Pagebluk, Sastra, dan Kemanusian

Tjahjono Widarmanto
7 Min Read
Ilustrasi (sumber: sindikatnews.com)
Ilustrasi (sumber: sindikatnews.com)

Ana kidung rumeksa ing wengi,
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah panggawe ala,
gunane wong luput,
pan geni tanapi tirta,
maling adoh tan ana ngarahmring mami,
guna duduk pan sirna

   

jfid – Konon tembang atau kidungan dhandanggula di atas dianggit oleh Sunan Kalijaga sebagai upaya memanjatkan doa kepada Sang Penguasa Sejati agar terhindar dari balak, wabah, bebendu, atau apapun namanya. Tembang di atas juga menyiratkan ketundukan dan pengakuan atas ketakmampuan manusia menghadapi kuasa Tuhan yang seringkali tak terduga dan tak terbayangkan.

Nun hampir seribu tahun lalu, melalui naskah lontar serat Calon Arang, yang ditulis  dengan aksara Bali Kuno tetapi berbahasa Kawi (Jawa Kuno), berangka tahun 1462 Saka (1540 M), dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Ng. Poerbatjaraka (De Calon Arang), diceritakan konflik unik antara raja Jawa (Kediri) yaitu Airlangga yang memerintah antara 1006-1042 M, dengan seorang antagonis perempuan dari desa Girah (Gurah) bernama Calon Arang. Calon Arang adalah penganut aliran atau sekte Bhairawa Pengiwa yang memuja Dewi Bhagawati (disebut-sebut identik dengan Durga) yang merupakan sekte yang dilarang di kerajaan Kediri.

Karena menganut aliran Bhairawa Pergiwa atau Durga itu, Calon Arang ditakuti sekaligus dijauhi oleh masyarakat, akibatnya anak perempuan Calon Arang yang jelita bernama Ratna Manggali, tidak kunjung mendapat jodoh karena para pemuda menjauhinya karena takut dengan Calon Arang dan keluarganya. Hal ini membuat murka Calon Arang dan dengan kesaktian ilmunya, Calon Arang mengirimkan pagebluk atau wabah penyakit ke rakyat wilayah kerajaan Kediri.

Raja Airlangga sebagai penguasa bersama pasukan perangnya nyaris tak berdaya menghadapi kekuatan Calon Arang yang tidak dapat dilawan dengan kekuatan senjata. Terjadi pagebluk yang mengerikan, seseorang yang terkena wabah yang disebarkan Calon Arang ibaratnya pagi sakit malam mati, malam sakit pagi mati, pagi mengantar orang mati, sore diantar sebagai yang mati. Bahkan Empu Baradah, pendeta kerajaan yang mahasakti ditugaskan menghadapi kesaktian Calon Arang tidak mampu menaklukannya.

Untuk menaklukkan Calon Arang yang tangguh itu dilakukan siasat perkawinan politik dengan mengawinkan salah seorang murid terpercaya Empu Baradah bernama Bahula dengan putri Calon Arang, Ratna Manggali. Jadilah Bahula sebagai menantu sekaligus spionase yang bertugas memata-matai kelemahan Calon Arang. Akhirnya Bahula berhasil mencuri kitab Calon Arang dan menyerahkan kepada Empu Baradah.  Melalui kitab itu, empu Baradah dapat melihat kelemahan kesaktian Calon Arang, dan tumbanglah jagoan perempuan itu di tangan Empu Baradah dan wabah penyakit yang disebar dapat dinetralisir.
   
Dalam sastra modern wabah atau pagebluk juga dimunculkan dalam novel yang berwibawa berjudul Sampar (La Peste ) karya sastrawan  Perancis, Albert Camus. Melalui novel Sampar  ini, Camus memperoleh hadiah Nobel pada tahu 1957, sepuluh tahun setelah Sampar diterbitkan. Sesuai judulnya, novel ini mengisahkan wabah Sampar di kota Oran, Aljazair, Perancis. Sebuah kota kecil yang adhem ayem tiba-tiba gonjang-ganjing akibat serbuan masif tikus-tikus linglung yang kemudian mati diikuti angin panas, yang akibatnya muncullah wabah mengerikan yaitu penyakit sampar.
   
