Rumpun Bambu dan Kedaulatan Desa

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read
"Jenjang lehermu," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017
"Jenjang lehermu," 42x53 cm, goresan jari, abu rokok di atas kertas, Heru Harjo Hutomo, 2017

jfID – Dahulu, dan barangkali hingga kini, umum kita jumpai tanaman rumpun bambu yang menjadi pembatas sebuah desa. Selain dari kejauhan tampak ngrembuleng asri, desaunya terasa seperti lebih besar daripada desau cemara di lereng perbukitan. Di pedesaan Jawa rumpun bambu itu disebut sebagai “greng.” Tak sekedar pembatas sebuah desa, rumpun bambu itu juga berfungsi sebagai sebentuk benteng, agar angin dari persawahan tak terlalu kencang masuk desa dan nyamuk ataupun serangga yang lazimnya membanjiri desa setelah panen tak terlalu massif serangannya.

Kenapa para leluhur desa memilih pembatas sekaligus benteng dari rumpun bambu dan bukannya tembok batu-bata ataupun pepohonan yang besar lagi rindang adalah karena filosofi Jawa “ngeli ning ora keli.” Di tengah zaman dimana batas-batas geografis seperti melumer dan bahkan cair sebagaimana saat ini, yang oleh McLuhan disebut dengan fenomena desa global (the global village), rumpun bambu yang memagari sebuah desa ternyata adalah sebentuk kearifan lokal yang ditinggalkan oleh para leluhur.

Dalam corak geopolitik Indonesia, desa merupakan salah satu geopolitik yang berbeda dari kota. Selain dahulu memiliki orientasi politik yang berbeda dengan kota, pada bidang keagamaan desa juga memiliki kekhasan tersendiri. Jamak diketahui bahwa dahulu Islam yang berkecenderungan tradisional lebih memilih desa sebagai habitat sekaligus habitus basis massanya. Sementara Islam yang berkecenderungan modern lebih memilih kota sebagai habitat sekaligus pola pendekatan kemasyarakatan mereka.

Sampai sekarang pun kedua bentuk geopolitik-keagamaan tersebut masih tersisa. Setidaknya, yang mencolok di mata, adalah pada gaya dan cara berbusana mereka. Sarung adalah salah satu penanda orang desa, sementara celana adalah penanda orang kota. Dalam kesehariannya, khususnya menjelang malam tiba, dari bocah hingga orangtua, orang-orang desa lazim bersarung, meskipun sekedar untuk srawung warung. Budaya agraris yang sebagian besar mendasarkan dirinya pada alam masih hidup hingga kini, yang tak urung turut pula menjadikan waktu di pedesaan terasa lebih melar daripada di perkotaan (Demi Masa: Menelisik “Pandom Lonthe” Pada Masa Kini, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Akibatnya, kondisi geografis dan corak kebudayaan semacam itu membentuk pula sebentuk paradigma hidup yang khas dimana ketika paradigma lainnya berupaya dipaksakan untuk masuk dan dipeluk akan mendapatkan resistensi yang khas pula. Di sinilah ketika berbicara habitus tak semata berbicara kondisi dan wilayah yang semata fisik, tapi lebih pada wilayah mental dan psikologis. Khazanah budaya Jawa menyebut hal ini dengan istilah rasa (Membaca Ronggawarsita, Mencerna “Ngelmu” Rasa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Adakalanya kalangan modernis—entah sekedar modernis sekular atau modernis keagamaan—abai terhadap habitus atau rasa tersebut yang merupakan kekhasan kebudayaan desa. Acap mereka melabelinya sebagai sebentuk feodalisme, yang celakanya selalu diasosiasikan dengan basa-basi anggah-ungguh atau sopan-santun. Memang benar bentuk kasar atau turunan feodalisme adalah adab. Tapi bukankah, seperti yang sudah saya ungkapkan di muka, kebudayaan desa adalah kebudayaan agraris yang menggantungkan dirinya pada alam, pada tanah, dan bukannya industri ataupun pabrik? Dan bukankah dengan menafikan adab itu sama dengan menceraikan orang-orang desa dengan alam dimana mayoritas kehidupan orang desa digantungkan? Terang di sini bahwa kalangan modernis tengah berupaya menghunjamkan mentalitas orang-orang pabrik pada orang-orang sawah. Akibat terjauh dari upaya ini adalah terjadinya disorientasi waktu yang merupakan salah satu karakteristik dari radikalisme (Neo-Khawarij,Habib Rizieq,dan Masyarakat Sipil, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id).     

Ada sebuah lelucon di pedesaan ketika kredo progresifitas atau kemajuan berupaya ditanamkan dan diikuti khalayak desa yang mayoritas warganya adalah petani dan bukannya orang-orang pabrik ataupun perkantoran, “mrongos” atau “maju giginya,” yang merupakan ekspresi kewaspadaan akan penipuan, kesiasiaan, dan kewirangan. Sebab, sebagaimana yang telah saya ungkapkan, mereka adalah khalayak desa dan bukannya khalayak kota.

Demikianlah kearifan rumpun bambu sebagai pagar desa yang merupakan tilaran orang-orang terdahulu. Di tengah upaya-upaya modernisasi—baik yang bersifat sekularistik maupun keagamaan—yang ingin mencerabut autochthony khalayak pedesaan, yang seringkali identik dengan liyan ndrayan (transregional) atau bahkan bercorak transnasional pada bidang keagamaan, rumpun bambu menjadi sederet benteng hidup sebuah desa yang memanfaatkan energi serangan lawan untuk bertahan: “ngeli ya ngeli ning aja keli.”

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom,peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

TAGGED:
Share This Article