Tembakau Petani Madura dan Spekulan Corona

Deni Puja Pranata
5 Min Read
Para petani mulai menanam tembakau di desa Gunggung, Batuan, kabupaten Sumenep (foto: Deni Puja Pranata/jurnalfaktual.id)
Para petani mulai menanam tembakau di desa Gunggung, Batuan, kabupaten Sumenep (foto: Deni Puja Pranata/jurnalfaktual.id)

jfid – Musim tanam tembakau di tengah situasi pandemi dimulai, harapan besar petani Madura adalah panen tembakau. Panen tembakau dengan harga jual tinggi adalah ujung tombak indeks konsumsi masyarakat Madura.

Salah satu industri selain Alat kesehatan (Alkes),  produksi rokok juga tidak terimbas inflasi dari terpaan krisis yang menghantam akibat corona. Namun, melihat data-data yang ada, harga rokok melambung tinggi sedangkan tembakau petani harganya tidak beriringan. Ini menjadi kasuistik petani tembakau dengan para cukong-cukong yang membeli tembakau petani.

Wakil Ketua Lembaga Demografi Universitas Indonesia Abdillah Hasan mengatakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tidak dapat meredam jumlah produksi rokok di Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada konsumsi rokok.

“Krisis moneter tidak dapat menurunkan produksi dan konsumsi rokok,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin, 21 Desember 2015. Sebagaimana dikutip dari tempo.co, Jumat (16/7/2021).

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mencatat, tahun 1997 hingga 1998 dengan inflasi mencapai 70 persen dan pertumbuhan ekonomi turun hingga -13 persen, konsumsi rokok malah meningkat. Dari 220 miliar batang rokok menjadi 269,8 miliar batang.

Namun, dengan ketangguhan Industri rokok. Pemerintah daerah dan pusat tidak bisa mengatur regulasi harga tembakau petani untuk dibeli perusahan atau pabrikan. Ini yang menjadi persoalan berat bagi petani. Sebagaimana 2020 tahun lalu, ratusan ton tembakau mangkrak di rumah-rumah petani. Memasuki musim akhir panen, petani banyak mengeluh.

Dan kilas balik pada krisis moneter 1997-1998, para petani tembakau banyak mengalami depresi. Karena biaya tanam hingga panen tidak sebanding dengan harga jual tembakau petani.

Saya masih ingat, kala itu, saat duduk di bangku sekolah. Banyak orang depresi atau gila bertingkah dengan berkalung kodok, fenomena itu di kabupaten Sumenep. Saya bertanya pada orang tua? “Kenapa kok banyak orang berkalung kodok?,” tanya seorang anak pada bapaknya.
Bapak saya pun menjawab, “itu para petani tembakau yang depresi, karena hasil panen tembakaunya merugi,” terang seorang bapak pada anaknya.

Lain lagi persoalan mendasar petani, yaitu kelangkaan pupuk. Pemerintah hanya membeberkan data-data tentang ketersedian pupuk. Sedangkan disclaimer pupuk (kelangkaan pupuk) dialami petani.

Pandemi menjadi sebuah kecurigaan besar saya, jika para cukong yang membeli tembakau petani akan menjadikan corona sebagai kambing hitam dan alasan kenapa pihaknya membeli tembakau petani dengan murah.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah mewawancarai bos salah satu PT yang melakukan pembelian tembakau. Coba simak, apa yang ia katakan,

“Saya pedagang, jika saya mampu, saya beli. Petani mana yang mengatakan harga tembakau murah, itu tidak benar. Anda harus tau, jika ada tembakau sawah dan ada tembakau gunung. Tentu, harganya tidak sama, itu berdasarkan kwalitas. Harga terendah Rp. 34.000 dan tertinggi Rp. 54.000,” tegas salah seorang bos tengkulak tembakau. Senin (9/9/2019). Sebagaimana dikutip dari jurnalfaktual.id, Jumat (16/7/2021).

Fakta di lapangan tentu berbeda dengan pernyataan di atas, karena para petani di tahun 2019 mengeluh dengan lesunya harga jual tembakau hingga belasan ribu per kilo.

PT yang melakukan pembelian secara resmi pada petani tembakau Madura, pasti mengelak jika pihaknya membeli harga tembakau petani dengan murah. Karena, pihaknya melakukan pembelian tembakau melalui pihak ketiga yakni “bandolan” atau tengkulak yang berafiliasi dengan pabrik yang membeli tembakau.

Dalam perspektif sosial, protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah di situasi pandemi. Menjadikan kesempatan bagi mafia tembakau untuk tidak melakukan pembelian secara cepat tembakau petani.

Mafia tembakau memiliki senjata ampuh yakni; sosial distancing untuk melakukan pembelian saat pabrikan buka. Sedangkan petani berduyun-duyun dan antri untuk menjual hasil panennya. Dengan alasan sosial dostancing, pabrikan ingin melakukan pembelian tembakau secara online, pertanyaannya? Apakah Petani fasih dengan digital? Akhirnya, tembakau mangkrak di rumah-rumah petani dan penjahat yang berafiliasi dengan pabrikan mendatangi rumah-rumah petani dengan menawar tembakau serendah-rendahnya.

Semoga itu tak terjadi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article