Wirang yang Berkepanjangan

Heru Harjo Hutomo
3 Min Read
Gambar ilustrasi, "Petaka Melankolia" 35x47 cm, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017.
Gambar ilustrasi, "Petaka Melankolia" 35x47 cm, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017.

jfid – Radikalisme itu pada dasarnya sama sekali tak bermartabat. Dalam wujud kontemporernya di Indonesia ia lebih suka bersembunyi di balik daster para perempuan. Maka benarlah hasil kajian BNPT di tahun tahun 2020, di samping ditandai oleh fenomena urbanisasi radikalisme dan literasi masyarakat yang rendah, tanpa rasa malu ia juga memanfaatkan perempuan sebagai perpanjangan tangannya. Fenomena ini dikenal sebagai feminisasi radikalisme (Garda Depan Kesunyian, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Saya ingat salah satu ramalan Jayabaya yang terkenal itu. Di samping kelak pasar ilang kumandhange dan kali ilang kedhunge, juga ditandai oleh wanodya ilang wirange. Dalam hal ini “wirang” identik rasa malu yang secara asosiatif mengacu pada kemaluan. Dan terbukti telah beberapa kali terorisme kontemporer di Indonesia pernah menggunakan para perempuan sebagai mesin teror. Selangkah sebelum terorisme, pada tahap intoleransi dan radikalisme, kita pernah disuguhi oleh fenomena “laskar emak-emak” yang tak tahu malu yang kentara menjelang pilpres 2019 yang lalu.


Dengan fakta wis wani wirang ini, maka lengkap sudah ramalan Jayabaya terbukti. Entah sejak kapan pasar-pasar memang sudah kehilangan gaungnya ketika Bumi semakin sesak dan kali-kali tak lagi banyak yang menjajaki kedhung-nya. Selain pasar-pasar telah kehilangan daya saingnya dengan mall, atau secara metaforis merebaknya konsumerisme dan konsumtivisme yang menandai pergeseran proses jual-beli tradisional, banyak ustadz dan kaum cerdik cendekia tak lagi mujarab ucapannya ataupun berisi ilmunya.


Sikap wis wani wirang yang menandai perilaku tak bermartabat memang sudah digambarkan oleh kisah-kisah pewayangan Jawa sejak dahulu kala. Sikap wis wani wirang ini, pada ujungnya, akan melegalkan upaya-upaya pelanggaran hukum ataupun nilai-nilai etis. Pada kasus Bathari Durga, secara rendahan Dewa Srani—anak angkat sekaligus pemuas birahi sang dewi kejahatan itu—membujuk sedemikian rupa “ibunya” untuk membujuk pula Bathara Guru agar memenuhi permintaannya. Dan ketika Bathara Guru terbujuk, maka kekacauan kosmologis sekaligus morallah yang terjadi. Sebab, ia adalah sang penguasa Triloka. Dalam pewayangan Jawa kekacauan ini dikenal sebagai “Gara-Gara.”


Sangat menarik ketika menautkan radikalisme dan terorisme kontemporer di Indonesia dengan hilangnya rasa wirang yang mengacu pada kelamin perempuan sebagaimana dinubuahkan oleh Jayabaya. Barangkali, karena pesona ambivalen yang dimilikinya, radikalisme dan terorisme di Indonesia seolah menjadi masalah yang seserius wabah corona dengan disahkannya berbagai produk hukum yang mengikutinya.


Dengan ramalan Jayabaya itu, maka klaim-klaim kesucian ataupun agenda-agenda luhur yang biasanya kerap melatari radikalisme dan terorisme patutlah dipertanyakan. Benarkah mereka sesuci dan seluhur itu mengingat metafora Jayabaya adalah kemaluan perempuan—wis wani wirang?




     

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article