Melalui tiga tokoh utama dalam novel itu, yakni tokoh Bernard Rieux, Paneloux dan Cottard, dilakukan identifikasi atas tanggapan dan sikap manusia ketika menghadapi bencana, ketakutan, dan keputusasaan. Camus memepertajam efek tragik-dramatik ketakutan dan keputusasaan ini dengan apa yang disebutnya sebagai exiler, yang berarti mengucilkan atau mengusir. Exiler ini merupakan gambaran dari apa yang oleh aliran eksistensialisme disebut sebagai alienasi atau keterasingan.
   
Melaui novel Sampar ini digaungkan filsafat eksistensialisme yang mengagungkan manusia meski betapa lemah dan tak berdayanya manusia itu. Tampaklah paradoks agung manusia sebagai mahluk mulia sekaligus teraniaya, mahluk utama sekaligus tak berdaya. Melalui novel ini dimunculkan dan diperkuatlah konsep dan simpul filsafat eksistensialisme, yakni: absurditas dan alienasi (keterasingan). Absurditas muncul dalam bentuk penderitaan, keterasingan, kegagalan dan perjuangan. Kematian dan perjuangan adalah lambang puncak absurditas manusia!

Novel Sampar mengungkapkan secara “indah” bagaimana manusia dengan segala keterbatasan dan kelemahanya menghadapi gempuran bencana penyakit yang nyaris tidak terbendung. Kelemahan, ketakberdayaan, keputusasaan sekaligus upaya tak kenal lelah untuk keluar dari ancaman-ancaman tersebut menunjukan keabsurditasan manusia. Melalui novel ini, Camus ingin mengatakan kredonya bahwa “sastra bukanlah satu kegembiraan yang dinikmati seorang diri. Sastrawan atau seniman tidak dapat hidup tanpa keindahan, sastrawan tidak lepas dari kelompok masyarakatnya.

Seniman berada di tengah-tengah keduanya. Sastrawan lebih mengharuskan diri ditengah perjuangan kemanusiaan daripada menentukan baik buruknya seorang yang lain”.
Kini ketika  menghadapi gempuran dan taufan Corona yang mengerikan dan tak kunjung usai,  kita dapat belajar dari serat Calon Arang dan novel Sampar, bagaimana seseorang harus bijak menghadapi musibah global. Betapa sangat perlunya kedamaian antarbangsa, kedamaian yang tidak didasari oleh penghambaan satu pihak kepada pihak lain. Sejatinya tak ada lagi negara atau bangsa linuwih (adidaya) dan bangsa nomer dua, semua bangsa harus bersama membangun kembali bahtera persahabatan tanpa dikotomi. Kegagahan dan kemegahan peradaban dengan segala atributnya –globalisasi, modernisme, postmodernisme—telah luluh lantak kembali dalam kesejatian kebersamaan, sepenanggungan dan sependeritaan.

Dalam hidup dan kehidupan, terlebih kehidupan masa kini yang sudah demikian chaos, perjuangan dan penderitaan adalah kembar dampit yang  harus setia untuk diperjuangkan bersama. Hidup selalu dibayangi dengan kematian seperti halnya keberhasilan selalu dibayangi kegagalan. Apapun hasilnya, puncak keagungan manusia adalah bagaimana ia nglakoni sekaligus memperjuangkannya secara bersama-sama. Melalui novel Sampar kita diingatkan kembali betapa penting dan mulianya solidaritas dalam menghadapi bencana, berdiri dan melihat di sisi korban. Dengan berdiri di sisi korban kita sejatinya saling menguatkan tanpa peerlu diiringi dengaan kepanikan terlebih lagi kenyinyiran dan saling menyalahkan.
****

Penulis adalah penyair, esais, dan alumnus Program Doktoral Pendidikan Bahasa Indonesia UNS Surakarta. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article