Relasi NU dan Kapitayan di Tengah Gelombang Materialisme dan Radikalisme Islam

Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
"The Danied," 60x100 cm, kapur di atas Papan (Karya Heru Harjo Hutomo, 2020)
"The Danied," 60x100 cm, kapur di atas Papan (Karya Heru Harjo Hutomo, 2020)

jfID – Setiap agama lahir dengan memiliki dua dimensi: dimensi eksoterik dan esoterik. Lazimnya, dimensi eksoterik itulah yang acap dipandang sebagai agama. Sementara dimensi esoteriknya disebut sebagai spiritualitas.

Konon, dimensi esoterik adalah apa yang dalam kajian filsafat agama dikenal sebagai perenialisme, sebuah kebijaksanaan purba yang mengendap dalam setiap agama dan budaya. Secara sederhana, perenialisme itulah yang merupakan kebijaksanaan yang diwariskan oleh para pendahulu yang sifatnya banyak kesambungan dan kesinambungan di antara yang satu dengan yang lainnya.

Taruhlah sila I Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa,” sebelum agama Islam (dengan monoteisme abrahamiknya) hadir di Nusantara, ia telah hidup dan dihidupi oleh bangsa Nusantara, meskipun kehadirannya bersifat timbul dan tenggelam.

Sejarawan  M.C.Ricklefs, ketika mengulas Islam kultural di masa Sultan Agung dan PB II, menamakan hal ini sebagai “kontinuitas mistis.” Inilah yang menyebabkan kenapa Islam dapat dengan mudah dipeluk oleh orang-orang Nusantara di masa silam, karena mereka sama sekali tak asing dengan sufisme yang dibawa oleh Islam yang sebelumnya telah didahului oleh mistisisme Hindu dan Buddha. Nurcholish Madjid menamakan hal ini sebagai “kalimatus sawa.” Adapun saya lebih menamakannya sebagai prinsip dan paradigma autochthony (“Semar dan Paradigma Autochthony,” Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Pada bulan Juni 1945 Soekarno, lewat KH. Wahid Hasyim, konon pernah meminta pandangan KH. Hasyim Asy’ari terkait dengan status Pancasila dalam syariat Islam. Setelah beberapa waktu berkontemplasi, KH. Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa Pancasila sudah sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Bahkan Sang Hadratussyaikh mengatakan untuk menghapus sila I versi piagam Jakarta dan memilih untuk mempertahankan versi lama sila I Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa,” sebagai sebentuk tauhid dalam agama Islam (“Pancasila dan Paradigma Autochthony NU,” Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

Secara kultural “Ketuhanan yang Maha Esa” itulah yang menjadi esensi dari kapitayan (“Menelusur Kapitayan, Melacak Agama Purba Nusantara,” Heru Harjo Hutomo, https://alif.id) yang sudah hidup selama ribuan tahun di Nusantara baik dengan cara implisit, mengendap dalam warisan-warisan budaya masa silam, maupun dengan cara eksplisit sebagaimana yang tampak dalam apa yang setelah era kemerdekaan disebut sebagai aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha esa.

Tak sekedar Pancasila dengan sila I, banyak pula persinggungan antara Islam dengan sufismenya dan perenialisme Nusantara. Seperti halnya konsepsi sedulur 4 dan 5 pancer yang secara sufistik sepadan dengan 4 sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) di mana Nabi Muhammad sebagai pancernya yang sering diperdengarkan oleh sang bilal dalam shalat tarawih 20 rakaat. Atau juga sepadan dengan sholawat muqarrabin yang dipopulerkan oleh almarhum KH. Chamim Jazuli dalam racikan Dzikrul Ghafilinnya: Jibril, Mikail, Izrail, dan Israfil.

Dengan demikian, pada dasarnya Islam dalam bentuk sufismenya, yang kental dibawakan oleh NU, bersifat autochthonous atau memiliki kalimatus sawa dan juga kontinuitas mistis dengan teradisi kapitayan yang merupakan bagian dari perenialisme Nusantara. Prinsip dan paradigma autochthony ini akan selalu timbul dan tenggelam oleh berbagai tabir atau hijab di mana pada masa kini direpresentasikan oleh radikalisme Islam dan materialisme Barat.

(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme, menggambar dan bermain musik).

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article