Togog

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
Gambar "Togog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
Gambar "Togog," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfid– Sebermulanya ia hanyalah sesosok makhluk yang berasal dari kulit telur, anak pujan Sang Hyang Wenang yang telah menitis pada Sang Hyang Tunggal—dimana dalam bahasa sanskrit pengertian “esa” tak semata bararti “tunggal,” tapi juga “kuasa.” Konon ia berebut tua dengan dua adiknya, Ismaya dan Manikmaya. Sebab, siapa yang menang tua akan menjadi penguasa triloka, pengganti sang ayahanda.

Berlombalah ketiganya untuk menelan sebuah gunung dan siapa yang berhasil memuntahkannya kembali akan menjadi yang tertua. Antaga, kakak Ismaya dan Manikmaya, menelan gunung itu duluan. Tapi lacur, mulutnya yang kebanyakan umuk dan sok ternyata tak mampu menelan gunung itu dan justru sobek hingga akhirnya menyerupai mulut seekor buaya. Ismaya juga berunjuk kebolehan, ia mampu menelan gunung itu, tapi ia tak dapat memuntahkannya kembali. Ia menyimpan, mengandung di perutnya, seperti seorang ibu yang tengah hamil, Ismaya pun berubah menjadi tak rupawan lagi sebagaimana yang dialami pula oleh Antaga.

Kedua kakak beradik itu akhirnya dihukum oleh ayahnya karena telah berlomba berunjuk kebolehan. Antaga dibuang ke Bumi untuk menjadi pamomong para ksatria yang berperangai buruk tapi serba berkecukupan dengan uang dan kemegahan lainnya. Ia pun, sesuai dengan mulutnya yang menyerupai buaya, berganti nama menjadi Togog. Adapun Ismaya ditugaskan untuk menjadi pamomong para ksatria yang berperangai baik, pewaris dan penjaga segala tatanan yang baik di muka Bumi ini meskipun tak bergelimang dengan harta. Ia pun berganti nama menjadi Semar yang hidup jauh dari kegemerlapan istana.

Kisah Togog adalah kisah tentang sebuah dukungan kultural pada sebuah golongan yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas, jangka pendek daripada jangka panjang, keburukan (inefektivitas) daripada kebaikan (efektivitas), atau untuk meminjam klasifikasi Karl Marx, infrastruktur daripada suprastruktur. Sementara kisah Semar adalah justru sebaliknya, kualitas di atas kuantitas, jangka panjang di atas jangka pendek, kebaikan di atas keburukan, suprastruktur di atas infrastruktur. Sebab, bagi seorang Semar, sama sekali tak ada kerugian pada pilihan-pilihan etisnya tersebut.

Kedua kakak beradik itu memang senantiasa berdiri pada posisi yang berseberangan. Keduanya tak netral, keduanya memilih dan sama sekali sadar akan segala konsekuensinya. Sebagai sesosok pamomong yang identik dengan segala hikmah atau kebijaksanaan, Togog selalu berfungsi sebagai bahan candaan dan seolah tak memiliki martabat atau harga diri sama sekali (wani wirang). Ia rela seandainya diri dan segala kebijaksanaannya hanya buat bahan olok-olok. Dan ia memang menikmati itu semua, sebab golongan sabrang yang ia emong dan suka umuk selalu memberinya pulihan-pulihan yang membuat kehidupannya serba berkecukupan. Bagi seorang Togog, sungguh tak perlu pandai, bijak bestari, dan sakti atau memiliki kemampuan yang nyata untuk hidup bersama dengan golongan yang memang tak menghendaki adanya kepandaian dan kualitas-kualitas diri lainnya. Cukup dengan uang dan sarana pemuja hasrat lainnya segala hal dapatlah diatur. Ibaratnya, cukup mengasih uang 100 ribu untuk seporsi nasi pecel, maka seseorang akan dielu-elukan, disujudi dan ditaati segala titahnya. Karena itu, sesosok Togog memang cukup laku pada tipikal masyarakat tontonan sebagaimana yang penah dinubuahkan oleh Guy Debord (Kelam Zaman Masyarakat Tontonan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Lantas, seandainya mesti memilih, siapakah yang sebenarnya lebih tua diantara kakak beradik, Togog dan Semar, mulai dari peristiwa perlombaan menelan gunung hingga terbuang kemuka Bumi dan menjadi penjaga sebuah sistem nilai? Meskipun lebih dahulu gagal dalam menelan gunung dan terbuang ke dunia madya, ternyata Togog lebih muda daripada adiknya, Semar. Sebab, gunung itu pada hakikatnya serupa dengan gunung Sinai (tursina) yang saking lezatnya Semar pun enggan untuk memuntahkannya kembali dan membiarkannya untuk manjing di tubuhnya. Seandainya dilihat dari bentuk tangannya, bukankah Semar yang selama ini menuding dan mengepal, sementara Togog yang menengadah (wani pira)?

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article