Sastra dan Lokalitas

Tjahjono Widarmanto
8 Min Read
Ilustrasi geopolitik Indonesia dalam Dunia (foto: istimewa)
Ilustrasi geopolitik Indonesia dalam Dunia (foto: istimewa)

jfID – Lokalitas dalam sastra Indonesia modern dipicu oleh paling tidak tiga hal. Pertama, sastra Indonesia modern lahir dari rahim sastrawan yang tidak dapat melepaskan diri dari kultur etnik yang melingkupinya. Kedua, sastra Indonesia modern lahir karena persentuhan antara budaya lokal dengan budaya ‘impor’ yaitu budaya lokal dengan budaya Asia (Hindia, Cina, Jepang, dll), budaya lokal dengan budaya Eropa, dan budaya lokal dengan budaya Islam (Timur Tengah). Ketiga, sastra Indonesia tumbuh dan berkembang diwarnai kemajemukan atau kehbinekaan. Bayangkan saja, Indonesia terdiri dari lebih 17.000 pulau, lebih dari 900 bahasa daerah, dan lebih dari 500 kelompok etnik.

    Lokalitas dalam sastra tidak sekedar latar an sich melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks sastra (Mahayana, 2005). Lokalitas tidak sekedar karena kemunculan latar (setting), tidak sekedar ditandai hadirnya kosa kata lokal, tidak sekedar kemunculan geografik lokal, maupun hadirnya sosok tokoh secara fisik yang menunjukkan identitas kesukuan. Lokalitas yang semacam ini hanya menjadi tempelan, cantelan atau sekedar bumbu penyedap belaka. Hanya lokalitas semu.
   
    Lokalitas dalam sastra merupakan ruang kultural yang menyimpan sekaligus menelisik potret sosio-kultural. Lokalitas bahkan bisa berupa ideologi dalam masyarakat tertentu yang tercermin baik tersirat atau tersurat pada tokoh-tokohnya saat berada dalam situasi interaksi dengan sosio-kultural. Lokalitas dalam sastra harus didorong cita-cita untuk mengangkat citra budaya lokal ke ranah intelektual. Dengan kata lain, lokalitas harus menjadi narasi besar dan pondasi penciptaan sastra.
   
    Basis lokalitas adalah tradisi. Pengertian tradisi tentu saja tidak boleh dimaknai dalam kerangka antropologis semata yang menyempitkan makna tradisi hanya sebagai bagian masa lalu. Pandangan yang linear semacam itu memunculkan anggapan yang terlampau subjektif sehingga memunculkan bahwa tradisi adalah bagian masa lampau sehingga eksistensinya tidak lagi relevan.
   
Tradisi harus dimaknai sebagai sebuah konteks memori dan sejarah yang melandasi proses penciptaan teks sastra. Tradisi harus dipandang, seperti kata Gadamer, sebagai konteks yang dibentuk dari sejarah dan memori penikmatan atas perjumpaan sastrawan dengan perjumpaannya dengan ‘sejarah’ yang dijumpainya. Itu berarti setiap teks sastra tidak mungkin lahir dari kekosongan sejarah dan penikmatannya atas berbagai konteks sejarah.


Teks sastra mustahil diciptakan tanpa adanya memori-memori atas teks-teks sebelumnya. Rifaterre dengan jelas mengatakan bahwa karya seorang penyair (sastrawan) adalah jawaban terhadap karya sebelumnya. Sebuah teks sastra lama tidak mati begitu saja tapi selalu memberi inspirasi bagi teks-teks sastra selanjutnya. Teks sastra yang baru lahir merupakan respon terhadap teks-teks sastra sebelumnya. Tradisi memang dibentuk oleh masa lalu tetapi selalu berpotensi untuk membentuk tradisi-tradisi berikutnya di masa kini dan masa mendatang. Tradisi, seperti kata Eliot, bukan sesuatu yang mati dan tetap hadir dalam kehidupan masa kini. Tradisi selalu memiliki potensi memberikan rangsangan penciptaan baru, memiliki daya pikat, serta memberikan pengaruh, baik secara sadar maupun bawah sadar, yang vital bagi perkembangan intelektual dan sastra. Tradisi memberi pengaruh atau rangsangan kreativitas terhadap gagasan-gagasan, kesadaran, dan pemikiran-pemikiran yang memberi warna teks-teks sastra. Dengan gamblang, Abdul Hadi WM (2017) menyebutnya sebagai pembentuk kesadaran tidak hanya pada masa silam, tetapi juga berkenaan dengan masa kini. Melalui dialektika yang terus menerus dengan tradisinya seorang sastrawan dapat menjadikan masa lalu menjadi bagian dari kekinian kita.

