Welfare State dalam Ideologi Pasar Bebas Covid-19

Rusdianto Samawa
11 Min Read

Sumber: Buku Rusdianto yang pernah diterbitkan tahun 2008, berjudul: “Kepemimpinan dan Gerakan Kaum Muda Dalam Mewujudkan Welfare State, Penerbit Kibar Press Yogyakarta Kerjasama Universitas Muhammadiyah Mataram, Halaman – 43 – 60.

Penulis: Rusdianto Samawa, Pendiri Teluk Saleh Institute, Menulis dari Pulau Podang-Podang, Pangkep – Sulawesi Selatan. Menginap sambil digoyang Gempa Kecil.


jfID – Dalam pandangan ideologi pasar bebas, apapun itu tetap merupakan bagian dari pengusahaan dan penjajahan. kesejahteraan rakyat didistribusikan melalui mekanisme tersembunyi yang disebut “the invisible hand” (tangan ghaib). Tangan ghaib diwujudkan dalam regulasi yang terdapat pada ekonomi pasar bebas Covid-19. Negara tidak ikut campur tangan untuk urusan kesejahteraan rakyat.

Seperti halnya teori trickle down effect, kesejahteraan akan “menetes” ke bawah ketika pertumbuhan ekonomi meningkat. Tapi apa buktinya? kehidupan sosial pada masa sekarang lebih hancur dibanding masa orde baru. Karena tidak berhasil membuktikan teori Welfare State dalam praktek kebijakan yang banyak dimanipulasi kapitalisme dan komunisme.

Tonggak penting ideologi pasar bebas adalah naiknya Margareth Thatcher ke dalam tampuk kekuasaan di Inggris di tahun 1979 dan Ronald Reagen di AS satu setengah tahun kemudian. Keduanya menjadi pelopor untuk meninggalkan sistem negara kesejahteraan yang bertumpu pada ideologi keynesian dan kembali kepada sistem kapitalisme murni seperti sebelum masa peran dunia kedua. Harus dicatat bahwa pasca tindakan keduanya ini, ekonomi pasar bebas telah menjadi panglima di dunia ini.

Yang paling harus di ingat adalah bahwa ideologi pasar bebas pada kenyataannya telah mendominasi sistem ekonomi dan kesejahteraan di seluruh dunia. Tesis Francis Fukuyama dalam karyanya “The End of History and The Last Man” tampaknya patut untuk dicermati. Menurutnya, sejarah ideologi dunia telah berakhir dengan kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal.

Kemenangan ini tampaknya juga di alami di Indonesia. Namun, perlu disadari bahwa kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal Indonesia pada dasarnya menyisakan berbagai macam keprihatinan sosial ekonomi. Betapa tidak, krisis ekonomi tahun 2020 ini merupakan puncak peperangan sistem negara di dunia yang mendominasi. Terutama Amerika Serikat dan RRT yang keduanya mewakili Nekolim kanan dan kiri. Kemiskinan global akibat Virus Covid-19 mendesak nasib rakyat miskin berada di pinggiran dan semakin terpojokkan.

Di Indonesia sendiri, angka kemiskinan masih sangat tinggi. Data kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS): pertama, per Maret 2018 tingkat kemiskinan mencapai 9,82 persen. Angka kemiskinan itu turun dalam lima tahun terakhir dan akhirnya menembus single digit.

Kedua, garis kemiskinan Rp 400 ribu per kapita per bulan hanya mengambil sampel dari sisi pengeluaran, bukan pendapatan maupun aset. Ketiga, survei kemiskinan diambil saat panen raya. Sehingga, nilai tukar petani alias NTP pun tinggi dan selalu naik bagus. Adapun sebagian besar penduduk miskin kini bekerja disektor petanian.

Tahun 2020 ini, penduduk di bawah garis kemiskinan turun hingga 633,2 ribu orang. Jika dibandingkan dengan tahun 2017, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan mencapai 26,58 juta orang, per Maret 2018 penduduk miskin berjumlah 25,95 juta orang.

Kemiskinan di Indonesia cukup tinggi jika menggunakan standar dari Bank Dunia yang memiliki kategori bahwa penghasilan di bawah US$ 2 per hari atau sekitar Rp 864 ribu per bulan adalah kelompok masyarakat miskin. Dengan demikian, lebih dari 40 persen atau sekitar 100 juta masyarakat Indonesia berada di kelompok ini.

Indonesia Dijajah: Belum Merdeka

Seringkali kita menganggap bahwa, Indonesia telah merdeka, padahal anggapan ini pada dasarnya tidak sepenuhnya benar. Sebab Indonesia pada kenyataannya masih dijajah secara ideologis. Faktanya, selalu menjadi tumbal permainan kelompok negara-negara besar seperti AS dan RRT.

Kiblat Indonesia dalam 5 tahun ini sebagai perpanjang tangan proxy asing sehingga kemerdekaan semestinya dimaknai secara kontekstual. Termasuk dalam permusuhan AS mewakili nekolim kanan dan RRT nekolim kiri dalam perebutan kekuasaan dunia, sehingga mengorbankan kemerdekaan bangsa lain. Termasuk Indonesia melalui penjajahan Covid-19 ini, yang membunuh ribuan masyarakat Indonesia.

Bagi masyarakat Indonesia, kemerdekaan sudah selayaknya tidak dimaknai secara konvensional dengan tidak adanya penjajahan secara fisik dari bangsa lain. Tetapi kemerdekaan sudah sepatutnya dimaknai secara ideologis, seperti halnya dari ideologi pasar bebas. Solusi menempuh jalur menduniakan Pancasila sebagai arus perubahan dunia untuk mendamaikannya.

