jfid – Ba Alawi, adalah sebuah klan yang konon merupakan keturunan Alawi bin Ubaidillah. Namun, menurut penulis, mereka menamakan diri mereka sebagai Ba Alawi tersebut hanya karena adanya term Ba Alawi yang terdapat dalam kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (w. 730 H), yaitu ketika menerangkan tentang seorang ahli hadits yang bernama Ali Abul hasan dari keluarga Ba Alawi yang tinggal di Hadramaut. Habib Ali Al-Sakran (w. 895 H), kemudian mengklaim keluarga dan leluhurnya sebagai bagian dari keluarga Ba Alawi tersebut.
Alawi, adalah sebuah klan yang konon merupakan keturunan Alawi bin Ubaidillah. Namun, menurut penulis, mereka menamakan diri mereka sebagai Ba Alawi tersebut hanya karena adanya term Ba Alawi yang terdapat dalam kitab Al-Suluk karya Al-Janadi (w. 730 H), yaitu ketika menerangkan tentang seorang ahli hadits yang bernama Ali Abul hasan dari keluarga Ba Alawi yang tinggal di Hadramaut. Habib Ali Al-Sakran (w. 895 H), kemudian mengklaim keluarga dan leluhurnya sebagai bagian dari keluarga Ba Alawi tersebut.
Hakikatnya, Ali Al-Sakran tidak mempunyai dalil yang mendukung klaimnya tersebut. Ia tidak mempunyai sumber, baik primer maupun sekunder, yang menyatakan bahwa Alwi adalah saudara seayah dari Jadid. Begitu pula dengan Bashri yang diklaim sebagai saudara lain dari Alwi. Tidak ada dalil apapun.
Bahkan, pondasi nasab Ba Alawi, baik Bani Bashri, Bani Jadid maupun Bani Alawi sangat rapuh. Sehingga kontruksi nasab keluarga ini, hari ini kita saksikan bagaikan bangunan yang menjulang tinggi namun asasnya keropos.
Perhatikan contoh silsilah Bani Bashri, ia rapuh, bahkan runtuh. Dalam kitab Al-Raudul Jali karya Imam Murtadlo Al-Zabidi (w. 1205 H)! Dikatakan dalam kitab itu, bahwa sebagian dari keturunan Bashri adalah Salim bin Bashri bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Dikatakan pula dalam kitab tersebut bahwa salim bin Bashri wafat tahun 604 H. bagaimana bisa masuk akal, Abdullah yang wafat tahun 383 H, setelah 221 tahun baru mempunyai cucu yang bernama Salim. (lihat Al-Raudul Jali h. 31). Atau bagaimana bisa seorang yang bernama Bashri yang wafat sekitar tahun 400 H, baru mempunyai anak bernama Salim setelah 170 tahun kemudian?
Pengarang kitab Syamsudzahirah (w. 1320 H), tidak membiarkan ke-tidakmasukakal-an ini lama terjadi, ia lalu mengulang nama Bashri dan Abdullah. Perhatikan silsilah Salim Bin Bashri sampai kepada Ahmad bin Isa dalam kitab Syamsudzahirah sebagai berikut: Salim bin Bashri bin Abdullah bin Bashri bin Abdullah/Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. (Syamsudzahirah h. 69). Dengan mengulang nama Bashri dan Abdullah, silsilah ini Nampak lebih masuk akal, walau masih berantakan.
Pola pengulangan nama ini terjadi, selain kepada keluarga Bashri, juga kepada keluarga Jadid dan Alwi. Tujuan pengulangan nama-nama ini, adalah sebagai syarat penyesuaian tahun yang telah tercatat dengan data nama yang diketahui berikutnya agar nampak selaras dan masuk akal.
Perhatikan silsilah nasab Bani Jadid! Silsilah keluarga ini adalah “silsilah mudhtaribah” (silsilah yang berubah-ubah). Dalam satu riwayat Jadid berayah Abdullah, namun dalam riwayat lain ia berayah Ahmad. Sebagaimana yang telah penulis tulis dalam tulisan berjudul “EMPAT NAMA NASAB BA ALAWI TERINDIKASI KUAT FIKTIF”.
Jumlah keluarga ini dari Abul Hasan Ali sampai Abdullah- pun berbeda-beda. Dalam satu manuskrip berjumlah Sembilan nama; dalam manukskrip lain lima nama; dalam kitab syamsudzahirah jumlahnya tujuh nama. (lihat hamisy Syamsudzahirah: 62). Terkadang nama jadid ditulis dua kali, terkadang pula satu kali. Dalam ilmu nasab, nasab mudhtaribah seperti ini merupakan indikasi kuat bahwa nasab itu palsu.
Dalam tulisan berikutnya, insya Allah, penulis akan bahas, bagaimana nasab Ba Alawi ini tidak masuk akal, dilihat dari tahun hijrahnya Ahmad bin Isa dikaitkan dengan Bani Ahdal dan Bani Qudaimi yang disebut hijrah bareng dengan Ahmad bin Isa.
Semakin penulis mendalami nasab Ba Alawi ini, maka semakin tampaklah kerancuan konstruksi nasab ini. Kini, bagi penulis, bab husnuzhon-pun rasanya tak laik untuk dapat diletakan kepada nasab Ba Alawi. Wallau A’lamu bi Haqiqatil hal.
Catatan Redaksi: Kajian di atas diambil dari situs RMI PWNU Banten dengan judul asli “Nasab Ba Alawi tidak masuk Akal” yang ditulis
KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani