Sumenep Kotaku jadi Kota Pocong

Rasyiqi
By Rasyiqi
7 Min Read
Pocong buatan di Simpang Kota Sumenep (foto: ist/beritajatim.com)
Pocong buatan di Simpang Kota Sumenep (foto: ist/beritajatim.com)

jfid – Setelah 7 hari menjalani masa PPKM Darurat Covid-19, juga setelah ramai dibicarakan betapa kota telah dilakukan banyak penyekatan dan dijejali dengan serangkaian tindakan pemaksaan untuk dilakukan Swab bagi pengguna jalan yang dilakukan oleh suatu Tim bernama Tim Hunter, akan tetapi Demi istriku tercinta yang harus berhubungan dengan Rumah Sakit, aku terpaksa memberanikan diri memasuki kota pada malam hari tadi.

Aku menyempatkan diri melihat-lihat taman kota yang selalu ku kagumi keindahannya yang kini hanya tampak seperti areal pekuburan tua yang menyeramkan. Lampu-lampu terang yang biasanya tergantung pada setiap sudut taman, tak menyala. Lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) pun, dipadamkan. Taman dan Jalanan kota gelap gulita.

Aku pun tak lupa menyambangi tempat-tempat warung kopi dimana aku biasa mangkal dengan teman-temanku berharap aku bisa dapat jumpa dan bercengkrama, tapi semuanya kosong ditinggal penghuninya. Aku mencoba menghubungi teman-temanku untuk ku ajak ngopi, akan tetapi semua menolak dengan alasan yang kesemuanya sama: Sakit.

Ahhh,, Aku mana percaya mereka sakit. Mereka pasti takut memasuki kota seperti yang ku alami sebelumnya. Takut kena razia dijalan, lalu dipaksa Swab, lalu digelandang ke markas aparat keamanan, lalu dikerubuti dan dibully habis-habisan oleh teman-temannya sesama prajurit. Aku kadang tertawa sendiri membayangkan ketakutan teman-temanku!

Terpaksa aku hanya nongkrong sendirian sambil lalu menunggu antrian rumah sakit. Secangkir kopi yang saya bawa sendiri dari rumah kuletakkan di trotoar jalan sambil mencermati jalanan. Jarang ada kendaraan melintas, kecuali hanya satu-dua kendaraan yang berlalu lalang.

Aku pun sesekali memperhatikan ulah sejumlah kecil pedagang kaki lima yang nekat berjualan. Tapi mereka kulihat hanya merebahkan badan dilantai jalan hanya dengan alas kardus, yang kupikir terpaksa nyantai karena tak ada pembeli yang datang.

Untuk menghindari kesepian yang mendalam, aku juga mencoba menghubungi salah satu kenalan pejabat yang kebetulan juga menjadi petinggi di Satgas Covid, akan tetapi puluhan kali telponku tak pernah diangkatnya.

Ahh,,, aku yakin temanku itu takut menerima telponku karena menduga aku akan meminta tolong kepadanya untuk melepaskanku dari razia. Padahal aku hanya ingin berkangen-kangenan. Kecurigaanku pun kemudian terbukti karena chat whats’Appku masih berbalas setelah topiknya bukan soal aku minta tolong dilepaskan dari razia.

Baca juga  Dua Orang Warga Perum Satelit Meninggal Dunia Bersama-Sama Setelah Divaksin;
Bagi aku penerapan PPKM telah mengubah kotaku hanya dalam dalam waktu 7 hari. Sumenep seperti telah menjadi kota mati yang tidak berpenghuni. Sunyi, sepi, dan mencekam.

Tak ada suara tawa warga yang bercengkrama dari yang biasa selalu aku dengar. Kecuali riuh suara sirine kendaraan polisi yang tentu sedang berpatroli. Suara sirine yang bagi aku kadang terdengar seperti suara lolong serigala ditengah-tengah hutan rimba belantara.

Bulu kudukku pun meremang ketika sesekali terdengar suara-suara keras dari agak kejauhan yang tentu berasal dari bentakan-bentakan aparat yang tentu sedang memarahi dan mengusiri para pedagang kaki lima yang nekat jualan. Suara bentakan yang bagi aku kadang terasa seperti suara kucing yang sedang birahi untuk memaksa betinanya kawin dengannya.

