Vitalitas Politik Dinasti Busyro Karim

Rasyiqi
By Rasyiqi
4 Min Read
KH. Busyro Karim, Bupati Sumenep 2 Periode (foto: sumenep.go.id)
KH. Busyro Karim, Bupati Sumenep 2 Periode (foto: sumenep.go.id)

jfid – Infrastruktur Politik yang dibangun oleh KH. Busyro Karim sebagai Seorang Pemimpin, seperti tercium  berakhir dan Tamat di 2020. Untuk membangun sebuah kekuasaan dan mempertahankannya, upaya dan jalan oligarki yang pasti ditempuhnya.

Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk ‘sedikit’ dan “memerintah” dikutip dari Wikipedia.

Karir politik KH. Busyro Karim dibangun sejak menjadi Ketua DPRD Sumenep (1999–2004 dan 2004–2009) dan menjadi Bupati Sumenep periode 2010-2015 dan 2016-2021. Kala itu, Busyro Karim juga menjabat sebagai Ketua DPC PKB Sumenep periode 2012–2017. Lalu bagaimana, kran kekuasaan jika sudah tak mengalir?.

Sebagaimana diketahui dari fakta politik yang ada. Setiap kali kekuasaan yang diwariskan, menjadi sebuah ukuran, jika kecemasan-kecemasan dari penguasa itu sudah melanda. Sebut saja, KH. Fuad Amin Imron (mantan Bupati Bangkalan). Kecerdasannya membangun sebuah dinasti, dipertahankan hingga akhir hayatnya.

Setelah KH. Fuad Amin, 2 Periode menjabat Bupati Bangkalan, lalu dirinya didaulat sebagai ketua DPRD Bangkalan dan Makmun Ibnu Fuad (Putranya) menggantikan posisi KH. Fuad Amin di periode 2013-2018. Dan hingga saat ini tercatat, KH. Fuad Amin Imron sebagai, satu dari Pemimpin di Madura yang bisa membangun Dinasti hingga ajal menjemput.

Apakah Busyro Karim adalah politikus sehebat Fuad Amin? Tentu tidak, karena Busyro Karim hanya bisa mengantarkan Nurfitriyana sebagai Anggota DPRD Provinsi. Dimana kekuasaan yang dibangun diluar konteks teritorial Politik. Mungkin.

Penulis meyakini, jika keresahan Busyro Karim muncul, saat detik-detik akhir dari kekuasaannya. Dan pada November 2019, KH. Busyro Karim mengambilkan formulir bacabup Nurfitriyana Busyro ke PKB. Apakah itu tidak menunjukkan kecemasan seorang pemimpin yang akan tamat?

Politik Dinasti yang ingin dibangun Busyro Karim, mengalami keterlambatan dalam start. Ada berbagai macam standar yang menjadi dasar alasan. Yang pertama: konflik keluarga KH. Busyro Karim dengan Istri Pertamanya (Nyi Mila) yang berujung penceraian, menghambat gerakan Politik Dinasti.

Alasan yang ke dua: Tidak adanya regenerasi yang dipersiapkan matang untuk duduk dikursi kekuasaan.

Alasan ke tiga: Moralitas Busyro Karim yang malu-malu, hingga kesadaran kekuasaan baru difikirkan setelah masanya sudah mau tamat.

Alasan ke empat: Busyro Karim tidak memiliki istri Banyak, Seperti Tubagus Chasan Sohib, penguasa Banten (bapak dari Ratu Atut). Yang mana, Istri dan anak-anaknya ditempatkan diposisi strategis, baik ketua DPRD dan Direktur Perusahaan.

Kini, upaya membangun sebuah Dinasti Politik, dipundak Nurfitriyana. Apa yang bisa dilakukan Nurfitriyana Busyro, untuk menyelamatkan sebuah usaha Dinasti? Apa hanya direlakan tamat begitu saja, atau kuatkah vitalitas Politik Busyro Karim dengan power sang istri? Semua itu, akan terjawab di Pilkada 2020.

Bisa saja, Nurfitriyana ‘maju’ dengan ‘dipaksakan’ atau dibranding unggul dan layak memimpin Sumenep dibandingkan bakal calon Bupati Sumenep lainnya dengan Busyro Karim sebagai aktor dibalik layar. Sebagai ‘istri politik’, Nurfitriyana memiliki peluang lebih untuk memenangkan kontestasi, terlepas dari apapun itu faktornya. Sebab dalam politik, citra dan bahan bakar itu cukup berpengaruh.

Deni Puja Pranata

[totalpoll id=”24568″]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article