Sembelit

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
Ilustrasi gambar "The Digger," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020
Ilustrasi gambar "The Digger," 60x100 cm, kapur di atas papan, Heru Harjo Hutomo, 2020

jfID – Ada yang menarik dari kebiasaan seekor kucing. Meskipun dikenal sebagai hewan yang manja, kucing tak selamanya seenaknya sendiri. Setidaknya, saat tengah buang hajat, ia laiknya sebagian manusia yang cukup tahu bahwa kotoran yang tengah dibuang dari tubuhnya adalah sesuatu yang “tak elok” yang mesti lekas digilas tanpa bekas. Pada seekor kucing, setelah ia membuang kotoran segera kakinya menggaruki tanah untuk memendamnya. Dan sesekali ia pun masih mencoba mencium pendaman kotoran itu. Barangkali, ketika baunya masih menyengat, ia akan menaburinya dengan tanah kembali sampai ia tak lagi dapat menciumnya.

Dalam anggah-ungguh Jawa ketika seorang tamu hendak membuang kotoran tubuhnya, lazimnya ia akan meminta izin pada si tuan rumah: “Nuwun sewu, badhe ndherek dhateng wingking.” Dengan istilah “wingking” atau “belakang” sangat terang bahwa aktivitas membuang tinja dan tinja itu sendiri adalah sesuatu yang “tak elok” untuk ditampakkan atau ditonjolkan—bukan sesuatu yang laik untuk dibanggakan.

Sementara dalam perbendaharaan bahasa Indonesia istilah membuang tinja dikenal pula dengan istilah “buang hajat.” Tak jelas benar kenapa kotoran manusia di sini diidentikkan dengan “hajat” yang berarti “keinginan,” “ambisi” ataupun “purih” (pamrih). Apakah secara moral “keinginan,” “ambisi” ataupun “purih” itu buruk sehingga butuh dilekatkan dengan “tinja” dimana untuk membuangnya pun mesti tak diketahui oleh khalayak—dengan istilah “di belakang”?

Ada juga yang menganggap tinja itu sebagai representasi aib dimana orang yang segala aibnya telah diketahui oleh orang banyak biasanya dikatakan dengan ungkapan, “Teleke pating tlecek (kotorannya tercecer di mana-mana).” Dan orang semacam ini secara sosial dianggap telah mengganggu dan mengacaukan segala tertibnya, sebab tak urung semua orang di sekitarnya terkena getahnya (keblendok).

Dalam ungkapan Jawa terdapat istilah “empan-papan” dimana seseorang mesti sadar akan ruang atau tempat di mana ia berada agar secara moral dapat dikategorikan sebagai “orang dewasa.” Itulah kenapa ketika buang hajat orang biasanya melekatkannya dengan istilah “belakang” (wingking). Dan memang benar bahwa sampai sekarang tak ada tempat buang hajat yang dibangun di depan rumah.

Lalu bagaimana dengan orang yang tak dapat empan-papan dalam konteks buang hajat tersebut? Khazanah budaya Jawa maupun budaya nasional sayangnya tak menyajikan istilah pada kasus seperti itu. Tapi, dalam hemat saya, orang seperti itu pantas disebut sebagai orang yang berpotensi menderita sembelit. Itulah kenapa, saya kira, rukun yang pertama kali dalam peribadatan agama adalah niat yang letaknya lebih ke relung batin daripada raga dimana menurut al-Ghazali, dalam ‘Ajaibulqulub, adalah tempat dimana sesungguhnya seruan, hukuman, dan pahala Tuhan dialamatkan. 

Tapi pada dasarnya tak terlalu menyedihkan pula nasib orang yang kotorannya pating tlecek, tercecer di mana-mana, setidaknya dalam perspektif agama. Pada air yang mengalir atau kolam dengan volume air yang jauh lebih besar dari kotoran yang jatuh ke dalamnya (baca: najis) airnya tetap dianggap sah untuk melakukan sesuci. Dengan demikian, saya kira, sikap yang tepat dan tak membikin ruwet bukanlah dengan cara menambah jumlah kotoran agar kotoran itu tak lagi tampak sebagai kotoran karena semuanya telah kotor atau telah menjadi kotoran. Melainkan, dengan menambah volume air agar ketika kotoran itu jatuh tak akan mengganggu segala tertib dan keabsahan.

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article