Tanpa adanya pemahaman tentang makna kemerdekaan yang kontekstual, menurut penulis kemerdekaan bagaikan pepesan kosong belaka. Secara fisik memang kita merdeka, tetapi secara ideologis kita belum mampu berdaulat karena sedang dijajah oleh kekuatan ideologi pasar bebas yang dijalankan oleh negara-negara adidaya dunia. Lihat saja faktanya, seorang professor Harvard University menjualbelikan Virus Covid-19 yang mematikan itu.

Salah satu bentuk penjajahan yang paling nyata adalah ketidakadilan dalam penanganan berbagai kasus Covid-19 yang banyak menelan korban. Akhirnya, negara berlakukan PSBB, darurat sipil, darurat militer dan lainnya, tentu menggunakan APBN untuk menyelsaikannnya. Padahal penyebabnya perang ideologi pasar bebas antara AS versus China yang memakai instrumen senjata biologis, sedangkan Indonesia hanya memperoleh kasus positif, kesembuhan dan meninggal serta menguras APBN untuk memerangi kasus Covid-19. Artinya, Indonesia masih terjajah.

Ironisnya, elit-elit negara justru menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan asing. Kesetiaan para eIit negara tidak dialamatkan kepada kesejahteraan rakyat, tetapi ditujukan untuk keserakahan atas jabatannya yang mengurus segala apapun berkait korporat-korporat asing. Tidak heran apabila state capture corruption yang sangat berbahaya justru terjadi di bangsa Indonesia ini.

Dengan demikian, kita tidak bisa mengelak bahwa pada dasarnya kita saat ini belum merdeka. Tentu apabila kemerdekaan dimaknai sebagai bebas dari penjajahan ideologi pasar bebas dunia. Sebab elit-elit pemimpin bangsa ini telah menjadi penjajah di negeri sendiri. Bangsa ini harus membangun kesadaran bahwa perjuangan untuk meraih kemerdekaan yang hakiki masih jauh dari jangkauan mereka yang mau dicontohkan kepada generasi selanjutnya.

Akhirnya tidak ada lagi yang dapat dilakukan selain membebaskan bangsa ini dari kepungan dan serangan ideologi pasar bebas dan keluar dari jeratan Covid-19 melalui kebijakan-kebijakan publik yang pro terhadap rakyat dan melawan dominasi para nekolim kiri dan kanan itu. Tetapi jalan keluarnya merubahnya sistem hukum, perundang-undangan dan melawan proxy wars terhadap negara.

Mekanisme demokrasi atas sistem negara sudah maksimal dan mapan dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dapat jadikan alat perjuangan strategis untuk melawan Covid-19 dan dominasi nekolim kiri kanan ini. Sikap kritis dari masyarakat sangat diperlukan untuk meluruskan sikap pemimpin agar selalu mempunyai jiwa kebangsaan yang kuat, bukan pemimpin yang bermental menghamba kepada kepentingan asing: berhutang dan ideologi pasar bebas yang menghancurkan bangsa ini.

Moral dan komitmen dari para pemimpin diuji kualitas kepemimpinannya ditengah masalah Covid-19 di negeri ini yang sangat diperlukan semangat berjuang untuk keluar dari krisis dan keterpurukan akibat Civid-19 ini. Moral dan komitmen itu diperlukan adalah suatu sikap yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi maupun golongan.

Moral dan komitmen seperti ini sangat diperlukan disaat Covid-19 menyerang imutas masyarakat. Apalagi banyak elit politik yang memperlihatkan dan menggunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan semata. Kepekaan pemimpin dan elit politik terhadap realitas Covid-19 yang sangat diperlukan untuk membangun suatu moralitas dan komitmen kebangsaan itu.

Komitmen kebangsaan akan menemukan momentumnya ketika bangsa ini dalam kenyataannya masih terjajah secara ideologi oleh kepentingan asing melalui bentuk peranfmg biologis antara kapitalisme global dan nafsu komunisme (RRT) menguasai dunia. Oleh karena itu, penguatan terhadap nilai-nilai, budaya maupun falsafah kebangsaan sangat diperlukan untuk melawan Covid-19 sebagai bentuk penjajahan terhadap bangsa ini. Sehingga Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan program lainnya bukan hanya menjamin kesejahteraan rakyat tetapi melindungi segenap rakyat. Kedepan, harus bergandengan erat dengan komitmen para pemimpin dan elit politik pembuat kebiiakan di negeri ini.

Amin Rais (2008) dalam bukunya yang laris (Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia) menyebutkan bahwa musuh sosial paling berbahaya saat ini adalah state capture corruption, yakni korupsi subversif yang secara legal dilakukan oleh negara dan sebagai bentuk penghambaan elit-elit negara atas keserakahan korporat berakibat pada penghambaan terhadap keserakahan korporat ini, kesejahteraan rakyat menjadi terabaikan.

Pengabaian kesejahteraan rakyat menjadi wajar, sebab ini adalah konsekuensi logis dari ideologi pasar bebas (state market). Adam Smith (1776) dalam karyanya yang termasyhur “The Wealth assotion” mengatakan bahwa intervensi negara dalam kegiatan ekonomi sangat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Apalagi memakai instrumentasi senjata biologis untuk menantang negara lain dan memasukkan masyarakat dunia dalam masa kegelapan, maka itu penjahat kemanusiaan.

Sebagai inti gagasan ideologi pasar bebas Covid-19, pandangan ini berpengaruh terhadap pembangunan kesejahteran rakyat. Negara harus bertanggungjawab terhadap kesejahteraan rakyat yang telah banyak menjadi korban.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article