Stigma Over Fishing Lobster

Rusdianto Samawa
12 Min Read
Ilustrasi Over Fishing Lobster (foto: Inews)
Ilustrasi Over Fishing Lobster (foto: Inews)

“Studi Kasus Fakta: Pengintaian, Pembajakan, Penangkapan, Penjarakan dan Kerusuhan Sosial Nelayan Lobster Indonesia.”

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)


jf.id – Saingan bisnis memang melahirkan dendam kesumat, sehingga segala cara untuk mematikannya. Bisnis lobster tak pernah tumbuh dan berkembang baik karena persaingan sangat kuat, seperti api dalam sekam. Akibatnya, investor Vietnam banyak dipenjara di Indonesia, pengusaha China banyak juga sudah jatuh vonisnya: ada 2 tahun, 3 tahun dan bahkan 5 tahun, tergantung banyaknya Lobster yang diselundupkan.

Pada tahun 2017 saat saya ke Aceh, penjajakan nelayan Lobster untuk bersilaturahmi dan berdialog. Disana selalu mendapat laporan: nelayan ditangkap dan diadili dipengadilan dengan jumlah vonis berbeda-beda, tergantung jumlah Lobster yang dibawa jual.

Begitupun di Pandeglang, bulan September 2017 saya diundang nelayan Lobster Desa Baya, Kecamatan Lebak Kab. Pandeglang, Provinsi Banten, menginap selama 5 hari dan pembentukan Front Nelayan Pandeglang Selatan (FN PS). Disana saya mendengar: keluhan, kritik, sumpah serapah pada pemerintah: KKP, dan agenda diskusi tentang Dinamika Nelayan Indonesia dari berbagai perspektif.

Tahun 2018, selama 5 hari disana, ternyata pengintaian sudah dilakukan. Gerak gerik saya sudah dipantau dari kejauhan. Ternyata, setelah saya pulang menuju Cilacap. Pada minggu berikutnya seorang pengepul yang hadir pada saat diskusi itu ditangkap dengan cara: aparat menabrakan mobilnya ke motor yang sedang dikendarai sehingga mengalami jatuh. Benur yang dibawa pun, pelastiknya pecah.

Setelah itu langsung dibawah untuk diamankan ke Polres Pandeglang, namun cepat dipindahkan ke Polda Banten karena sudah tau informasi bahwa nelayan Lobster dan masyarakat Baya akan mendatangi kantor Polsek Baya karena cara menangkap nelayan tidak berprikemanusiaan.

Respon nelayan Lobster dan masyarakat ini spontan dilakukan, pasalnya aparat sudah lama mengintai, mengincar dan menargetkan seorang pengepul itu. Akhirnya, nelayan datangi Polsek Baya meminta agar melepas para tersangka yang ditahan itu. Namun, karena tak ada respon secara baik, akhirnya nelayan Lobster mengamuk merusak seluruh fasilitas: kantor dan mobil. Bahkan pembakaran.

Peristiwa ini, jelas disebabkan kebijakan pelarangan penangkapan Benih Lobster oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah sejak 2015 mengeluarkan larangan ekspor benih lobster. Istilahnya yang sering disebut: Pemerintah menyimpan api dalam sekam. Letupan – letupan kerusuhan sosial bereskalasi menengah dilakukan oleh nelayan dan masyarakat pesisir karena cara pemerintah menangani, mengatur dan mengatasi nelayan maupun masyarakat dengan pendekatan: Pelarangan.

Tentu, kebijakan pelarangan itu karena diagnosis terhadap nelayan dianggap over fishing atas benih lobster. Padahal, belum ada dasar yang mengatakan over fishing. Bahkan Bibit Lobster tidak ditangkap akan menjadi punah secara tersendiri. Karena sifat lobster rata-rata habitatnya diterumbu karang dasar lautan.

Kemudian, saya melanjutkan perjalanan ke Cilacap, Jawa Tengah. Sekitar wilayah Cilacap, aparat lebih bisa diajak berkomunikasi dengan para nelayan yang biasa menangkap lobster karena aparat sendiri memahami pendapatan masyarakat nelayan dari hasil lobster terancam mata pencahariannya.