Salah satu bentuk dan bagian dari tradisi adalah kultur etnik. Kultur etniklah yang dibahasakan oleh Sumito A Sayuti, sebagai sangkan-paran atau terminal keberangkatan dan kembali dalam proses kreatif seorang sastrawan. Setiap bentuk kreativitas dalam teks sastra selalu merujuk pada konteks kultural tertentu yang muncul secara nyata dalam teks sastra yang diciptakan, baik yang tercermin dalam bentuk maupun konteksnya, baik dalam gagasan tematik maupun kedalaman subjek materinya.

Kondisi kultur etnik sastrawan Indonesia memang beragam. Menempatkan kultur etnik sebagai pijakan kreatif dapat menyajikan gagasan alternatif, bisa berperan untuk mengukuhkan kultur etnik itu sendiri, bisa mempertanyakan kultur etnik itu sendiri, bisa untuk memberi tafsir baru pada kultur etnik itu senidri, bahkan dapat pula menjadikan kultur etnik sebagai pijakan untuk melakukan perlawanan terhadap bentuk segala dominasi sebagai wujud keberpihakan pengarang.

Sastrawan Indonesia modern tidak berada dalam situasi dan kondisi pasif. Mereka menghadirkan, menafsirkan, menciptakan tafsir baru atas berbagai hal yang diturunkan oleh kutur etniknya. Kultur etnik tidak hanya dipinjam namun diberi unsur kreativitas baru. Kultur etnik dalam teks sastra tidak hanya muncul sebagai imitasi tetapi imitasi kreatif, menciptakan ambivalensi imitatif sekaligus subversif. Sebagai contoh, misalnya kehadiran kultur etnik wayang pada sastrawan Indonesia modern dalam teks sastranya memunculkan wayang yang berbeda dalam kultur etnik sebelumnya. Demikian juga Kaba dalam khazanah kultur etnik Melalyu, boleh jadi berbeda dengan Kaba dalam racikan kreatif sastrawan saat ini.

Penciptaan teks sastra sesungguhnya merupakan tindakan konstruktif dalam pembentukan tradisi tematis. Tindakan ini merupakan upaya menafsir, menggabungkan, memisahkan turunan kultur etniknya, bahkan bisa mendialogkan dengan kultur etnik yang lain. Hal ini menjadikan seorang sastrawan berada dalam situasi dialektika yang terus menerus dengan kultur etniknya. Melalui dialektika itu akan memungkinkan terbentuknya penciptaan kultur etnik kedua, ketiga dan berikutnya, tanpa menghilangkan kultur etnik pertama sebagai hipotek atau memori ingatan.


Dalam realitasnya, sastra Indonesia hidup dalam situasi kebhinekaan. Kebinekaan mengaju pada hiteroginatas dan pluralitas. Kebinekaan yang mengacu pada heterogenitas merupakan keanekaan budaya yang sudah begitu saja ada secara alamiah, keanekaan budaya yang sudah terberi, sesuatu yang given. Sedangkan kebhinekaan dalam konteks pluralitas mengacu pada istilah antropologi politik yang menegaskan bahwa keanekaan budaya merupakan kenyataan yang harus dijaga, diperjuangkan dan dirawat dengan selalu melihat perbedaan budaya sebagai sesuatu yang sah.

Sastra Indonesia modern yang menghadirkan lokalitas  memiliki fungsi penting. Setidaknya ada lima fungsi penting kehadiran lokalitas dalam sastra Indonesia, yaitu pertama, membangun pemahaman lintas budaya. Misalnya, melalui karya-karya Umar Kayam, Linus Suryadi AG, Suminto A Sayuti, Suripan Sadi Hutomo,  bisa diinformasikan tentang budaya Jawa. Melalui karya-karya Zawawi Imron, Alek Subairi, Faizi, Fauzi Ballah,  bisa diinformasikan budaya Madura; dsb. Kedua, perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, kehadiran lokalitas dalam sastra Indonesia tak hanya sebagai produk budaya, namun menjadi instrumen politik-kultural yang mengandung unsur-unsur adat istiadat, kearifan lokal, ideologi, identitas yang dapat menumbuhkan harmoni, toleransi, dan apresiasi kebhinekaan. Ketiga, meneguhkan identitas kebhinekaan. Keempat, mengokohkan eksistensi kemanusiaan dalam kohesi sosial kultural sekaligus menjadi ruang untuk mengkritisi berbagai fenomena kultural. Yang kelima, sastra Indonesia dengan lokalitas bisa menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan dan keterbelahan budaya sehingga dapat terjalin komunikasi yang cair antar etnis.@@

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article