jfid – Pada awal 2025, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan pemangkasan anggaran pendidikan sebagai bagian dari upaya efisiensi APBN yang ditargetkan mencapai Rp 306,7 triliun.
Langkah ini, meskipun bertujuan untuk mendukung program-program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat, terutama terkait dampaknya pada sektor pendidikan.
Salah satu isu yang paling banyak dibicarakan adalah apakah program beasiswa seperti KIP-Kuliah dan tunjangan dosen non-PNS turut terkena imbas pemotongan anggaran.
Artikel ini akan membahas secara rinci bagaimana pemangkasan anggaran memengaruhi berbagai elemen pendidikan, mulai dari bantuan sosial bagi mahasiswa hingga kesejahteraan tenaga pengajar.

Anggaran Pendidikan Dipangkas: Apa Kata Data?
Berdasarkan data resmi dari Kementerian Keuangan, total anggaran pendidikan tinggi yang semula direncanakan sebesar Rp 56,6 triliun dipangkas menjadi Rp 14,3 triliun, atau setara dengan penghematan sekitar 25%.
Pemangkasan ini tidak hanya menyasar program-program bantuan sosial, tetapi juga komponen penting lainnya seperti operasional perguruan tinggi dan infrastruktur pendidikan.
Namun, yang paling disoroti adalah nasib beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan tunjangan dosen non-PNS, dua elemen yang menjadi tulang punggung aksesibilitas pendidikan bagi kelompok rentan dan kualitas pengajaran di perguruan tinggi.
Apakah KIP-Kuliah Dipangkas?
Program KIP-Kuliah, yang dirancang untuk membantu mahasiswa dari keluarga miskin melanjutkan pendidikan tinggi, mengalami pemotongan signifikan. Pagu awal program ini sebesar Rp 14,6 triliun dikurangi sekitar 9%, atau setara dengan Rp 1,3 triliun.
Dampak langsung dari pemangkasan ini adalah potensi penghentian bantuan bagi 663.821 mahasiswa penerima KIP-K dari total 844.174 mahasiswa yang seharusnya mendapatkan manfaat tahun ini.
Artinya, hanya sebagian kecil mahasiswa yang masih dapat mengandalkan program ini untuk menopang biaya kuliah mereka. Selain itu, penerimaan mahasiswa baru untuk program KIP-Kuliah juga dipastikan dihentikan pada tahun 2025.
Pemangkasan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang harapan ribuan anak bangsa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Tanpa bantuan KIP-K, banyak mahasiswa terancam putus studi karena tidak mampu menanggung biaya pendidikan yang semakin tinggi.
Tunjangan Dosen Non-PNS Terancam Hilang
Selain KIP-Kuliah, tunjangan dosen non-PNS juga menjadi salah satu korban dari pemangkasan anggaran. Pagu awal untuk tunjangan ini sebesar Rp 2,7 triliun dipotong hingga 25%, atau setara dengan Rp 676 miliar.
Langkah ini berpotensi memengaruhi kesejahteraan dosen non-PNS, yang selama ini menjadi ujung tombak dalam proses belajar-mengajar di perguruan tinggi.
Pengurangan tunjangan ini tidak hanya mengurangi motivasi para dosen, tetapi juga dapat memengaruhi kualitas pengajaran yang diberikan kepada mahasiswa.
Menurut beberapa pakar pendidikan, kesejahteraan dosen adalah faktor penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jika kesejahteraan mereka terganggu, maka risiko penurunan kualitas pendidikan akan semakin nyata.
Efek Domino Pemangkasan Anggaran
Pemangkasan anggaran pendidikan tidak hanya berdampak pada KIP-Kuliah dan tunjangan dosen non-PNS, tetapi juga menyasar berbagai program lainnya. Berikut adalah beberapa contoh:
Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN):
- BOPTN, yang digunakan untuk mensubsidi Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa PTN, mengalami pemotongan hingga 50% dari total anggaran Rp 6,018 triliun.
- Akibatnya, mahasiswa PTN kemungkinan besar harus membayar UKT lebih tinggi, yang dapat membebani keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
Bantuan Kelembagaan PTS:
- Program bantuan kelembagaan untuk perguruan tinggi swasta (PTS) juga dipangkas 50% dari total Rp 365,3 miliar.
- Hal ini dapat memengaruhi kualitas layanan di PTS, yang sering kali menjadi alternatif bagi mahasiswa yang tidak lolos seleksi PTN.
Proyek Sekolah Unggul Garuda:
- Proyek ini, yang awalnya memiliki pagu anggaran Rp 2 triliun, dipotong hingga 60% atau setara dengan Rp 1,2 triliun.
- Pengurangan ini berpotensi menghambat inovasi dan kolaborasi antarperguruan tinggi yang menjadi tujuan utama program ini.
Mengapa Pemangkasan Ini Dilakukan?
Pemerintah menyatakan bahwa pemangkasan anggaran pendidikan dilakukan untuk mendukung program prioritas lainnya, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program MBG sendiri membutuhkan tambahan anggaran sekitar Rp 100 triliun, yang diambil dari hasil efisiensi APBN.
Namun, langkah ini menuai kritik dari berbagai pihak. Ekonom senior Bhima Yudhistira menyebut bahwa pemangkasan anggaran pendidikan justru dapat menghambat pencapaian visi pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul, yang merupakan salah satu pilar Astacita Presiden Prabowo Subianto.
“Jika pendidikan dikorbankan demi program populis, maka dampaknya akan dirasakan dalam jangka panjang,” ujarnya.
Apa Solusi untuk Mengatasi Krisis Ini?
Untuk mengatasi dampak negatif dari pemangkasan anggaran, ada beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan:
Optimalisasi Dana yang Ada:
- Pemerintah perlu memastikan bahwa anggaran yang tersisa digunakan secara efisien dan tepat sasaran, misalnya dengan memprioritaskan program-program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
Libatkan Swasta dan Filantropi:
- Kolaborasi dengan sektor swasta dan lembaga filantropi dapat membantu mengisi celah yang ditinggalkan oleh pemangkasan anggaran. Misalnya, perusahaan besar dapat memberikan beasiswa atau mendanai proyek-proyek pendidikan.
Evaluasi Ulang Prioritas Anggaran:
- Pemerintah perlu mengevaluasi kembali prioritas anggaran untuk memastikan bahwa sektor pendidikan tetap mendapat perhatian yang cukup, mengingat perannya sebagai investasi jangka panjang bagi pembangunan bangsa.
Kesimpulan
Pemangkasan anggaran pendidikan tahun 2025 telah menimbulkan dampak signifikan, terutama pada program-program yang menjadi harapan bagi kelompok rentan seperti KIP-Kuliah dan tunjangan dosen non-PNS.
Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendukung program prioritas lainnya, langkah ini dinilai kurang bijaksana karena dapat menghambat pencapaian visi pembangunan SDM unggul.
Untuk menjaga keberlanjutan pendidikan sebagai fondasi kemajuan bangsa, pemerintah perlu mencari solusi alternatif yang tidak hanya hemat, tetapi juga berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Bagaimanapun, pendidikan adalah aset strategis yang tidak boleh dikorbankan demi efisiensi sesaat.