Wulangreh dan Deradikalisasi: Menggali Sisi Praktis Islam Nusantara

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
Heru Harjo Hutomo, Peneliti, Pelukis dan Pemusik (foto: Dok. Redaksi)
Heru Harjo Hutomo, Peneliti, Pelukis dan Pemusik (foto: Dok. Redaksi)

Padha gulangen ing kalbu

Ing sasmita amrih lantip

Aja pijer mangan nendra

Ing kaprawiran den kaesthi

Pesunen sariranira

Cegahen dhahar lan guling

Dadia lakunireku

Cegah dhahar lawan guling

Lan aja kasukan-sukan

Anganggoa sawatawis

Ala wateke wong suka

Nyuda prayitna ing batin

jfID – Konon, Paku Buwana IV adalah seorang raja yang tak begitu nyaman dengan politik praktis. Suatu ketika, menjelang penobatannya, ia datangi pamannya, Pangeran Purbaya. “Paman, aku tak tahan dengan kekuasaan. Aku ingin melayani Tuhan.”

Dalam catatan Ricklefs (Polarizing Javanese Society: Islamic and Other Visions [c. 1830-1930], 2007), PB IV memang seorang raja yang menampakkan kesalehan seorang santri. Bahkan sesaat setelah diwisuda menjadi raja, raja muda yang juga bergelar sebagai Sunan Bagus itu segera mengganti para pejabat keraton dengan tipe orang yang disukainya: santri. Ia tak suka kebiasaan minum anggur dan pakaian Eropa ala Belanda. Setiap Jum’at ia pun selalu hadir di masjid agung untuk menunaikan sembahyang.

Tapi tak seperti penganut Islam puritan yang kala itu sudah menjadi kepingan kelas khusus di samping kelas Islam-Jawa di nusantara. Sebagaimana Wedhatama, Wulangreh, salah satu karya raja yang pernah mengasih putri triman ke Kanjeng Kyai Kasan Besari ini, juga menunjukkan ketakcocokkannya pada kehadiran Islam puritan, yang kala itu, direpresentasikan oleh kalangan muda yang kurang-ajar, sombong, omong-besar, dan berlebihan—“andhap asor dipun simpar/ umbag gumungging dhiri/ obrol umuk kang den gulang/ kumenthus lawan kumaki.”

Muda, sepotong masa di mana gelegak berontak menjadi ciri khasnya, sering dijadikan penanda untuk menyukai hal-hal yang berbahaya. Tapi sebagaimana Wedhatama, muda di zaman itu identik pula dengan kegoblokan (pengung) dan kebingungan (bingung). Mereka belum tuntas dalam belajar, tapi sudah tergesa untuk mengkafirkan orang lain.

Durung pecus

Kasusu kaselak besus

Amaknani rapal kaya weton Mesir

Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma

Dan memang, radikalisme identik dengan kalangan muda usia. Kita mencatat, misalnya, dalam peristiwa 21-22 Mei 2019, beberapa anak muda meregang nyawa atas ulahnya yang mencoba menumbangkan pemerintahan yang konstitusional. Paling banter, usia mereka 31 tahun. Tak main-main, ulama idola mereka adalah Rizieq Shihab dan yang sejenis. Kepala negara dan beberapa elit negeri ini pernah merasakan ancaman pembunuhan yang dilontarkan oleh mereka secara terbuka.

Saya tertarik perihal diagnosa Mangkunegara IV pada mereka: pengung dan bingung. Kegoblokan itu disebabkan oleh kebingungan, disorientasi. Saya pun punya pengalaman pribadi, soal semangat keislaman memang tiada tara mereka. Tapi ternyata, ketika saya tanya apa perbedaan NU, Muhammadiyah, FPI, mereka pun bungkam.

Kecenderungan mereka untuk mengidolakan Rizieq Shihab membuktikan bahwa mereka sudah termakan apa yang saya sebut sebagai “Islam abstrak,” “Islam” yang mengidealisasikan hilangnya renik perbedaan, tipologi (Neo-Khawarij, Habib Rizieq dan Masyarakat Sipil, Heru Harjo Hutomo https://geotimes.co.id). Celakanya, seperti paham keislaman versi FPI dan yang sejenis, mereka lebih menampakkan versi keislaman yang politis. Jadi, berbeda dengan amatan para sosiolog atau psikolog yang pernah menyatakan bahwa mereka apolitis. Mereka sangat politis sebenarnya, meski dengan nuansa keagamaan yang kental. Bukankah beberapa muda-mudi yang terang-terangan mencaci dan mengancam kepala negara dan para pejabatnya membuktikan hal itu? Bukankah mereka, seandainya merunut paham FPI sebagaimana yang termaktub dalam AD/ART-nya, atau bahkan ISIS, ingin memaksakan “Islam” secara struktural?

Radikalisme, sebagai akar dari intoleransi dan terorisme, memang membuat siapa pun—secara psikologis—bingung, akal sehat dan kontrol diri tak berfungsi. Ada satu terapi yang didedahkan oleh PB IV di atas, “cegah dhahar lawan guling” (laku puasa dan melek atau berjaga malam).

Gemblenglah hati kalian

Pada isyarah agar cerdas

Jangan melulu makan-tidur

Keksatriyaan diupayakan

Kontrollah diri kalian

Berlapar dan berjagalah

Jadikan lakumu

Puasa dan berjaga itu

Jangan berlebihan dalam bersuka ria

Cukuplah sekedarnya

Agar tak rusak batinmu

Efek psikologis laku-laku tersebut memang menguatkan sistem kontrol diri (reh), yang membuat batin lebih waspada (prayitna ing batin). Atau dalam Wedhatama, ketika batin itu sudah prayitna, dapat menjadi “colok celaking Hyang Widhi”—seperti (seribu) bulan yang menjadi pepadhang, sumbu kerinduan, dan gelincir takdir, di tengah gelapnya malam (lailatul qadr).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article