Tetap Merdeka, Bung!

Tjahjono Widarmanto
5 Min Read
Ilurtrasi kebebasan (istimewa)
Ilurtrasi kebebasan (istimewa)

jfid – Istilah merdeka berasal dari bahasa Sansekerta, maharddhika. Istilah ini muncul pada kakawin Nitisastra yang dianggit pada titimangsa abad 15. Secara maknawi istilah ini bermakna “bebas dari soal keduniawian”. Jadi pada awalnya istilah merdeka sebenarnya ada dalam ranah filosofi dan spiritualitas yaitu pelepasan diri dari persoalan-persoalan duniawi.

Di masa kebangsaan, istilah merdeka dimaknai sebagai pembebasan terhadap penjajahan atau kolonialisme. Bung Karno lah kali pertama yang memopulerkan istilah merdeka menjadi pekik nasional untuk menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajahan.

Keinginan untuk merdeka dipicu oleh berbagai hal. Dalam novelnya yang tenar Bumi Manusia, Pramudya Ananta Toer, melalui tokoh Nyai Ontosoroh dan Sinyo, keinginan merdeka dipicu oleh pengalaman betapa sakitnya mengalami diskriminasi. Jauh sebelum itu, dalam novelnya Max Havelaar, Multatuli melalui tokoh Saijah terobsesi merdeka karena mengalami penindasan yaitu kerbau kesayangannya direnggut paksa oleh Tuan Demang yang merupakan kepanjangan tangan kaum kolonialis.

Keinginan merdeka ternyata dipicu oleh sebab musabab pengalaman yang menyakitkan karena hidup yang tak merdeka ternyata penuh penindasan, pendiskriminasian, ketakadilan, peminggiran, bahkan pemusnahan. Keinginan merdeka muncul sebagai sebuah gerak yang geram dan gelisah. Merdeka menjadi manifestasi keinginan untuk lepas dari kecemasan dan memperoleh kehidupan yang lebih tentram.

Kemerdekaan bukanlah sebuah ruang kosong yang sudah ada atau ruang yang sudah dipersiapkan. Tidak! Merdeka adalah menyiapkan, membentuk dan menjaga kelangsungan sebuah ruang. Merdeka adalah menciptakan ruang. Ruang itu bisa saja disebut sebagai bangsa, atau bisa pula diistilah sebagai negara. Ruang yang bagaimana yang diinginkan? Angan-angan akan ruang inilah yang diistilahkan oleh Benedicht Enderson sebagai komunitas imajiner atau komunitas terbayang.

Bagaimanakah kita membayangkan ruang itu?

Mohamad Yamin membayangkan ruang yang merdeka itu sebagai sebuah ruang baru yang sebenarnya sudah memiliki akar yang kokoh dan perkasa. Akar yang kokoh dan perkasa itu merupakan warisan masa lampau di antaranya adalah kejayaan Majapahit dan Sriwijaya.

Mohamad Yamin membayangkan ruang merdeka yang diimpikannya, pondasi dan sendi-sendinya sudah diwarisi oleh kejayaan masa lalu, tinggal bagaimana kita merajut kembali kejayaan masa lalu tersebut dengan memilihnya dengan masa sekarang.

Apa yang dibayangkan Moh. Yamin tersebut bertolak belakan dengan apa yang dibayangkan oleh Cipto Mangunkusumo dan Sutan Takdir Alisyahbana. Keduanya sepakat mebayangkan bahwa menjadi bangsa yang merdeka tak memiliki tautan dan gayutan dengan masa lalu.

Bagi Cipto Mangunkusumo dan STA kemerdekaan adalah proyek masa depan yang harus dikonstruksikan tanpa harus menyangkut-pautkan dengan masa lalu. Bangsa yang hidup merdeka harus menginstruksikan berbagai landasan yaitu kehendak, imajinasi, keyakinan dan sekaligus ikhtiar.

Kedua tesis di atas memiliki argumen dan pengikut yang sama-sama kuat. Bisa dicari jalan tengah untuk mempertemukan kedua tesis tersebut. Konsep Ernest Renan barangkali bisa menjadi pijakan mempertemukan dua tesis di atas. Renan mengisyaratkan bangsa sebagai suksma yang terdiri dari unsur masa lalu yang berupa kenangan konkret terhadap masa lampau atau hipotek keluhuran masa lampau, sekaligus terdiri dari unsur masa kini.

Unsur masa kini itu dimulai dari keterpukauan akan hasrat hidup bersama dan merdeka yang boleh jadi tak memiliki kaitan apapun dengan masa lalu. Apapun perdebatan mengenai ruang yang merdeka itu, ternyata realitanya merdeka itu tidak gampang! Merdeka itu mengandung risiko-risiko. Saat proklamasi merdeka dibacakan di suatu pagi Minggu yang cerah, eforia merdeka pun membuncah di mana-mana, saat itu tak pernah terbayangkan bahwa merdeka selain memiliki harapan, pun memiliki sisi-sisi sedih, cemas, bahkan buram.

Merdeka memang memiliki risiko-risiko sehingga tidak mudah untuk merdeka, sekalipun kemerdekaan telah digenggam. Apalagi merdeka selalu diikuti oleh hasrat kekerasan. Kemerdekaan selalu diciderai oleh syahwat kekuasaan yang cenderung tiran. Kemerdekaan akan sia-sia bila gagal mengikis habis kesewenang-wenangan.

Kita, sudah terlanjur merdeka, Bung. Sungguh tak mudah untuk menjaga marwah merdeka. Kita tahu itu, Bung. Dan kita tahu itu, tetap merdeka, Bung!

*) Penulis adalah guru dan sastrawan yang tinggal di Ngawi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article