Suryomentaram di Tengah Temaram Zaman

Heru Harjo Hutomo
9 Min Read
Gambar Ilustrasi: Tumenggung Tawang, Kapur di Atas Papan, karya: Heru Harjo Hutomo
Gambar Ilustrasi: Tumenggung Tawang, Kapur di Atas Papan, karya: Heru Harjo Hutomo

jfID – Ada dua orang ternama asal Jogjakarta yang mengalami titik-balik kehidupan. Dalam ilmu psikologi peristiwa ini dinamakan sebagai einmalig. Yang pertama adalah R.P. Natarata, seorang pujangga bohemian bekas panji di Kadipaten Pakualaman. Setelah mengalami peristiwa yang menggoncangkan jiwanya, ia menanggalkan segala status yang telah diraihnya: jabatan, kediaman, dan isteri beserta dua anak perempuannya. Bahkan, ia hidup seperti gelandangan sampai akhir hayatnya, tergolek di bambon, tempat menghisap opium di daerah Godean.

Yang kedua adalah GBR. Soekatmadji atau yang kelak tenar dengan sesebutan Ki Ageng Suryomentaram (KAS). Setelah sang ayah mangkat, HB VII, ia dikabarkan gelisah, segalanya serasa muspra (sia-sia). Konon, seperti Sidharta, ia juga pernah melakukan tirakat yang sampai harus “menyiksa” diri sendiri. Tapi semuanya itu gagal, ia tak pernah menemukan apa yang selama ini dicari-cari. Banyak orang menyatakannya linglung. Sampai suatu ketika, ia pun menanggalkan segala statusnya sebagai seorang ningrat yang selama ini melekat. Rumah beserta isteri dan anak-anaknya ia tinggalkan, demi mereguk pencerahan. Di kali Opak yang tengah meluap airnya, ia nekat menyeberang dan kerem terbawa arus. Seorang kawan menyelamatkannya.

“Aku telah menemukan apa yang selama ini aku cari. Aku dapat menyaksikan diriku sendiri terbawa arus,” jelasnya kepada kawannya tersebut.

Di saat pulang dari kali Opak itu GBR. Soekatmadji singgah di sebuah dusun, Balong, Bantul, Yogyakarta. “Di dusun ini telah lama hidup ajaran-ajaran yang sebelum seorang dosen, sekaligus praktisi kawruh beja, menelitinya sebagai wejangan-wejangan Ki Ageng Suryomentaram,” kata Pak Gino, seorang tokoh masyarakat setempat yang pernah saya temui di kediamannya di Balong.

Ada banyak istilah-istilah kawruh beja yang dipegang masyarakat Balong tanpa mengetahuinya berasal dari KAS: raos sami, mulur-mungkret, getun-sumelang, dan seterusnya. Kini, oleh salah satu universitas di Yogyakarta, dusun Balong dijadikan sebagai laboratorium bagi kawruh jiwa KAS.

Saya pun, semasa kuliah, pernah tertarik pada ajaran-ajaran KAS. Tak sebagaimana kearifan-kearifan berbasis budaya lokal yang sarat dengan jalan purgativa, kawruh jiwa KAS mengandalkan pengertian atau pemahaman. Artinya, kawruh itu menggunakan piranti nalar dalam hal olah-rasa. Di antara beberapa dokumentasi wejangan-wejangan KAS, ada satu buah karya KAS yang paling saya sukai: Uran-Uran Beja. Konon, karya yang menggunakan media tembang macapat ini adalah karya pertamanya seusai memperoleh pepadhang

Enak-enak enake wak mami

Aneng swarga tentrem tan rekasa

Barang polah saenake

Golek dhuwit nak-enuk

Golek moncer nak-enak bangkit

Ngenak-enak mrih kramat

Sukur lamun antuk

Yen luput nora ngapaa

Jer wus uning mring mungkret uluring kapti

Kinanthi saben dina 

Bahagianya diriku

Di surga nan tenteram tanpa perjuangan

Leluasa untuk apa saja

Cari uang tetap enak

Cari ketenaran tetap enak

Gampang untuk sakti

Bersyukur seandainya terlaksana

Tak terlaksana pun tak mengapa

Karena sudah tahu pada kehendak yang mengembang dan mengempis

Yang menyertai setiap hari

Entah kenapa, KAS hanya memakai satu metrum dhandhanggula dalam Uran-Uran Beja itu—dan itu pun, saya kira, merupakan core dari keseluruhan tembang. Tak sebagaimana Ronggawarsita maupun Mangkunegara I, KAS tak memakai bahasa kawi yang halus dalam sekumpulan tembang yang ia karang sesudah mendapatkan pepadhang.

Wejangan-wejangan KAS disebut pula sebagai pangawikan pribadi, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai, setelah tahu tentang karakteristik manusia, sebentuk moderasi diri. Saya menemukan pola yang sama antara wejangan-wejangan KAS dengan gerakan-gerakan filsafat Hellenistik, sebuah periode filsafat yang tumbuh setelah era Sokrates. Di masa ini filsafat benar-benar menjadi sebentuk filsafat praksis. Mulai dari pitagorianisme, epikureanisme, stoisisme, dan sinisme, tercatat mendahului gerakan eksistensialisme yang merebak di Perancis menjadi gerakan budaya tandingan pada era perang dunia II.

