut Bejerot, Stockholm syndrome adalah hasil dari pencucian otak yang dilakukan oleh para pelaku kepada para korban.

Namun, penjelasan ini tidak cukup memuaskan para psikolog, yang mencoba mencari faktor-faktor lain yang mendasari munculnya Stockholm syndrome.

Salah satu faktor yang dianggap berpengaruh adalah ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Dalam situasi penyanderaan, penculikan, atau pelecehan, para korban merasa tidak berdaya dan tergantung pada belas kasihan pelaku.

Untuk bertahan hidup, para korban mencoba menyesuaikan diri dengan perilaku dan tuntutan pelaku, bahkan mungkin meniru nilai-nilai atau keyakinan pelaku.

Hal ini membuat para korban merasa lebih dekat dengan pelaku dan menganggap mereka sebagai manusia, bukan sebagai ancaman.

Faktor lain yang berperan adalah durasi dan intensitas situasi yang dialami oleh para korban.

Semakin lama dan semakin intens situasi tersebut, semakin besar kemungkinan Stockholm syndrome terjadi. Selain itu, perilaku pelaku yang menunjukkan kebaikan atau kelonggaran kepada para korban juga dapat memicu Stockholm syndrome.

Para korban akan merasa berterima kasih atau berhutang budi kepada pelaku, dan mengabaikan perilaku buruk yang mungkin dilakukan pelaku sebelumnya.

Stockholm syndrome memiliki beberapa gejala yang dapat dikenali, seperti: mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku, menolak bekerja sama dengan pihak berwenang yang mencoba menyelamatkan, merasa negatif terhadap keluarga atau teman yang berusaha membantu, dan mengalami stres atau trauma pasca situasi.

Stockholm syndrome tidak memiliki pengobatan khusus, tetapi biasanya ditangani dengan psikoterapi dan obat-obatan.

Tujuan dari penanganan ini adalah untuk menyadarkan para korban bahwa perasaan mereka terhadap pelaku hanyalah mekanisme pertahanan diri yang tidak rasional.

Psikoterapi juga bertujuan untuk membantu para korban mengatasi pengalaman traumatis mereka dan mengembalikan kepercayaan diri dan kemandirian mereka.

Stockholm syndrome adalah kondisi yang jarang terjadi, tetapi sering menarik perhatian publik karena sifatnya yang paradoks.

Beberapa kasus terkenal yang diduga melibatkan Stockholm syndrome adalah penyerahan tawanan yang di sandera oleh Hamas, penculikan dan perekrutan Patty Hearst oleh kelompok gerilya Symbionese Liberation Army pada tahun 1974,

penculikan dan pemerkosaan Elizabeth Smart oleh Brian David Mitchell dan Wanda Barzee pada tahun 2002, dan penculikan dan penyiksaan Natascha Kampusch oleh Wolfgang Priklopil pada tahun 1998.

Stockholm syndrome menimbulkan pertanyaan-pertanyaan menarik tentang psikologi manusia, terutama tentang bagaimana cara manusia beradaptasi dengan situasi yang ekstrem dan bagaimana cara manusia membentuk hubungan dengan orang lain.

Meskipun demikian, Stockholm syndrome masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memahami penyebab, gejala, dan dampaknya secara lebih mendalam.

- Advertisement -
Share This Article