Saya waktu itu, pura-pura saja tidak mengetahuinya atas permasalah pelarangan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 itu yang dianggap jadi pangkal masalah tersebut. Sehingga, saya merasa gampang mengajak mereka diskusi.

Kebetulan, di Cilacap sendiri, dibawah oleh seorang sahabat lama satu angkatan organisasi. Mereka warga Muhammadiyah Pinggiran yang mengalami pahit, manis dan getirnya selama menjadi nelayan lobster. Karena beberapa keluarga dari mereka sudah pernah ada yang tertangkap dan divonis 1 tahun penjara. Saya di Cilacap mencoba memfasilitasi mereka dengan membentuk Front Nelayan Cilacap. Sama seperti daerah lainnya: NTB, Jatim, Yogyakarta, Banten, Aceh dan Sumatera.

Saya senang hati melayani mereka berkeluh kesah, ingin dibela, ingin diberikan keluasaan pikiran, meluaskan kelapangan dadanya, dan berusaha membangkitkan semangat mereka. Dari sekian ribu kepala Keluarga pencari Lobster, mereka mengeluhkan hal yang sama yakni aturan: kepiting, lobster, dan rajungan dalam kondisi bertelur dan memiliki berat di bawah 200 gram dilarang untuk ditangkap.

Dampak implementasi kebijakan itu dirasakan berat bagi para nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut. Banyak nelayan bangkrut karena kebijakan yang dinilainya tak berpihak pada nelayan kecil ini. Selama di Cilacap, menyusun langkah: pertama audiensi dan memediasi pertemuan nelayan dengan dinas terkait di Cilacap agar mereka bisa menyampaikan aspirasinya.

Dalam pertemuan itu, nelayan menyampaikan derita yang dialami dan menuntut agar kebijakan itu dikaji ulang atau direvisi. Jawaban pemerintah Pemkab Cilacap saat itu: akan ikut menyampaikan aspirasi ini ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Padahal, lobster hasil tangkapan nelayan kebanyakan berbobot di bawah 200 gram. Dengan demikian, pembatasan penangkapan lobster di atas 200 gram sama halnya mematikan mata pencaharian nelayan. Akibatnya kini terasa penghasilan nelayan pesisir selatan Cilacap merosot hingga 80 persen dari sebelum kebijakan itu diterapkan. Nelayan yang biasa untung karena lobster tangkapan terserap di pasar ekspor, harus merugi karena keran ekspor bibit lobster di bawah 200 gram ditutup oleh pemerintah. Nelayan terpaksa menjual lobster di pasar lokal dengan harga jauh lebih murah.

Selama 5 hari di Cilacap, saya meninggalkan semangat agar mereka bangkit dan bersabar, bahwa: “janji saya, jika pada akhirnya kebijakan itu merugikan nelayan yang menggantungkan mata pencahariannya dari berburu lobster, kebijakan itu layak dikaji ulang. Meski terus buru, kelestarian lobster di laut Cilacap nyatanya tetap terjaga. Saya akan terus menggelorakan aspirasi ini sampai pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan mau mendengar jeritan para nelayan yang menderita karena kebijakan ini.”

Setelah dari Cilacap, saya menuju Purworejo untuk beristirahat dan berkonsolidasi dirumah sahabat. Di Purworejo, saya mengumpulkan para nelayan yang mengalami nasib sama: nelayan Kebumen dan Purworejo sendiri untuk bersama-sama memperjuangkan nasib.

Selama disana, saya juga membentuk Front Nelayan Purworejo (FNP) dan Front Nelayan Kebumen (FNK). Saat itu, agendanya: 1) berkirim surat kepada Presiden Jokowi dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menyampaikan aspirasi ini. 2) Nelayan ingin kebijakan itu dikaji ulang atau dicabut. 3) Tuntutannya, lobster mulai 100 gram hingga 200 gram boleh ditangkap. Karena kebanyakan yang didapat nelayan ukuran itu.

