Seni Rupa Tanpa Seni Rupa

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"Communi (cati)on," 35x47 cm, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017
"Communi (cati)on," 35x47 cm, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017

jfID – Seni rupa, saya kira, sebermulanya bukanlah seni dalam arti ketatnya. Sebagaimana pagelaran wayang kulit, seni rupa pun beranjak dari hal-hal yang berkaitan dengan ritual di masa silam. Berbagai relief di candi-candi kuno membuktikan bahwa ia lekat dengan agama dan spiritualisme. Ketika secara pelahan agama dan spiritualisme yang coraknya autochthonous memudar karena modernisme yang dibawa oleh kolonialisme, setidaknya di Indonesia, barulah segala corat-coret memiliki nilai seni dan pariwisata dimana dalam kajian antropologi dikenal sebagai bagian dari eksotisme Timur ketika itu.

Seiring dengan kapitalisme yang merupakan tahap awal dari kolonialisme dan imperialisme, karya-karya rupa yang lekat dengan citra keagamaan dan spiritualisme di masa silam tak pula berhenti pada nilai seninya, tapi juga nilai komersialnya. Konsep dan fungsi seniman yang sebagaimana kita pahami kini, yang merdeka, akhirnya terbentuk. Memang benar bahwa berdasarkan Babad Jaka Tingkir seorang juru sungging seperti Prabangkara, yang konon dalam menggambar permaisuri rajanya diceritakan sangat detail dan mendekati kenyataan, sehingga sang raja sampai cemburu dan berburuk-sangka padanya, sudah dikenal. Tapi apakah benar Prabangkara adalah seorang seniman sebagaimana di hari ini mengingat di masa silam seorang raja adalah titisan Dewa dan dengan demikian melayani keinginan sang raja sama dengan melayani Dewa?

Puji syukur pada kolonialisme yang telah membawa modernisme beserta segala paradigmanya. Sebab tanpa hal itu tak mungkin seni dan seniman sebagaimana yang dipahami di hari ini terbentuk dan terlembagakan. Saya tak akan mengupas sejarah, teknik ataupun fungsi seni rupa di sini, sebab pertama-tama yang menggelitik saya pada seni rupa adalah “syari’at”-nya yang ternyata merupakan “hakikat” pada bidang lainnya. Sungguh tak ada kuasa pada saya untuk membahas gaya dan teknik seni rupa semacam ekspresionisme dengan sapuannya, abstrak dengan cipratannya, impresionisme dengan goresannya, atau bahkan seni rupa kontemporer yang sudah melintas batas seperti menyecap gado-gado. Atau bahkan sungguh tak ada kuasa pula pada saya untuk membahas sengkarut ideologi di balik seni rupa, entah yang bercorak emansipatif ataupun sekedar seni untuk seni. Sampai hari ini pokok pikiran saya hanya tertuju pada hal-hal yang sangat mendasar dalam seni rupa, pada syari’atnya seperti titik, garis, bidang, dan ruang.

Kenapa harus ada dan bermula dari titik dan tak langsung saja menggambar bentuk atau mengombinasikan warna pada media lukis atau gambarnya? Ternyata semua perwujudan itu berawal dari titik, dimana titik dengan titik akan membentuk garis, garis dengan garis akan membentuk bidang, bidang dengan bidang akan membentuk ruang, ruang dengan ruang akan berpulang pada sesuatu yang tak ada penyebutan dan perwujudannya dalam bidang seni dan estetika. Apakah dengan demikian inilah yang disebut sebagai batas seni rupa, yang hanya sampai pada ruang, bertemunya bidang dengan bidang?

Konsep seni rupa pasca ruang saya kira dapat memprovokasi kembali para seniman yang jenuh karena sudah menguras segala macam ide dan eksperimen sejauh ini. Sayangnya, seni rupa pasca ruang tersebut belum ada perwujudannya hingga kini. Dan seandainya pada nantinya hal itu dapat terwujud, saya kira akan berakhir pula konsep seni rupa dan seniman.

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

ataupun perdebatan seputar fungsi seni Dalam khazanah budaya Jawa dikenal ungkapan bahwa Jawa adalah tempatnya pasemon (Jawa nggone semu).     

Titik    : titik + titik = Garis

Garis    : garis + garis = bidang

Bidang    : bidang +bidang = ruang

Ruang    : ruang + ruang = logos

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article