Kunci dalam memahami kawruh beja KAS adalah pada konsep karep (kehendak). Orang yang selalu nyawang karep dapat disebut sebagai orang beja (beruntung) yang sepadan dengan orang bahagia. Barangkali, orang berpikir bahwa beja adalah sesuatu yang tak dapat diupayakan atau orang hanya dapat berjaga-jaga (seperti memancing), seperti momen yang dibentuk oleh konteks tanpa mutlak campur-tangan pribadi. Tapi KAS memahami beja bukan dalam arti demikian, meskipun apa yang ia gambarkan sebagai beja lebih tergantung pada pengolahan diri sendiri.

Dalam istilah yang agak mentereng pengolahan diri itu disebut sebagai mawas diri. Dan dalam pangawikan pribadi KAS hal itu berarti nyawang karep. Jadi, ukuran keberuntungan ataupun kesialan, kebahagiaan (bungah) ataupun kesusahan (susah) dari perspektif KAS, tak pernah terletak pada tercapainya segala keinginannya atas hal-hal yang sifatnya duniawi (material), tapi lebih pada kondisi Rasa di mana entah keinginan materialnya terpenuhi atau tak terpenuhi kondisi ini sama sekali tak menggoyahkan Rasa sehingga menimbulkan semisal rasa getun (sesal) dan rasa sumelang (khawatir) yang pada akhirnya akan berujung pada batin yang sakit—dan inilah yang sesungguhnya disebut sebagai cilaka atau, untuk menilik kembali se-pupuh tembang dhandhanggula di atas, disebut sebagai neraka.

Getun dan sumelang saya kira berkaitan dengan masa silam (keinginan yang tak tercapai) dan masa depan (harapan yang tak terlaksana). Getun dan sumelang ini timbul karena orang tak dapat memahami karakteristik karep atau kehendaknya. Karep dalam terang KAS ini saya ibaratkan seperti rengekan anak kecil yang meminta sesuatu dan mesti terpenuhi tanpa syarat. Ketika apa yang ia pinta terpenuhi, tak ada jaminan bahwa ia akan lerem dan diam. Lingkaran karep ini pada akhirnya pula akan menjelma lingkaran penderitaan, menjadikan manusia senantiasa mengalami pergolakan batin, bungah ketika keinginannya terpenuhi ataupun susah ketika keinginannya tak terpenuhi. Justru ia akan merengek kembali untuk meminta hal yang lebih besar dari sebelumnya. Di sinilah KAS mengatakan bahwa sesungguhnya kekayaan ataupun kemelaratan tak pernah ada batasnya. Barangkali, dari perspektif ekonomi, wejangan KAS ini seperti menyalahi ilmu ekonomi modern, yang meletakkan aktifitas ekonomi sebagai sesuatu yang dapat diukur melalui nilai pertumbuhannya.

Sangat menarik menyandingkan konsekuensi kawruh beja KAS dengan ilmu ekonomi modern. Secara umum ilmu ekonomi seperti mengartikan kebahagiaan, dalam arti kesejahteraan, berdasarkan pada hal-hal yang bersifat material. Padahal tak ada jaminan bahwa seandainya kebutuhan material itu terpenuhi orang akan bahagia. Sebab, dalam perspektif KAS, bahagia sesungguhnya adalah lebih pada masalah batin. Karena itulah kenapa kekayaan ataupun kemelaratan dikatakan tak pernah ada ukurannya. Ia akan selalu mulur (mengembang) dan mungkret (mengempis) seturut dengan karep. Yang dinamakan orang beruntung (beja) dalam perspektif KAS bukanlah orang yang secara material terpenuhi segala kebutuhannya seperti pengandaian ilmu ekonomi modern entah yang bercorak sosialistis maupun kapitalistis. Sebab sederhana saja, ternyata masalah kebahagiaan tak pernah terletak pada sejauh mana kesejahteraan sosial terpenuhi ataupun sejauhmana hak-hak individual terjamin tanpa adanya pembatasan. Tapi pada “…uning mring mungkret uluring kapti/ Kinanthi saben dina.” 

Saya kira kawruh beja Ki Ageng Suryomentaram akan lebih gampang untuk dimengerti ketika kini banyak orang tengah menjalani puasa bulan Ramadhan yang kebetulan bertepatan dengan merebaknya wabah corona yang menuntut siapa pun tanpa kecuali untuk bersikap moderat, nyawang karep, di mana dalam bahasa agama, untuk tak berlebihan, untuk membuktikan bahwa letak keberuntungan ternyata ada pada bagaimana orang mengasuh karep-nya—seperti halnya sesaat menjelang berbuka yang timbul keinginan untuk memakan makanan yang beraneka macam sebagai sebentuk pulihan (kompensasi), tapi setelah berbuka, setelah mereguk secangkir air dan sesuap nasi, orang pun banyak yang kewirangan (kecele), ternyata keinginan-keinginan yang timbul menjelang berbuka itu pun hanya sekedar umuk (omong-kosong).  

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article