Kemudian, setelah dari Purworejo dan Kebumen, saya kembali ke Jakarta membawa surat-surat untuk bekal Presiden Jokowi, dimana surat tersebut berisikan keluhan terhadap kebijakan dan banyak pemerasan, penangkapan, pengintaian dan pemenjarakan terhadap nelayan oleh aparat penegak hukum. Korbannya sangat banyak, yakni investor, pengusaha, pengepul, agen, nelayan dan jaringan lainnya. Kemudian, saya ditemani oleh beberapa pengurus Front Nelayan Pandeglang Selatan (FNPS) memberikan surat cinta untuk presiden Joko Widodo.

Di Jakarta tentu, berkonsolidasi, menerima kunjungan Front Nelayan Pandeglang Selatan (FNPS) untuk bersepakat melaporkan Menteri KKP saat itu kepada Komnas HAM atas pelanggaran terhadap hak-hak dasar nelayan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Pasca dari Komnas HAM, saat itu bulan Maret 2018, saya berangkat kembali ke Lampung melalui jalan darat. Rencana di Lampung Selatan itu sampai 7 hari. Saya melihat dan mengamati disana. Menemui semua nelayan yang telah siap menerima kedatangan di Lampung. Agenda pertama sebagai starting point adalah membentuk organisasi dan struktur terbatas yakni Front Nelayan Lampung Selatan (FNLS). Semua nelayan Lobster, Kepiting, Rajungan, Kerang, Cantrang, dan Terol berkumpul membentuk satu organisasi baru.

Masalah paling krusial disana bukan pada kesulitan penangkapan, tetapi pada proses distribusi yang berbagai cara harus menempuhnya. Aparat sendiri tidak berani masuk perkampungan nelayan untuk mengawasi. Namun, pengintaian itu diluar dan kadang dihutan. Sehingga memudahkan penangkapan.

Namun, cara penyelundupan itu masih kurang efektif. Waktu itu, saya menyampaikan jangan menyelundupkan, tetapi kita harus revolusi dan menantang mereka pada lapangan terbuka: di depan DPR MPR dan Istana Negara. Nelayan Lobster harus menunjukkan kekuatannya bahwa nelayan Lobster pemberani dan akan datang dalam gerakan revolusi itu berjuta-juta massa.

Dari praktik lapangan menunjukkan masih banyaknya benih lobster yang coba diselundupkan. Parahnya, nilai penyelundupan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Wilayah Lampung dan sekitarnya, tak hanya lobster, benih yang dilarang untuk diekspor antara lainkepiting danbrajungan dari wilayah NKRI. Sebagaimana tercatat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus), Kepiting (Scylla), dan Rajungan (Portunus).

Nilai penyelundupan sangat fantastis diwilayah Lampung dan Jambi sekitarnya, yakni mencapai puluhan miliar rupiah. Tentu saja hal ini menimbulkan kerugian dari sektor perikanan Indonesia. Bagaimana tidak? Nilai jual benih lobster sendiri hanya berkisar Rp30 ribu tiap kilogramnya. Sementara, lobster dewasa bisa dihargai hingga Rp1,4 juta per kilogram di luar negeri.

Benih lobster memiliki ukuran yang sangat kecil. Satu ekor benih biasanya berukuran 9 cm. Lobster yang masih sangat muda ini memiliki cangkang berwarna bening transparan. Jika dilihat lebih saksama, tampak bagian dalam lobster berwarna kemerahan. Sungut lobster pun sudah bisa diamati dari kejauhan. Warna sungut tersebut juga masih bening. Terdapat dua bintik dibagian kepala yang merupakan mata benih lobster.

Sementara pemerintah: KKP berharap ditengah api dalam sekam, sama seperti mengharapkan neraka untuk menghinggapinya. Karena adanya peraturan tersebut, nelayan Lobster Indonesia tak bisa apa-apa, apalagi harapan agar mampu mengembangkan usaha budidaya. Hal yang sangat mustahil sekali

Selain itu, alasan keberatan nelayan Lobster Indonesia, ketika pelarangan penjualan benih lobster hanya karena “Over Foshing Libster” untuk mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Ekosistem laut pun terus terjaga dan keberadaan lobster di laut masih bisa terus ditemukan. Pada tugas KKP mensejahterakan nelayan, bukan menenggelamkan nelayan dengan propaganda dan agitasi: Over Fishing.[]

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article