jfid – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota Tobelo, sebuah fenomena unik terjadi. Seorang emak-emak dengan motor listrik roda tiga sering terlihat melawan arah lalu lintas, seolah-olah ia adalah kapten kapal yang berani mengarungi samudra ganas.
Namun, tidak seperti kapten yang mencari petualangan, perjalanan emak-emak ini ternyata memiliki alasan yang lebih dalam.
Perlawanan atau Kebingungan? Emak-emak ini bukanlah pemberontak tanpa sebab. Ia bukan pula pelaut yang tersesat di daratan. Tindakannya yang sering kali menghalangi lajur mobil dan truk, sejatinya adalah teriakan batin yang mencari jalan pulang.
Polisi setempat, yang awalnya hanya mendengar bisikan tentang pemberontak jalan raya ini, akhirnya memutuskan untuk turun tangan.
Penemuan yang Mengejutkan Kasat Lantas Polres Halmahera Utara, Iptu Ibrahim Mappe S.E., dengan langkah penuh determinasi, mendatangi kediaman emak-emak tersebut.
Di sana, ia menemukan bukan seorang penjahat, melainkan seorang individu yang berjuang dengan gangguan jiwa. Seperti kapal yang kehilangan kompasnya, emak-emak ini berlayar tanpa arah yang jelas, dihantui oleh badai yang hanya ia rasakan sendiri.
Refleksi dan Empati Kisah ini mengajarkan kita bahwa tidak semua yang melawan arus adalah musuh. Kadang, mereka hanyalah jiwa-jiwa yang tersesat, mencari mercusuar di tengah badai kehidupan.
Sebagai masyarakat, kita diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga pelita yang membimbing mereka kembali ke pantai yang aman.
Dalam setiap perlawanan arus, ada cerita yang perlu didengar. Dalam setiap tindakan yang tampak meresahkan, ada hati yang perlu dipahami. Mari kita renungkan, sebelum kita menilai, apakah kita telah cukup berempati?