Aku yakin warga tak berani melintasi dan melewati jalanan kota bukan karena takut terjangkit Covid-19, bukan pula takut kepada pocong yang diposting oleh polisi seperti dilansir oleh salah satu media online, (08/07/2021), melainkan karena takut kepada petugas keamanan itu sendiri.

Yach, bagi aku, aparat keamanan jauh lebih menakutkan daripada hantu, dan bahkan mungkin melebihi rasa takutku kepada Covid itu sendiri. Mulai dari kekuasaannya untuk dapat mengusir paksa, kemudian menggelandang ke markasnya lalu disana dikerubuti dan dibully oleh sekelompok prajurit yang merupakan teman-temannya.

Kota hantu ku pikir juga selaras dengan keadaan Sumenep yang tergambar dari pemberitaan-pemberitaan media tentang banyaknya orang meninggal dunia secara mendadak. Kakek tukang becak ditemukan tergeletak meninggal dunia didekat becaknya tanpa diketahui sebabnya. Kemudian tentang Anak dan Ibunya yang ditemukan meninggal dunia dalam satu rumah tanpa ada yang mengetahui kapan dan apa sebabnya meninggal dunia.

Baca juga  Komunitas Bersama untuk Warga, Bagikan Sembako Di Masa Pandemi
Belum lagi tentang berita warga bertetangga meninggal dunia dalam waktu bersamaan setelah divaksin. Belum lagi mengenai berita banyak orang lumpuh dan sakit yang tidak sembuh-sembuh setelah menerima suntikan vaksin Covid-19.

“Iiiiikhhh,,,, benar-benar Sumenep sudah seperti kota pocong,,,!!” Pikirku seperti menggigil kedinginan.

Selain ketakutan-ketakutan seperti di atas, Aku pikir bayangan ketakutan juga muncul dalam bentuk yang berbeda. Ancaman pencabutan bantuan dan pelayanan pemerintahan terhadap warga yang menolak divaksin. Baik bantuan yang berasal dari program PKH, BLT, BST, dan seterusnya. Tidak itu saja, yang lebih gawat lagi, yang menolak vaksin diancam pidana. Ngeri!

Perasaan takut kupikir juga mulai membayangi kaum wartawan dan pekerja pers. Karena tugas-tugas liputan akan dibatasi hanya kepada pemberitaan yang mendukung ajakan pemerintah untuk mensukseskan vaksinasi dengan cara mereka. Sedangkan mengungkap fakta kejadian ikutan pasca vaksinasi, baik yang mengalami mati, lumpuh atau sakit, akan diancam sebagai tindak pidana karena merupakan berita yang katanya meresahkan.

“Ya Ampun!” Ratapku! Sudah begitu frustasikah penyelenggara pemerintahan kita? Sehingga untuk menyukseskan vaksinasi harus dengan cara mengancam pidana dan pencabutan hak-hak warga untuk memperoleh bantuan dan pelayanan pemerintahan?

Mengapa untuk disebut sukses harus dilakukan melalui metode menakut-nakuti rakyat? Bukankah kepatuhan yang didorong oleh perasaan takut pada saatnya akan meledak menjadi perlawanan rakyat?

Bukankah akan lebih elok kalau pemerintah mengandung elemen masyarakat untuk sosialisasi pentingnya vaksinasi? Mengapa semua program itu hanya dipasrahkan kepada petugas nakes dan aparat keamanan? Dimana ruang partisipasi dan peran masyarakat?

Ahhh,,,!!! Duhai Rakyat, bangkitlah! Lawanlah aparat yang menakutimu dengan air mata dan kentut! Percayalah, kebenaran pasti akan menang!.

Note: Cerita diatas pada sebagiannya hanya merupakan fiksi.

Catatan redaksi, Penulis: Kurniadi, seorang advokat dan aktif sebagai Pembina YLBH Madura. Dikenal dengan nama baru (Pendiri Republik Hantu).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article