jfid – Karina Dinda Lestari (KDL) adalah seorang dokter berprestasi yang tengah mengambil program spesialis bedah di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Ia juga merupakan istri dari Iptu Alvian Hidayat (AH), seorang polisi yang sedang menempuh pendidikan perwira di Jakarta.
Namun, karir dan reputasinya tercoreng akibat skandal perselingkuhan yang menyeret namanya bersama AW, seorang mahasiswa residen bedah di Unhas.
Skandal ini terbongkar ketika AH pulang ke kosan mereka di Makassar tanpa sepengetahuan KDL. Ia memergoki istrinya pulang bersama AW yang ternyata adalah selingkuhannya.
AH kemudian melihat ponsel KDL yang berisi foto-foto vulgar saat bersama AW. AH pun melaporkan KDL dan AW ke Propam Polda Sulsel atas dugaan perzinaan dengan nomor LP/B/912/X/2023/SPKT/POLDA.
Sejak saat itu, nama KDL menjadi viral di media sosial dan media online. Foto-foto syur KDL dan AW tersebar luas dan menjadi bahan perbincangan netizen. Banyak netizen yang menghujat dan menghakimi KDL sebagai istri yang tidak setia dan tidak tahu diri. Bahkan, ada yang mengancam akan membunuhnya jika bertemu.
Media online juga ikut memberitakan kasus ini dengan berbagai sudut pandang. Namun, sebagian besar media cenderung memojokkan KDL dan menggambarkannya sebagai pelaku utama perselingkuhan.
Judul-judul berita seperti “Foto Telanjang Tersebar, Akun Facebook Karina Dinda Digeruduk”, “Nama Baik Hancur karena Selingkuh, Karina Dinda Lestari yang Dikenal Berprestasi Kini Terancam DO”, atau “Viral! Skandal Perselingkuhan Dokter Berprestasi Karina Dinda Lestari dengan Seorang Mahasiswa” menunjukkan bagaimana media memfokuskan perhatian pada KDL dan mengabaikan peran AW dalam kasus ini.
Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, ada indikasi bahwa KDL bukanlah pelaku utama perselingkuhan, melainkan korban dari intimidasi dan manipulasi AW. Menurut pengakuan salah satu teman dekat KDL yang enggan disebutkan namanya, AW adalah seorang playboy yang sering menggoda wanita di kampusnya. Ia juga memiliki kebiasaan mengambil foto-foto vulgar wanita yang ia dekati tanpa sepengetahuan mereka.
Teman KDL tersebut juga menyebutkan bahwa AW pernah mengancam akan menyebarkan foto-foto syur KDL jika ia tidak mau menuruti kemauannya. Ia juga mengatakan bahwa KDL sudah berusaha untuk menjauhi AW, tetapi AW terus memaksa dan mengejar-ngejar KDL. Bahkan, pada hari ketika skandal ini terbongkar, AW sengaja mengantar KDL pulang ke kosannya dengan tujuan agar AH mengetahui perselingkuhan mereka dan menceraikan KDL.
Jika hal ini benar adanya, maka dapat dikatakan bahwa KDL adalah korban dari kekerasan psikologis yang dilakukan oleh AW.
Ia tidak berselingkuh karena keinginannya sendiri, melainkan karena dipaksa dan ditakuti oleh AW. Ia juga tidak tahu bahwa foto-foto vulgar itu ada di ponselnya, karena AW mengambilnya secara diam-diam.
Namun, sayangnya, media tidak banyak membahas aspek ini dalam pemberitaannya. Media lebih suka menyoroti sisi sensasional dari kasus ini, yaitu perselingkuhan istri polisi dengan mahasiswa kedokteran.
Media juga tidak banyak mengkritisi peran AW dalam kasus ini, padahal ia adalah pihak yang lebih bertanggung jawab dan berpotensi melanggar hukum.
Media seharusnya lebih berhati-hati dan berimbang dalam memberitakan kasus seperti ini. Media tidak boleh memojokkan salah satu pihak dan mengabaikan pihak lainnya.
Media juga tidak boleh menghakimi dan menghujat seseorang tanpa mengetahui fakta-fakta yang sebenarnya. Media harus mengedepankan prinsip-prinsip jurnalistik, seperti akurasi, objektivitas, dan keseimbangan.
Dengan demikian, media dapat memberikan informasi yang benar dan bermanfaat kepada masyarakat, bukan malah menimbulkan fitnah dan kebencian.
Media juga dapat membantu menegakkan keadilan dan hak asasi manusia, bukan malah melanggarnya. Media harus menjadi pilar demokrasi, bukan malah menjadi alat propaganda.