Politik Rendahan dan Lebaran di Pedesaan Jawa

Heru Harjo Hutomo
2 Min Read
"Goroh," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
"Goroh," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid – Barangkali, tak setiap orang berkesempatan menjadi tipikal santri nusantara dengan segala kebiasaannya. Namun, melalui Idul fitri, secara tanpa sadar, banyak orang mendadak menjadi santri.


Tak peduli seorang tambal ban yang pirang rambutnya atau bahkan seorang penjudi, pada waktu itu banyak lelaki dan perempuan di pedesaan Jawa tiba-tiba memakai songkok, sarung, kerudung atau jilbab, dan tampak penuh adab atau subasita: saling sapa, saling beruluk-salam, dan sungkeman.


Antifeodalisme yang telah salah-kaprah tampaknya menjadi sesuatu yang usang dan memuakkan pada hari-hari itu.
Momen lebaran di pedesaan Jawa sepertinya dapat menjawab seruan Islam yang kaffah sebagaimana yang dipropagandakan kalangan “Islam radikal” dan tuntutan keindonesiaan di atas lokalitas sebagaimana yang dibualkan pula oleh kalangan “nasionalis pandir.”


Tak ayal lagi, selama beberapa tahun terakhir ini kedua kecenderungan bermasyarakat itu seolah menyesaki keseharian hidup bangsa Indonesia. Dan momen lebaran, yang sebelumnya didahului oleh bulan Ramadan, seolah menjadi oase ditengah tarik-ulur politik rendahan yang kering dan mencekik.
Banyak orang seakan rindu akan suasana kepolosan,tanpa pamrih, seperti yang terasa di kala bulan Ramadan dan lebaran.


Lebaran di banyak pedesaan Jawa tentu saja adalah sebuah local genius yang merupakan perpaduan antara agama Islam dan budaya Jawa. Bukankah menurut Quraish Shihab Halal bi halal merupakan peristiwa yang khas nusantara yang konon orang Arab sendiri tak memahaminya?


Terang, dalam hal ini, ketika lebaran berlangsung sebagaimana yang terwariskan, ruang bagi adanya radikalitas dan radikalisasi keagamaan praktis tak ada. Tak peduli orang Ikhwanul Muslimin, Muhammadiyah ataupun Nahdliyin, selama mengikuti kebiasaan dan tradisi di pedesaan Jawa kesempatan untuk bermimpi tentang khilafah seolah lebur oleh canda-tawa sanak-saudara, kisah silam kawan-kawan lama, dan barangkali juga petasan yang dipertontonkan anak-anak.


Demikian pula dengan anggah-ungguh atau subasita seperti sungkeman dan kesadaran untuk meminta maaf yang tampak laiknya kebiasaan kaum feodal, pekik “egalitarianisme gincu” pun seolah lebur pula oleh pekik Allahu Akbar dan perasaan “kerdil” ketika berziarah di pekuburan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article